Home / PUSAT / Sudah Cermatkah Metode Perhitungan Kerugian Negara oleh BPK yang Dijadikan  Dasar Utama Tuntutan Hukum Bagi Terdakwa Kasus ASABRI

Sudah Cermatkah Metode Perhitungan Kerugian Negara oleh BPK yang Dijadikan  Dasar Utama Tuntutan Hukum Bagi Terdakwa Kasus ASABRI

JAKARTA, (daeng news) — Menjelang akhir tahun 2021, Kejaksaan kembali mengejutkan publik dengan tuntutan mati bagi terdakwa kasus PT Asuransi Sosial Bersenjata Republik Indonesia (PT ASABRI).

Mengutip kembali tanggapan dari Aktifis HAM dan praktisi hukum Haris Azhar mengenai tuntutan mati tersebut “…ini adalah permainan psikologis. Sementara kita tahu bahwa kualitas kerja institusi penegak hukum dan aparatnya masih banyak celah negatif. Apalagi perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh BPK ditengarai tidak dilakukan secara independen dan cermat. Lalu dimana letak keadilan itu?” (Senin 6 Desember 2021).

Metode perhitungan kerugian negara yang digunakan oleh BPK dalam  kasus PT ASABRI dapat dilihat dengan sedikit menoleh kebelakang dari sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT ASABRI yang digelar beberapa waktu lalu di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dengan agenda pemeriksaan Saksi Ahli, Senin (29/11/2021) dan dilanjutkan, Selasa (30/11/2021). Persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi Ahli tersebut dihadiri oleh para saksi Ahli ternama dibidangnya yang memberikan pendapat mereka untuk para terdakwa dalam kasus tersebut.

Pemberian keterangan Ahli oleh Ahli Hukum Administrasi Negara, Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang, S.H., M.H., menjelaskan bahwa “…pemeriksaan formalitas dengan penghitungan hanya didasarkan pada aspek uang masuk dan uang keluar tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. “Penghitungan kerugian negara harus berdasarkan nilai buku atau nilai nyata yang catatan laporan keuangannya ada pada CaLK” tegasnya”.

Dalam persidangan sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan keterangan perkara terkait investasi menggunakan metode total lost.  Tanggapan Dian atas metode yang digunakan BPK ini “Yang pertama bahwa total lost tidak dikenal sejak ada Pasal 39 PP Nomor 38 Tahun 2016, kedua untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengelola investasi mengacu Pasal 4 ayat (1) PMK No. 248 Tahun 2016 untuk mengidentifikasi apakah dari nilai ada kekurangan atau tidak”. Saksi dari BPK juga mengakui bahwa dalam “melakukan perhitungan kerugian negara dalam kasus PT ASABRI tidak sepenuhnya mengaplikasikan prinsip-prinsip akuntasi”.

Sebagaimana diterangkan Dr. Dian bahwa “metode perhitungan kerugian negara yang digunakan oleh BPK seharusnya menggunakan metode baku yang diatur dalam Peraturan BPK No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara dan harus mengaplikasikan prinsip – prinsip akuntansi, apabila keluar dari aturan dan prinsip – prinsip akuntansi tersebut artinya BPK telah melanggar peraturan yang menjadi acuan BPK sendiri” ungkap Dr. Dian.  Hal ini tentu akan menjadi pertanyaan apakah perhitungan kerugian negara tersebut layak untuk dijadikan dasar untuk tuntutan bagi para terdakwa. Terlebih lagi tuntutan mati.

Metode perhitungan kerugian negara yang digunakan BPK yang menurut Ahli  telah melanggar Peraturan BPK itu sendiri tentu dapat menimbulkan argumenasi sengit dari para terdakwa  mengenai jumlah  kerugian negara yang diduga disebabkan oleh mereka. Bukan tidak mungkin dapat berakhir dengan upaya hukum dari para terdakwa untuk melakukan gugatan hukum atas hasil perhitungan kerugian negara oleh BPK tersebut.

Sementara itu, Ahli Hukum Pasar Modal, Indra Safitri, SH, MM, yang menjadi saksi ahli dari Terdakwa Lukman Purnomosidi merincikan juga bahwa turun dan naiknya harga saham ditentukan oleh pergerakan harga yang terbentuk di bursa efek. “Dalam hal terjadi naik turunnya harga saham, emiten tidak bisa diminta pertanggungjawaban”, ujar Ahli Hukum Pasar Modal ini.

Sementara Dr Miftahul Huda yang memberikan keterangan dalam perkara terdakwa Lukman Purnomosidi menyatakan, “apabila ada kesepakatan antar badan hukum korporasi dan terbit surat efektif dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum jatuh tempo (maturity date) maka hukum pidana tidak bisa diterapkan. “Jadi perjanjian yang belum due, maka tidak dapat dikatakan wanprestasi dan atau melakukan perbuatan melawan hukum”, tegas Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.

Keterangan Dr. Miftahul tersebut setidaknya dapat “meluruskan” bahwa salah satu dasar kerugian negara yang dinyatakan BPK disebabkan terdakwa bisa jadi tidak tepat karena fakta bahwa “….perjanjian yang belum due (jatuh tempo) maka hukum pidana tidak dapat diterapkan”. Belum jatuh tempo dapat diartikan belum terjadi kerugian. Sedangkan mengutip kembali keterangan dari Dr. Dian sebagai ahli dalam persidangan tersebut juga mengatakan bahwa “….memaknai sifat dari kerugian negara itu harus nyata dan pasti”.

Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum sebagai Ahli Hukum Pidana mengatakan bahwa untuk membuktikan adanya suatu dugaan tindak pidana korupsi perlu dianutnya asas dualistis. “Asas dualistis dianut dengan memisahkan perbuatan pidana (unsur objektif) dengan pertanggungjawaban pidana (unsur subjektif), maka untuk menemukan suatu dugaan tindak pidana korupsi perlu dibuktikan terlebih dahulu objektif dan setelah itu unsur subjektifnya”, jelas Mahmud Mulyadi.

Bagaimana bila ketentuan Undang-Undang Pasar Modal, Undang-Undang Administrasi dan lain-lain dan kemudian ditarik dalam UU Tipikor? “Apabila terdapat UU Pidana Khusus yang berhadapan, perlu diterapkan asas leq specialis systematic deroqate leq generalis, jadi aturan UU khusus yang lebih sistematis yang akan diterapkan”, tidak sedikit – sedikit harus ditarik ke Tipikor tegas Doctor Hukum berpenampilan nyentrik ini.

Jakarta, 8 Desember 2021.

About Daeng SwaraPendidikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

https://swarapendidikan.or.id/