Istilah Ma’rifat berasal dari kata “Al-Ma’rifah” yang berarti
mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan
pengamalan Tasawuf, maka istilah ma’rifat di sini berarti mengenal
Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama
Tasawuf; antara lain:
- Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf
yang mengatakan:
“Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud
yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.”
- Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat
Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
“Ma’rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)…dalam
keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi…”
- Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad
bin Abdillah yang mengatakan:
“Ma’rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu
pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang
meningkat ma’rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).”
marifat arti secara umum adalah yang dilakukan orang alim yang sesuai dengan maksud dan tujuan ilmu sendiri.
Ma‘rifat menurut ahli fiqhi adalah ilmu . setiap ilmu itu ma’rifat, ma‘rifat itu ilmu, setiap orang alim arif dan setiap ‘arif itu alim.
Ma‘rifat menurut ahli shufi ialah rasa kesadaran kepada Alloh akan sifat dan AsmaNYA
Marifat menurut bahasa adalah menggetahui Allah SWT
Marifat menurut istilah adalah sadar kepada Allah SWT, yakni : hati menyadari bahwa segala sesuatu, termasuk gerak-gerik dirinya lahir batin seperti : melihat, mendengar, merasa, menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan ,berfikir dan sebagainya semua adalah Alloh SWT , yang menciptakan dan yang mengerakan. Jadi semuanya dan segala sesuatu adalah Billah
Makrifat, sebagai pengetahuan yang hakiki dan meyakinkan, menurut al-Gazali, tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak dicapai lewat penalaran rasional, tetapi lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman sufistik. Di sini, tersingkap segala realitas yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan tidak terjangkau oleh akal (rasio).
Teori pengetahuan kasyfiy atau ‘irfaniy yang tidak menekankan peran indera dan rasio dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk bergelimang dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Orang lari dari dunia nyata yang obyektif ke dunia gaib yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan nalar. Orang lebih mementingkan kebahagiaan diri sendiri daripada kebahagiaan dan keselamatan umat manusia. Karenanya, orang lebih tertarik pada sikap hidup isolatif daripada sikap hidup partisipatif. Sikap hidup seperti ini berakibat pada banyaknya persoalan kemanusiaan tidak terurus yang sebenarnya menjadi tugas manusia.
Makrifat, menurut al-Gazali, ialah pengetahuan yang meyakinkan, yang hakiki, yang dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin). Ia tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak lewat penalaran rasional, tetapi semata lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman kasyfiy atau ‘irfaniy. Teori pengetahuan ala sufi ini dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk aktif dalam kehidupan nyata secara seimbang antara tuntutan pribadi dan sosial, antara jasmani dan ruhani.
Makrifat merupakan ilmu yang tidak menerima keraguan (العلم الذى لا يقبل الشك) yaitu ”pengetahuan” yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, karena ia adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Inilah ilmu yang meyakinkan, yang diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan sebagai berikut:
ان علم اليقين هو الذي هو الذى ينكشف فيه المعلوم انكشافا لا يبقى معه ريب ولا يقالانه امكان الغلط والوهم ولا يتسع القلب لتقدير ذلك
“Sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah ilmu di mana yang menjadi obyek pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikit pun keraguan terhadapnya; dan juga tidak mungkin salah satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu”.
Secara definitif, makrifat menurut al-Gazali ialah:
الإطلاع على أسرار الربوبية والعلم بترتب الأمور الإلهية المحيطة بكل الموجودات.
“Terbukanya rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang meliputi segala yang ada”.
Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa obyek makrifat dalam ajaran tasawuf al-Gazali tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga mencakup pengenalan tentang segala hukum-hukum-Nya yang terdapat pada semua makhluk. Lebih jauh, dapat pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai tingkat makrifat (al-‘arif) mampu mengenal hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya yang hanya tampak pada orang-orang tertentu–para ’arifin–. Karena itu, adanya peristiwa-peristiwa “luar biasa”, seperti karamah, kasyf dan lain-lain yang dialami oleh orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah keluar dari sunnah Allah dalam arti yang luas, karena mereka mampu menjangkau sunnah-Nya yang tak dapat dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa. Karena itu, dapat dikatakan, bahwa obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali mencakup pengenalan terhadap hakikat dari segala realitas yang ada. Meskipun demikian, pada kenyataannya, al-Gazali lebih banyak membahas atau mengajarkan tentang cara seseorang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, yang memang tujuan utama dari setiap ajaran sufi. Dengan demikian, al-Gazali mendefinisikan makrifat dengan. (النظر الى وجه الله تعالى) (memandang kepada wajah Allah ta’ala).
Perlu disadari, betapapun tingginya pengenalan (al-makrifat) seseorang terhadap Allah, ia tidak akan mungkin dapat mengenal-Nya dengan sempurna, sebab manusia itu bersifat terbatas (finite), sedangkan Allah bersifat tak terbatas (infinite).
Makrifat dalam arti yang sesungguhnya, menurut al-Gazali, tidak dapat dicapai lewat indera atau akal, melainkan lewat nur yang diilhamkan Allah ke dalam qalbu. Melalui pengalaman sufistik seperti inilah, didapat pengetahuan dalam bentuk kasyf. Dengan kata lain, makrifat bukanlah pengetahuan yang dihasilkan lewat membaca, meneliti, atau merenung, tetapi ia adalah apa yang disampaikan Tuhan kepada seseorang (sufi) dalam pengalaman sufistik langsung.
Makrifat sebagai ilmu mukasyafah, kata al-Gazali, tidak bisa dikomunikasikan kepada orang yang belum pernah mengalaminya, atau belum mencapai tingkat kualifikasi yang mampu mengerti pengalaman sufistik semacam itu. Setiap pengalaman pribadi antara seorang sufi dengan Tuhannya, jika diungkapkan dengan kata-kata, sudah dapat dipastikan salah paham dari pendengar yang tak mampu melepaskan ikatan duniawi. Paling-paling seorang sufi hanya mencoba mengungkapkannya secara simbolik dan metaforik, karena tidak ada bahasa yang dapat menuturkan secara tepat, tidak ada ungkapan yang tidak mengandung penafsiran ganda.
Selain itu Al-Gazali juga sangat menentang orang yang tidak peduli terhadap hukum-hukum syariah karena menganggap telah mencapai tingkat tertinggi (wali) dan telah memperoleh pengetahuan langsung dari sumbernya, yaitu Allah SWT. berupa pengetahuan kasyfi, yang membawanya tidak terikat lagi pada hukum-hukum taklifiy. Kenyataan ini, menurut ‘Abd. al-¦alim Mahmd, adalah tindakan bid’ah yang sangat menyesatkan, yang lahir dari orang-orang yang sama sekali tidak mengerti agama (Islam), terutama tentang hakikat tasawuf. Jika ada orang berkata, demikian Ibnu Taimiyah, bahwa ia telah menerima pengetahuan berdasarkan kasyf, tetapi bertentangan dengan sunnah Rasul, maka kita wajib menolaknya. Menurut Ab al-A’la al-Mauddiy, antara syariah dan tasawuf terdapat hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Jika syariah (fiqh) mengatur aspek lahir, maka tasawuf berhubungan dengan aspek batin untuk kesempurnaan ibadah kepada Allah SWT.
Salah satu perbedaan lain antara ma’rifat dan jenis pengetahuan lain adalah cara memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras; belajar keras; merenung keras; berpikir keras. Akan tetapi ma’rifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia. Pada tahap akhir semuanya bergantung pada kemurahan Allah Swt. Manusia hanya bisa melakukan persiapan (isti’dad) dengan cara membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit hati atau akhlak tercela lainnya.
Adapun Tanda-Tanda bagi adanya ma’rifat adalah hidupnya hati beserta Allah Ta’ala. Ditulis oleh al-Ghazali, bahwasanya pernah terjadi dialog antara Allah dan Nabi Daud A.S. dimana Daud ditanya oleh Allah, “Adakah Engkau tahu apakah ma’rifat kepadaku ?”, Daud menjawab, “Tidak”. Dijelakan oleh Allah, “Ia itu adalah hidupnya hati dalam musyahadah (menyaksikan) kepadaku.
Ma’rifat hakiki terdapat dalam maqam ru’yat wa al–musyahadah bi sirr al-qalb. Orang yang ma’rifat melihat sekedar hanya untuk mengetahui. Karena ma’rifat yang hakiki ada di dalam (bathin) iradah Allah. Allah, ketika ini, hanya membuka sebagian hijab sehingga memungkinkan hambanya untuk mengenali–Nya. Akan tetapi, Ia tidak membuka seluruh hijab, agar yang melihat-Nya tidak terbakar.
Tanda adanya ma’rifat hakiki pada diri seseorang adalah jika di hatinya telah tidak dijumpai tempat untuk lain selain Allah. Ini erat kaitannya dengan apa yang dikatakan sebagian para Ulama tentang hakikat ma’rifat bahwa hakikatnya adalah menyaksikan (musyahadat) al-haqq dengan tanpa perantaraan, tidak bisa digambarkan, dan tanpa ada kesamaran. (37) Potret dan contoh figur yang telah sampai pada tingkatan ini, sebagaimana dicontohkan oleh al-Ghazali, misalnya Ali bin Abi Thalib, Ja’far Shadiq.
Ketika Ali ditanya oleh seseorang, “Wahai Amir al-Mu’minin, apakah engkau menyembah seseuatu yang engkau lihat atau sesuatu yang tidak engkau lihat ?”, Ali menjawab, “Tidak, bahkan aku menyembah dzat yang aku lihat tidak dengan mata kepalaku, tetapi dengan mata hatiku”. Demikian juga ketika Ja’far al-Shadiq R.A. ditanya “Apakah engkau melihat Allah ?”, ia menjawab, “Apakah aku menyembah tuhan yang tidak bisa aku lihat”. Lalu ia ditanya lagi, “Bagaimana engkau dapat melihatnya pada-hal Ia (Tuhan) adalah sesuatu yang tidak terjangkau oleh peng-lihatan”. Ja’far Shadiq menegaskan, “Mata tidak bisa melihat Tuhan dengan penglihatannya, tetapi hati bisa melihat-Nya dengan hakikat iman. Ia tidak mungkin dapat diindera oleh pan-caindera dan dipersamakan dengan manusia. (38)
Dalam pandangan al-Ghazali, rahasia serta “ruh” yang terkandung dalam ma’rifat adalah tauhid, yaitu penyucian sifat hayat ‘ilmu, qudrat, iradat, sam’, bashar, dan kalam Allah dari penyerupaan.
Adapun sumber ma’rifat menurut al-Ghazali ada empat yaitu :
- Pancaindera; Menurut al-Ghazali, pancaindera adalah termasuk juga sumber ma’rifat. Akan tetapi bekerjanya hanya dalam beberapa sumber, akan tetapi tidak dalam yang lain.
- Akal; Sebagaimana pancaindera, akal juga adalah merupakan salah satu sumber ma’rifat dalam beberapa sumber. Tetapi sekali lagi, ditegaskan bahwa ia bukanlah segala-galanya. Menganggap dan memberikan cakupan yang luas bagi akal sebagai sumber ma’rifat dapat menyebabkan penyepelean terhadap al-Qur’an sebagai utama.
- Wahyu; Menurut al-Ghazali, wahyu adalah sumber terbesar bagi Ma’rifat. Wilayah cakupannya sangat luas, sesuai dengan posisinya sebagai sumber pertama dan utama bagi ajaran Islam.
- Kasyf; yang dimaksud dengan kasyf oleh al-Ghazali adalah cahaya yang dihunjamkan ke dalam hati hamba, sehingga hati dapat melihat dan merasakan sesuatu dengan ‘ain al-yaqin. Kasyf adalah sumber kedua bagi ma’rifat yang terbesar setelah wahyu.
Tingkatan ma’rifat, menurut al-Ghazali berjenjang sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Karena itu, tingkatan ma’rifat dibagi menjadi tiga sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Tiga tingkatan tersebut yaitu :
- Tingkatan pertama; imannya orang awam. Iman dalam tingkatan ini adalah iman taqlid yang murni.
- Tingkatan kedua; Imannya para ahli kalam. Mereka adalah orang-orang yang mengaku ahli akal dan berpikir atau mengaku sebagai tokoh penelitian dan istidlal.
- Tingkatan ketiga; Imannya para ‘arifin yaitu orang-orang yang menyaksikan dengan ‘ainul yaqin. (41)
Berkaitan dengan jalan perolehan ma’rifat ini Imam Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari dalam al-Hikam menulis:
“Apabila Tuhan membukakan jalan bagimu untuk Ma’rifat, maka jangan hiraukan amalmu yang masih sedikit itu, karena Allah tidak membuka jalan tadi melainkan Dia (sendiri yang) berkehendak memperkenalkan diri-Nya kepada kamu. Tidakkah anda ketahui bahwa perkenalan itu adalah pemberian Allah pada anda. Sedangkan amal-amal (yang anda kerjakan) anda berikan amal-amal itu untuk Allah, dan dimanakah fungsi pemberian anda kepada Allah apabila dibandingkan pada apa yang didatangkan Allah atas anda ?”
Salah satu pendidikan yang dapat ditemukan dari laku lampah Dunia Ruhani bahwa setiap penempuh jalan ruhani dituntut agar melihat kecil apa yang datang dari hamba dan betapa besar apa yang dikurniakan oleh Allah. Ruhani yang terdidik seperti ini akan membentuk sikap beramal tanpa melihat kepada amal itu sendiri, sebaliknya melihat amal itu sebagai kurnia Allah yang wajib disyukuri. Orang yang terdidik seperti ini tidak lagi membuat tuntutan kepada Allah tetapi membuka hati nuraninya untuk menerima hidayah dan taufik dari Allah.
Orang yang hatinya suci bersih akan menerima pancaran Sirr dan mata hatinya akan melihat kepada hakikat bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Suci dan Maha Tinggi. Ia tidak mungkin ditemui dan dikenali kecuali jika Dia (sendiri yang) mau untuk ditemui dan dikenali.
Tidak ada ilmu dan amal yang mampu menyampaikan seseorang kepada Allah. Tidak ada jalan untuk mengenal Allah. Allah hanya (dapat) dikenali apabila Dia memperkenalkan ‘diri-Nya’.
Penemuan kepada hakikat (bahwa tidak ada jalan yang terluhur kepada gerbang makrifat) merupakan puncak yang dapat dicapai oleh ilmu. Ilmu tidak mampu berjalan lebih jauh dari itu. Apabila seseorang mengetahui dan mengakui bahwa tidak ada jalan atau tangga yang dapat mencapai Allah, maka seseorang itu tidak lagi bersandar kepada ilmu dan amalnya, apa lagi kepada ilmu dan amal orang lain. Sampai disini seseorang tidak ada pilihan lagi melainkan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.
Ada orang yang mengetuk pintu gerbang ma’rifat dengan doanya. Jika pintu itu tidak terbuka maka semangatnya akan menurun hingga membuatnya putus asa.
Ada pula orang yang berpegang dengan janji Allah bahwa Dia akan membuka jalan-Nya kepada hamba-Nya yang berjuang pada jalan-Nya.
Kuatlah dia beramal dengan harapan dirinya layak untuk menerima kurnia Allah sebagaimana janji-Nya. Dia menggunakan kekuatan amalnya untuk mengetuk pintu gerbang makrifat. Bila pintu tersebut tidak terbuka juga maka dia menjadi ragu-ragu.
Dalam perjalanan menggapai ma’rifat seseorang tidak terlepas dari perasaan ragu, lemah semangat dan berputus asa. Jika dia masih bersandar kepada sesuatu selain Allah Swt, si hamba tidak ada pilihan lain kecuali berserah kepada Allah Swt.
Ma’rifat menurut Drs Imron Rosadi MA, adalah pengetahuan, dan dalam arti umum ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Inilah yang dikemukakan Harun Nasution dalam Falsafat & Mistisisme dalam Islam.
Lewat hati sanubari seorang sufi dapat melihat Tuhan. Dan kondisi seperti itu (Ma’rifat) diungkapkan para sufi dengan menyatakan “Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, maka kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah SWT”.
Kondisi Ma’rifat dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam (jilid tiga) bahwa Ma’rifat merupakan cermin. Jika seorang sufi melihat ke cermin, maka yang akan dilihatnya hanya Allah SWT. Artinya bahwa yang dilihat orang Arif sewaktu tidur maupun bangun hanya Allah SWT. Dengan ungkapan ini terlihat begitu dekatnya seorang sufi dengan Tuhannya, dan kondisi Ma’rifat ini mengisyaratkan bahwa Ma’rifat adalah anugerah dari Tuhan. Tuhanlah yang berkenan memberikan pengetahuan langsung dengan mengenugerahkan kemampuan kepada orang yang dikehendaki untuk menerima Ma’rifat. Ma’rifat merupakan cahaya yang memancar ke dalam hati, menguasai yang ada dalam diri manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya, dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahannya yang gilang gemilang.
Sufi pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya adalah ZUNNUN al-MISRI (Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M). Ia disebut “Zunnun” yang artinya “Yang empunya ikan Nun”, karena pada suatu hari dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain ia menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga dan Zunnun dituduh sebagai pencurinya. Ia kemudian disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang dicurinya. Saat tersiksa dan teraniaya itu Zunnun menengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru: ”Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Tahu”. Pada waktu itu secara tiba-tiba muncullah ribuan ekor ikan Nun besar ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulut masing-masing. Zunnun mengambil sebuah permata dan menyerahkannya kepada saudagar tersebut.
Dalam pandangan umum Zunnun sering memperlihatkan sikap dan perilaku yang aneh-aneh dan sulit dipahami masyarakat umum. Karena itulah ia pernah dituduh melakukan Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di hadapan Khalifah al-Mutawakkil (Khalifah Abbasiyah, memerintah tahun 232 H / 847 M – 247 H / 861 M). Zunnun dipenjara selama 40 hari. Selama di dalam penjara, saudara perempuan Zunnun setiap hari mengirimkan sepotong roti, namun setelah dibebaskan, di kamarnya masih didapati 40 potong roti yang masih utuh.
Dzunun Al-Mishriy yang mengatakan; alat untuk mencapat ma’rifat ada 3 macam; yakni: Qalby (hati), Sirr (perasaan) dan Ruh. Sedangkan tanda-tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma’rifat, antara lain:
- Selalu memancar cahaya ma’rifat padanya dalam segala sikap dan
perilakunya. Karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
- Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta
yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran
Tasawuf, belum tentu benar.
- Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena
hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak
membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang
hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT.,
sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma’rifat
yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin
padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai
tingkat ma’rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai
berikut:
- Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan
ma’rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya,
pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi
dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya.
Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT
saja.
- Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai
tingkatan ma’rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu
menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul)
dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu
dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan
tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus
meskipun hanya sekejap mata saja.
- Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifat itu
adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika
Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa
kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni
ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari
Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma’rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh
secara terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini,seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tiak pula mengalami kesesatan.
Menurut Abu Bakar al-Kalabazi (W. 380 H / 990 M) dalam al-Ta’aruf li Mazahib Ahl at Tasawwuf (Pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli Tasawuf), Zunnun telah sampai pada tingkat Ma’rifat yaitu maqam tertinggi dalam Tasawwuf setelah menempuh jalan panjang melewati maqam-maqam: Taubat, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakal, Ridha dan cinta atau Mahabbah. Kalau Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan hati sanubari, maka Zunnun telah mencapainya. Maka, ketika ditanya tentang bagaimana Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab : “Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi lama araftu rabbi”. (Aku mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan sekiranya tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku). Kata-kata Zunnun ini sangat populer dalam kajian ilmu Tasawwuf.
Zunnun mengetahui bahwa Ma’rifat yang dicapainya bukan semata-mata hasil usahanya sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugerah yang dilimpahkan Tuhan bagi dirinya. Ma’rifah tidak dapat diperoleh melalui pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya.
Selanjutnya ketika mengungkapkan tokoh Zunnun Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa Zunnun membagi Ma’rifat ke dalam tiga tingkatan yaitu:
Tingkat awam. Orang awam mengenal dan mengetahui Tuhan melalui ucapan Syahadat.
Tingkat Ulama. Para Ulama, cerdik – pandai mengenal dan mengetahui Tuhan berdasarkan logika dan penalaran akal.
Tingkat Sufi. Para Sufi mengetahui Tuhan melalui hati sanubari.
Ma’rifat yang sesungguhnya adalah Ma’rifat dalam tingkatan Sufi, sedangkan Ma’rifat pada tingkat awam dan tingkat ulama lebih tepat disebut ilmu. Zunnun membedakan antara ilmu dan Ma’rifat.
Ciri-ciri orang ‘Arif atau orang yang telah sampai kepada Ma’rifat adalah
Cahaya Ma’rifatnya yang berupa ketaqwaan tidak pernah padam dalam dirinya.
Tidak meyakini hakikat kebenaran suatu ilmu yang menghapuskan atau membatalkan Zahirnya.
Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya tidak membuatnya lupa dan melanggar aturan Tuhan.
Dijelaskan bahwa akhlaq Sufi tidak ubahnya dengan akhlaq Tuhan. Ia baik dan lemah lembut serta senantiasa berusaha agar seluruh sikap dan perilakunya mencerminkan sifat-sifat Tuhan.
Namun demikian untuk mencapai tingkat ini tidaklah mudah meskipun selintas dapat dipahami bahwa Ma’rifat didapat dengan ikhlas beribadah dan sungguh-sungguh mencintai dan mengenal Tuhan, sehingga Allah SWT berkenan menyingkap tabir dari pandangan Sufi untuk menerima cahaya yang dipancarkan, yang pada akhirnya Sufi dapat melihat keindahan dan keesaan-Nya. Jalan yang dilalui seorang Sufi tidaklah mulus dan mudah. Sulit sekali untuk pindah dari satu maqam ke maqam yang lain. Untuk itu seorang Sufi memang harus melakukan usaha yang berat dan waktu yang panjang, bahkan kadang-kadang ia masih harus tinggal bertahun-tahun di satu maqam.
Dalam pada itu Ma’rifatpun harus dicapai melalui proses yang terus-menerus. Semakin banyak seorang Sufi mencapai Ma’rifat, semakin banyak yang diketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan, meskipun demikian tidak mungkin Ma’rifatullah menjadi sempurna, karena manusia sungguh amat terbatas, sementara Tuhan tidak terbatas. Karena itu al-Junaid al-Baghdadi, seorang tokoh Sufi modern berkomentar tentang keterbatasan manusia dengan mengatakan “Cangkir teh takkan mungkin menampung semua air laut”.
Paham Ma’rifat Zunnun dapat diterima al-Ghazali sehingga paham ini mendapat pengakuan Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Ghazali sebagai figur yang berpengaruh di kalangan Ahlussunah wal Jama’ah diakui dapat menjadikan Tasawwuf diterima kaum syari’at. Sebelumnya para ulama memandang Tasawuf seperti yang diajarkan al-Bustami (W. 261 H / 874 M) dan al-Hallaj (244 – 309 H / 858 – 922 M) khususnya menyimpang dengan paham Hulul / Ittihad / penyatuan yang dalam pemahaman “Kejawen” dikenal dengan “Manunggaling Kawulo Gusti”
Ma’rifat menurut al-Ghazali adalah maqam kedekatan (qurb) itu sendiri yakni maqam yang memiliki daya tarik dan yang memberi pengaruh pada kalbu, yang lantas berpengaruh pada seluruh aktivitas jasmani (jawarih). `Ilm (ilmu) tentang sesuatu adalah seperti “melihat api” sebagai contoh, sedangkan ma`rifat adalah “menghangatkan diri dengan api”.
Menurut bahasa, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Adapun menurut istilah yang sering dipakai menunjukkan ilmu pengetahuan tentang apa saja (nakirah). Menurut istilah Sufi, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan, apabila yang berkaitan dengan objek pengetahuan itu adalah Dzat Allah swt. dan Sifat-sifat-Nya. Jika ditanya, `Apa yang disebut ma`rifat Dzat dan apa pula ma’rifat Sifat?” Maka dijawab bahwa ma’rifat Dzat adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah swt. adalah Wujud Yang Esa, Tunggal, Dzat dan “sesuatu” Yang Mahaagung, Mandiri dengan Sendiri-Nya dan tidak satu pun yang menyerupai-Nya.
Sedangkan ma’rifat Sifat adalah mengetahui sesungguhnya Allah swt. Mahahidup, Maha Mengetahui, Mahakuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan seluruh Sifat-sifat Keparipurnaan lainnya.
Kalau ditanya, `Apa rahasia ma`ri fat?” Rahasia dan ruhnya adalah tauhid. Yaitu, jika anda telah menyucikan sifat-sifat Mahahidup, Ilm (Ilmu), Qudrah, Iradah, Sama ; Bashar dan Kalam Allah dari segala keserupaan dengan sifat-sifat makhluk [dengan penegasan bahwa tiada satu pun yang menyamai-Nya].
Lalu, apa tanda-tanda ma`rifat? Tanda-tandanya adalah hidupnya kalbu bersama Allah swt. Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Dawud a.s., “Mengertikah engkau, apakah ma’rifat-Ku itu?” Dawud menjawab, “Tldak.”Allah berfirman, “Hidupnya kalbu dalam musyahadah kepada-Ku. “
Kalau ditanya, “Tahap atau maqam manakah yang dapat disahkan sebagai ma `rifat yang hakiki?” [Jawabnya] adalah tahap musyahadah (penyaksian) dan ru’yat (melihat) dengan sirr qalbu. Hamba melihat untuk mencapai ma’rifat. Karena ma’rifat yang hakiki ada dalam dimensi batin pada iradah, kemudian Allah swt. menghilangkan sebagian tirai (hijab), lantas kepada mereka diperlihatkan nur Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya dari balik hijab itu agar mereka sampai pada ma’rifat kepada Allah swt. Hijab itu tidak dibukakan seluruhnya, agar yang melihat-Nya tidak terbakar.
Sang Sufi bersyair dengan ungkapan pencapaian pada tahap spiritual tertentu :
Seandainya Aku tampak tanpa hijab
Pastilah seluruh makhluk sempurna
Namun hijab itu amat halus
Agar merevitalisasi kalbu para hamba yang `asyiq.
Ketahuilah, bahwa manifestasi (tajalli) keagungan melahirkan rasa takut (khauf) dan keterpesonaan (haibah). Sedangkan manifestasi keelokan (al-Hasan) dan Keindahan (al-Jamal) melahirkan keasyikan. Sementara manifestasi Sifat-sifat Allah melahirkan mahabbah. Dan manifestasi Dzat meniscayakan lahirnya penegasan keesaan (tauhid).
Sebagian ahli ma’rifat berkata, “Demi Allah, tidak seorang pun yang mencari dunia, selain orang itu dibutakan kalbunya oleh Allah, dan dibatalkan amalnya. Sesungguhnya Allah menciptakan dunia sebagai kegelapan, dan menjadikan matahari sebagai cahaya. Allah menjadikan kalbu juga gelap, lalu dijadikan ma’rifat sebagai cahayanya. Apabila awan telah tiba, cahaya matahari akan terhalang. Begitupun ketika kecintaan dunia tiba, cahaya ma’rifat akan terhalang dari kalbu.”
Ada pula yang mengatakan, “Hakikat ma’rifat adalah cahaya yang dikaruniakan di dalam kalbu Mukmin, dan tiada yang lebih mulia dalam khazanah kecuali ma’rifat.”
Sebagian Sufi berkata, “Matahari kalbu Sang `Arif lebih terang dan bercahaya dibandingkan matahari di siang hari. Karena matahari pada siang hari kemungkinan menjadi gelap karena gerhana, sedangkan matahari kalbu tiada pernah mengalami peristiwa gerhana (kusuf). Matahari siang tenggelam ketika malam, namun tidak demikian pada matahari kalbu.” Mereka mendendangkan syair:
Matahari siang tenggelam di waktu senja
matahari kalbu tiada pernah tenggelam
Siapa yang mencintai Sang Kekasih
`Kan terbang sayap rindunya
menemui Kekasihnya.
Dzun Nun berkata bahwa hakikat ma’rifat adalah penglihatan al-Haq atas rahasia-rahasia relung kalbu melalui perantaraan (muwashalah) Kilatan-kilatan lembut (latha’if) cahaya-cahaya:
Bagi orang `arifin, terdapat kalbu-kalbu yang diperlihatkan
Cahaya I1ahi dengan rahasia di atas rahasia
Yang terdapat dalam berbagai hijab
Tu1i dari makhluk, buta dari pandangan mereka
Bisu dari berucap dalam klaim-klaim dusta.
Sebagian di antara mereka ditanyai, “Kapankah seorang hamba mengetahui bahwa dia telah mencapai ma’rifat yang hakiki?” Dijawab, “Tatkala dia mencapai tahapan tidak menemukan dalam kalbunya sedikit pun ruang bagi selain Tuhannya.”
Sebagian Sufi ada pula yang berkata, “Hakikat ma’rifat adalah musyahadah kepada Yang Haq tanpa perantara, tanpa bisa diungkapkan, tanpa ada keraguan (syubhah).” Seperti ketika Amirul-Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. ditanya, “Wahai Amirul-Mukminin, apakah yang anda sembah itu yang dapat anda lihat atau tidak dapat anda lihat?” “Bukan begitu, bahkan aku menyembah Yang aku lihat, bukan dengan penglihatan mata, tetapi penglihatan kalbu,” jawab Ali.
Ja’far ash-Shadiq ditanya, “Apakah anda pernah melihat Allah swt.?”
“Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak bisa kulihati” Ditanyakan lagi, “Bagaimana anda melihat-Nya, padahal Dia tidak dapat dilihat mata?”
Ja’far menjawab, “Mata penglihatan fisik tidak bisa melihat-Nya, tetapi mata batin (al-qulub) dapat melihat-Nya melalui hakikat iman. Tidak diketahui melalui penginderaan dan tidak pula dianalogikan dengan manusia.”
Sebagian `arifin ditanya seputar hakikat ma’rifat. Mereka berkata, “Menyucikan sirr (rahasia) kalbu dari segala kehendak ‘ dan meninggalkan kebiasaan sehari-hari, tentramnya kalbu kepada Allah swt. tanpa ada ganjalan (`alaqah), berhenti dari sikap berpaling dari Allah swt. dan menuju selain Allah swt. Mustahil, ma’rifat kepada substansi Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya, dan tidak akan diketahui siapa Dia, kecuali melalui Dia sendiri, Yang Mahaluhur, Mahatinggi, serta Kemuliaan hanya kepada Diri-Nya saja.”
Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Mu’ayanah
Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Mu`ayanah merupakan term-term yang sinonim. Perbedaannya pada tataran makna penjelasannya yang utuh, bukan pada tataran makna asalnya. Kedudukan bashirah (mata batin) pada akal sama dengan kedudukan cahaya mata (batin) pada mata penglihatan (fisik). Kedudukan ma’rifat pada bashirah adalah seperti kedudukan bola matahari yang berpijar pada cahaya mata, sehingga dengan sinar itu, objek-objek yang jelas dan yang tidak tampak dapat dikenali.
Di dalam kehidupan (hayah) itu sendiri, Tauhid dapat diketahui.Allah swt. berfirman: “Bukankah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan?” (Q. s. al-An’am:122).
Sedangkan al-yaqin -ketahuilah – keyakinan (al-i`tiqad) dan ilmu, apabila telah bersemayam dalam kalbu dan tidak ada yang menjadi penghalang (ma’aridh) bagi masing-masing, akan membuahkan ma`rifat dalam kalbu. Dan ma’rifat tersebut dinamakan al-yaqin. Karena hakikat yakin adalah kejernihan ilmu yang didapatkan (acquired) melalui perolehan karunia (muktasab), sehingga menjadi seperti ilmu aksiomatik, dan kalbu menyaksikan keseluruhan, sebagaimana dikabarkan oleh syariat, baik dalarn persoalan dunia maupun akhirat. Dikatakan, `Air menjadi jelas ketika bersih dari kekeruhannya.”
Ilham adalah pencapaian (hushul) ma’rifat tersebut tanpa disertai sebab dan upaya, tetapi dengan ilham langsung dari Allah swt. setelah kalbu menjadi jernih dari segala sikap memandang baik (istihsan) dua jagad – jagad dunia maupun akhirat.
Sementara firasat adalah pengetahuan akan perlambang dari Allah swt., antara Dia dan hamba-Nya, yang memberi petunjuk pada segi esoterik (sisi paling dalam) hukum-hukumNya. Firasat tidak akan hadir, kecuali pada derajat taqarrub. Tetapi dia berada di bawah ilham. Karena ilham tidak membutuhkan alamat-alamat. Namun firasat membutuhkan alamat atau tanda perlambang, baik bersifat umum maupun khusus
Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Ma’rifat itu datang lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan segala kemampuan atau yang lebih dikenal sebagai usaha (kasab) seorang hamba.”
Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang yang arif, lalu ia menjawab, “Orang arif adalah orang yang tidak terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan menjadi jernih karenanya.”
Ahmad bin ‘Atha’ – rahimahullah – berkata, “Ma’rifat itu ada dua: Ma’rifat al-Haq dan ma’rifat hakikat. Adapun ma’rifat al-Haq adalah ma’rifat (mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifat-sifat yang ditampakkan pada makhluk-Nya. Sedangkan ma’rifat hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke sana. Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat ketergantungan makhluk)-Nya, dan mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman:
“Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi (memahami secara detail) Ilmu-Nya”.” (Q.s. Thaha: 110).
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskan:
Makna ucapan Ahmad bin’Atha’, “Tak ada jalan menuju ke sana,” yakni ma’rifat (mengetahui) secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu bahwa itulah kadar kemampuan mereka. Sebab untuk tahu dan ma’rifat secara hakiki tidak akan mampu dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma’rifat-Nya tidak akan sanggup dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup ma’rifat (mengetahui) Dzat Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?
Oleh karenanya ada orang berkata, “Tak ada selain Dia yang sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah) tak mungkin dapat dipahami secara detail. Allah swt. berfirman:
“Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”.” (Q.s. al-Baqarah: 255).
Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang pernah berkata, “Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma’rifat-Nya kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya.”
Asy-Syibli – rahimahullah – pernah ditanya, “Kapan seorang arif berada dalam tempat kesaksian al-Haq?”
Ia menjawab, “Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi saksi telah fana’ (sirna) indera dan perasaan pun menjadi hilang.”
“Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?”
Ia menjawab, “Awalnya adalah ma’rifat dan ujungnya adalah mentauhidkan-Nya.”
Ia melanjutkan, “Salah satu dari tanda ma’rifat adalah melihat dirinya berada dalam ‘Genggaman’ Dzat Yang Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari ma’rifat adalah rasa cinta (al-Mahabbah). Sebab orang yang ma’rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya.”
Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami – rahimahullah – pernah ditanya tentang sifat orang arif, lalu ia menjawab, “Warna air itu sangat dipengaruhi oleh warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih. Jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam, maka Anda akan menduganya berwarna hitam. Dan demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna kuning dan merah, ia akan selalu diubah oleh berbagai kondisi. Sementara itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah Dzat Yang memiliki dan menguasainya.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskannya: Artinya, – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung pada sifat dan warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Akan tetapi warna benda yang ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah kejernihan dan kondisi asli air itu. Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih atau hitam, padahal air yang ada di dalam tempat tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan aslinya. Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika “bersama” Allah Azza wa jalla dalam segala hal yang diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati nuraninya “bersama” Allah adalah dalam satu makna.
Al-junaid – rahimahullah – pernah ditanya tentang rasionalitas orang-orang arif (al-’arifin). Kemudian ia menjawab, “Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat.”
Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Adalah kemampuan hati nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang diberitahukan-Nya, karena ia telah menauhidkan-Nya.”
Al-Junaid – rahimahullah – ditanya, “Wahai Abu al-Qasim, (nama lain dari panggilan al-junaid, pent.). apa kebutuhan orang-orang arif kepada Allah?”
Ia menjawab, “Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah perlindungan dan pemeliharaan-Nya pada mereka.”
Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi – rahimahullah – berkata, “Akan tetapi mereka tidak membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun. Sebab tanpa membutuhkan dan memilih, mereka telah memperoleh apa yang semestinya mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang arif adalah berkat Dzat Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat Yang mewujudkannya.”
Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, ” Apa yang dibutuhkan orang-orang arif?”
Ia menjawabnya, “Mereka membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua kebaikan bisa sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan akan menjadi jelek seluruhnya. Akhlak itu adalah istiqamah.”
Yahya bin Mu’adz – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang arif, maka ia menjawab, “Ia bisa masuk di kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan mereka.”
Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang yang arif, maka ia menjawab, “Ialah seorang hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia terpisah dengan mereka.”
Abu al-Husain an-Nuri – rahimahullah – ditanya, “Bagaimana Dia tidak bisa dipahami dengan akal, sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan akal”
Ia menjawab, “Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa memahami Dzat Yang tanpa batas, atau bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa memahami Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa menentukan ‘di mana’ terhadap Dzat Yang menentukan ruang dan tempat itu sendiri. Demikian pula Yang menjadikan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia tidak mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahui mana yang pertama dan mana yang terakhir.”
Kemudian ia melanjutkannya, “Al-Azzaliyyah pada hakikatnya hanyalah al-Abadiyyah (Keabadian), di mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun. Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal. Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia menghilangkan Anda dan suatu saat menghadirkan Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan dan melihat penghambaan (‘ubudiyyah). Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui penciptaan makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-Nya, ‘Kun’ (wujudlah). Sementara mengetahui secara langsung adalah menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak ada kerendahan.”
Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan ucapan an-Nuri, “mengetahui-Nya secara langsung,” ialah langsung dengan yakin dan kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang gaib.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – melanjutkan penjelasannya: Makna dari apa yang diisyaratkan tersebut – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa menentukan dengan waktu dan perubahan itu tidak layak bagi Allah swt. Maka Dia terhadap apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi. Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia firmankan. Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu yang jauh sama seperti yang dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan senang (ridha), yang semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah satu dari Sifat-sifat al-Haq swt. – dan hanya Allah Yang Mahatahu-.
Ahmad bin Atha’ – rahimahullah – pernah mengemukakan sebuah ungkapan tentang ma’rifat. Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar al-Wasithi. Akan tetapi yang benar adalah ungkapan Ahmad bin ‘Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya (tidak ada nilai-nilai Ketuhanan). Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan). Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua ciri yang berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang ditolak. Mereka yang diterima, benar-benar tampak bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana tampak jelas bukti bukti tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan kegelapannya. Maka setelah itu, tidak ada manfaatnya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal (yang hanya merupakan simbolis semata, pent.).”
Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha’ maknanya mendekati dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin Ahmad ad-Darani – rahimahullah – dimana ia berkata, “Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya senang (ridha) atau benci. Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula, karena Dia benci pada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya.”
Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara ucapannya yang menyatakan, “Segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan menerimanya. Makna semua itu adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah Hadis:
Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada dua buah Kitab: Satu kitab di tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di tangan sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, “Ini adalah Kitab catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Sementara yang ini adalah Kitab catatan para penghuni neraka lengkap dengan nama-nama mereka beserta nama bapak-bapak mereka.” (H.r. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan Shahih Gharib. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu Umar).
Ketika Abu Bakar al-Wasithi – rahimahullah – mengenalkan dirinya kepada kaum elite Sufi, maka ia berkata, “Diri (nafsu) mereka (kaum arif telah sirna, sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan menyaksikan fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu.”
Demikian juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang makna ini. Artinya – dan hanya Allah Yang Mahatahu -, “Sesungguhnya orang yang menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak merasa senang dengan mereka (makhluk).”
Mari sama-sama kita pelajari ilmu tauhid sifat 20 yang dipegang oleh Imam Abu Hassan al-Asya’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi (Ahli sunnah wal jamaah) agar kita mempunyai asas mengenali Tuhan yang kita sembah dan taati.
Takrifan:
1. Sifat Nafsiah – diri zat Allah swt, wujudNya tidak disebabkan oleh sesuatu sebab
2. Sifat Salbiah – menafikan perkara-perkara yang tidak layak bagi Zat Allah swt atau hujah-hujah sifat yang membesarkan kelebihan zat yang Maha Agung itu daripada sekalian yang baharu
3. Sifat Ma’ani – sifat yang berdiri pada zat Allah swt, yakni sifat khusus yang dimiliki oleh Allah swt dan lazim melazimi pula ia dengan sifat ma’anawiyah
4. Sifat Ma’anawiyah – zat yang disebabkan suatu sebab akan wujudnya, yakni kelakuan zat atau fungsi zat yang mempunyai sifat ma’ani atau kelakuan sifat ma’ani yang digerakkan oleh zatNya.
Takrifan:
ISTAGHNA – Sifat KEKAYAAN Allah swt
IFTIQAR – Sifat berhajat, berkehendak sekalian makhluk kepada Allah swt
Berjuang dan bermujahadahlah kita agar hati kita dibuka pintu makrifat kepada Allah swt dari segi Zat, Sifat, Afa’al dan Asma’-Nya. Sekurang-kurangnya makrifat afa’alnya agar amal ibadat dan amal kebaikan yang kita lakukan tiada “syirik khafi” (yang tersembunyi) yang kesannya ialah amalan itu umpama debu-debu yang berterbangan yang mana tidak bernilai sedikit pun di sisi Allah swt. Fakir dan berhajatnya kita dengan Allah swt dan Maha Kaya dan Hebatnya Allah swt……Astaghfirullahalazim…..laahaulawalaquwwataillabillah…..
Dalam terminologi tasawuf yang dimaksud maqamat sangat berbeda dengan makam dalam istilah umum yang berarti kuburan. Definisi maqamat secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang berarti kedudukan spiritual (English : Station).
Maqam arti dasarnya 1) adalah “tempat berdiri”, dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya. Adapun “ahwal” bentuk jamak dari ‘hal’ 2) biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.
Dengan arti kata lain, maqam didefinisikan sebagai suatu tahap adab
(etika) kepadaNya dengan bermacam usaha diwujudkan untuk satu tujuan
pencarian dan ukuran tugas masing-masing yang berada dalam tahapnya
sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadah (exercise)
menuju kepadanya.5 Seorang sufi tidak dibenarkan berpindah ke suatu maqam
lain, kecuali setelah menyelesaikan syarat-syarat yang ada dalam maqam
tersebut. Tahap-tahap atau tingkat-tingkat maqam ini bukannya berbentuk
yang sama di antara ahli-ahli sufi, namun mereka bersependapat bahawa
tahap permulaan bagi setiap maqam ialah tawbah.
Rentetan amalan para sufi tersebut di atas akan memberi kesan kepada
kondisi rohani yang disebut sebagai al-ahwal yang diperoleh secara
intuitif dalam hati secara tidak langsung sebagai anugerah daripada Allah
semata-mata, daripada rasa senang atau sedih, rindu atau benci, rasa takut
atau sukacita, ketenangan atau kecemasan secara berlawanan dalam realiti
dan pengalaman dan sebagainya.6 Al-Maqamat dan al-ahwal adalah dua
bentuk kesinambungan yang bersambungan dan bertalian daripada kausaliti
(sebab akibat) amalan-amalan melalui latihan-latihan (exersice) rohani.
Banyak pendapat yang berbeda untuk mendefinisikan maqamat, diantaranya : Al Qusyairi, menjelaskan bahwa maqamat adalah etika seorang hamba dalam wushul (mencapai, menyambung) kepadanya dengan macam upaya, diwujudkan dengan tujuan pencarian dan ukuran tugas. Al Qusyairi menggambarkan maqamat dalam taubat – wara – zuhud – tawakal – sabar dan Ridha.
Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin membuat sistematika maqamat dengan taubat – sabar – faqir – zuhud – tawakal – mahabah – ma’rifat dan ridha.
At Thusi menjelaskan maqamat sebagai berikut : Al Taubat – Wara – Zuhud – faqir – sabar – ridha – tawakal – ma’rifat.
Al Kalabadhi (w. 990/5) didalam kitabnya “Al taaruf Li Madzhab Ahl Tasawuf”, sebuah kitab yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Arthur John Arberry dengan judul “The doctrine of the Sufi” 3) menjelaskan ada sekitar 10 maqamat : Taubat – zuhud – sabar – faqir – dipercaya – tawadhu (rendah hati) – tawakal – ridho – mahabbah (cinta) -dan ma’rifat.
Ibn Arabi dalam kitab Al futuhat Al Makiyah (The Meccan Revalation) 4) bahkan menyebutkan enam puluh maqam tetapi tidak memperdulikan sistematika maqam tersebut.
Maqam-maqam diatas harus dilalui oleh seorang sufi yang sedang mendekatkan diri kepada Tuhannya. Karena urutan masing-masing ulama sufi dalam menentukan urutan seperti yang tersebut di atas tidak seragam sehingga membingungkan murid, biasanya Syaikh (guru) tasawuf akan memberikan petunjuknya kepada muridnya.
Menjelaskan perbedaan tentang maqamat dan hal membingungkan karena definisi dari masing-masing tokoh tasawuf berbeda tetapi umumnya yang dipakai sebagai berikut:
Maqamat adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para Sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu termasuk ego manusia yang dipandang sebagai berhala besar dan merupakan kendala untuk menuju Tuhan. Didalam kenyataannya para Saliki memang untuk berpindah dari satu maqam ke maqam lain i memerlukan waktu berbilang tahun, sedangkan “ahwal” sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Contoh ahwal yang sering disebut adalah : takut , syukur, rendah hati, ikhlas, takwa, gembira. Walaupun definisi yang diberikan sering berlawanan makna, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwal dialami secara spontan dan berlangsung sebentar dan diperoleh bukan atas dasar usaha sadar dan perjuangan keras, seperti halnya pada maqamat, melainkan sebagai hadiah dari kilatan Ilahiah (divine flashes), yang biasa disebut “lama’at”.
Tentang “Hal”, dapat diambil contoh beberapa item yang diungkapkan oleh al-
Thusi sebagai item yang termasuk di dalam kategori hâl yaitu: Al-murâqabat (rasa selalu diawasi oleh Tuhan), al-qurb (perasaan dekat kepada Tuhan), al-mahabbat (rasa cinta kepada Tuhan), al-khauf wa al-rajâ’ (rasa takut dan pengharapan kepada Tuhan), al-syawq (rasa rindu), al-uns (rasa berteman), al-thuma’nînat (rasa tenteram), al-musyâhadat (perasaan menyaksikan Tuhan dengan mata hati), dan al-yaqîn (rasa yakin).
Kembali kepada masalah Al-Maqaamaat dan Al-Akhwaal, yang dapat
dibedakan dari dua segi:
a). Tingkat kerohanian yang disebut maqam hanya dapat diperoleh
dengan cara pengamalan ajaran Tasawuf yang sungguh-sungguh. Sedangkan
ahwaal, di samping dapat diperoleh manusia yang mengamalkannya, dapat
juga diperoleh manusia hanya karena anugrah semata-mata dari Tuhan,
meskipun ia tidak pernah mengamalkan ajaran Tasawuf secara sungguh-
sungguh.
b) Tingkatan kerohanian yang disebut maqam sifatnya langgeng atau
bertahan lama, sedangkan ahwaal sifatnya sementara; sering ada pada
diri manusia, dan sering pula hilang. Meskipun ada pendapat Ulama
Tasawuf yang mengatakan bahwa maqam dan ahwaal sama pengertiannya,
namun penulis mengikuti pendapat yang membedakannya beserta alasan-
alasannya.
Tentang jumlah tingkatan maqam dan ahwaal, tidak disepakati oleh Ulama
Tasawuf. Abu Nashr As-Sarraaj mengatakan bahwa tingkatan maqam ada
tujuh, sedangkan tingkatan ahwaal ada sepuluh.
Adapun tingkatan maqam menurut Abu Nashr As-Sarraj, dapat disebutkan
sebagai berikut:
a). Tingkatan Taubat (At-Taubah);
b) Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang
makruh, serta yang syubhat (Al-Wara’);
c). Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (As-Zuhdu).
d) Tingkatan memfakirkan diri (Al-Faqru).
e). Tingkatan Sabar (Ash-Shabru).
f). Tingkatan Tawakkal (At-Tawakkul).
g). Tingkatan kerelaaan (Ar-Ridhaa).
Mengenai tingkatan hal (al-ahwaal) menurut Abu Nash As Sarraj, dapat
dikemukakan sebagai berikut;
a). Tingkatan Pengawasan diri (Al-Muraaqabah)
b). Tingkatan kedekatan/kehampiran diri (Al-Qurbu)
c). Tingkatan cinta (Al-Mahabbah)
d). Tingkatan takut (Al-Khauf)
e). Tingkatan harapan (Ar-Rajaa)
f). Tingkatan kerinduan (Asy-Syauuq)
g). Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah
(Al-Unsu).
h). Tingkatan ketengan jiwa (Al-Itmi’naan)
i). Tingkatan Perenungan (Al-Musyaahaah)
j). Tingkatan kepastian (Al-Yaqiin).
Maqām merupakan tahapan-tahapan thariqah yang harus dilalui oleh seorang salik, yang membuahkan keadaan tertentu yang merasuk dalam diri salik. Semisal maqām taubat; seorang salik dikatakan telah mencapai maqām ini ketika dia telah bermujahadah dengan penuh kesungguhan untuk menjauhi segala bentuk maksiat dan nafsu syahwati. Dengan demikian, maqām adalah suatu keadaan tertentu yang ada pada diri salik yang didapatnya melalui proses usaha riyadhah (melatih hawa nafsu).
Sedangkan yang dimaksud dengan hāl − sebagaimana diungkapkan oleh al-Qusyairi − adalah suatu keadaan yang dianugerahkan kepada seorang sālik tanpa melalui proses usaha riyadhah.
Namun, dalam konsep maqām ini Ibn Atha’illah memiliki pemikiran yang berbeda, dia memandang bahwa suatu maqām dicapai bukan karena adanya usaha dari seorang salik, melainkan semata anugerah Allah swt. Karena jika maqām dicapai karena usaha salik sendiri, sama halnya dengan menisbatkan bahwa salik memiliki kemampuan untuk mencapai suatu maqām atas kehendak dan kemampuan dirinya sendiri.
Pun jika demikian, maka hal ini bertentangan dengan konsep fana’ iradah, yaitu bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kehendak, dan juga bertentangan dengan keimanan kita bahwa Allah yang menciptakan semua perbuatan manusia. Dengan demikian, bagi seorang salik untuk mencapai suatu maqām hendaknya salik menghilangkan segala kehendak dan angan-angannya (isqath al-iradah wa al-tadbir).
Mengenai maqām, Ibn Atha’illah membaginya tingkatan maqam sufi menjadi 9 tahapan;
1. Maqam taubat
2. Maqam zuhud
3. Maqam shabar
4. Maqam syukur
5. Maqam khauf
6. Maqam raja’
7. Maqam ridha
8. Maqam tawakkal
9. Maqam mahabbah
Maqam Taubat
Taubat adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang salik. Sebelum mencapai maqam ini seorang salik tidak akan bisa mencapai maqam-maqam lainnya. Karena sebuah tujuan akhir tidak akan dapat dicapai tanpa adanya langkah awal yang benar.
Cara taubat sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah dengan bertafakkur dan berkhalwat. sedang tafakkur itu sendiri adalah hendaknya seorang salik melakukan instropeksi terhadap semua perbuatannya di siang hari. Jika dia mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah, maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya jika dia mendapati amal perbuatannya berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia segera beristighfar dan bertaubat kepada-Nya.
Untuk mencapai maqam taubat ini, seorang salik harus meyakini dan mempercayai bahwa irodah (kehendak) Allah meliputi segala sesuatu yang ada. Termasuk bentuk ketaatan salik, keadaan lupa kepada-Nya, dan nafsu syahwatnya, semua atas kehendak-Nya.
Sedangkan hal yang dapat membangkitkan maqam taubat ini adalah berbaik sangka (husn adz-dzon) kepada-Nya. Jika seorang salik terjerumus dalam sebuah perbuatan dosa, hendaknya ia tidak menganggap bahwa dosanya itu sangatlah besar sehingga menyebabkan dirinya merasa putus asa untuk bisa sampai kepada-Nya.
Maqam Zuhud
Dalam pandangan Ibn ‘Aţā’illah, zuhd ada 2 macam; Zuhd Ẓahir Jalī seperti zuhd dari perbuatan berlebih-lebihan dalam perkara ḥalal, seperti: makanan, pakaian, dan hal lain yang tergolong dalam perhiasan duniawi. Dan Zuhd Bāţin Khafī seperti zuhd dari segala bentuk kepemimpinan, cinta penampilan zahir, dan juga berbagai hal maknawi yang terkait dengan keduniaan”.
Hal yang dapat membangkitkan maqām zuhd adalah dengan merenung (ta’ammul). Jika seorang sālik benar-benar merenungkan dunia ini, maka dia akan mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi yang selain Allah, dia akan mendapatinya hanya berisikan kesedihan dan kekeruhan. Jikalau sudah demikian, maka sālik akan zuhd terhadap dunia. Dia tidak akan terbuai dengan segala bentuk keindahan dunia yang menipu.
Maqām zuhd tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih terdapat rasa cinta kepada dunia, dan rasa ḥasud kepada manusia yang diberi kenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibn ‘Aţā’illah: ”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau ḥasud kepada mereka yang diberi kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk dengan memikirkan kenikmatan dunia yang diberikan kepada mereka, maka engkau lebih bodoh daripada mereka. Karena mereka hanya disibukkan dengan kenikmatan yang mereka dapatkan, sedangkan engkau disibukkan dengan apa yang tidak engkau dapatkan”.
Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.
Seorang salik tidak dituntut menjadi orang yang faqir yang sama sekali tidak memiliki apa-apa. Karena ciri-ciri seorang zuhd ada dua; yaitu saat kenikmatan dunia tidak ada dan saat kenikmatan dunia itu ada. Ini dimaksudkan bahwa jika kenikmatan dunia itu didapat oleh sālik, maka dia akan menghargainya dengan bershukur dan memanfaatkan nikmat tersebut hanya karena Allah. Sebaliknya, jika nikmat sirna dari dirinya, maka dia merasa nyaman, tenang dan tidak sedih.
Maqam Sabar
Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam sabar terhadap perkara haram, sabar terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha.
Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia. Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut salik untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya.
“Sabar atas keharaman adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas kewajiban adalah sabar atas kewajiban ibadah. Dan semua hal yang termasuk dalam kewajiban ibadah kepada Allah mewajibkan pula atas salik untuk meniadakan segala angan-angannya bersama Allah”.
Sabar bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha salik sendiri. Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan Allah kepada salik dan orang-orang yang dipilih-Nya.
Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan ketentuan Allah, serta menanggalkan segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.
Maqam Syukur
Shukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam; pertama shukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat. Kedua, shukur dengan anggota tubuh, yaitu shukur yang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan. Ketiga, shukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata-mata dari-Nya. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn ‘Ata’illah:
“Dalam shukur menurut Ibn ‘Ata’illah terdapat tiga bagian; shukur lisan yaitu memberitakan kenikmatan (pada orang lain), shukur badan adalah beramal dengan ketaatan kepada Allah, dan shukur hati adalah mengakui bahwa Allah semata Sang Pemberi nikmat. Dan segala bentuk kenikmatan dari seseorang adalah semata-mata dari Allah.”
Ibn ‘Ata’illah juga menjelaskan bahwa bentuk shukur orang yang berilmu adalah dengan menjadikan ilmunya sebagai landasan untuk memberi petunjuk kepada manusia lainnya. Sedangkan bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan kekayaan adalah dengan menyalurkan hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan berupa jabatan dan kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap orang-orang yang ada dalam kekuasaannya.
Lebih lanjut Ibn ‘Aţā’illah memaparkan bahwa shukur juga terbagi menjadi 2 bagian; shukur ẓāhir dan shukur bāţin. Shukur ẓāhir adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan shukur bāţin adalah mengakui dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan hanyalah dari Allah semata.
Manfaat dari shukur adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang didapat menjadi langgeng, dan semakin bertambah. Ibn ‘Ata’illah memaparkan bahwa jika seorang salik tidak menshukuri nikmat yang didapat, maka bersiap-siaplah untuk menerima sirnanya kenikmatan tersebut. Dan jika dia menshukurinya, maka rasa shukurnya akan menjadi pengikat kenikmatan tersebut. Allah berfirman: لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ (Jika kalian bershukur [atas nikmat-Ku) niscaya akan kutambah [kenikmatan itu]).1
Jika seorang salik tidak mengetahui sebuah nikmat yang diberikan Allah kepada-Nya, maka dia akan mengetahuinya ketika nikmat tersebut telah hilang. Hal inilah yang telah diperingatkan oleh Ibn ‘Ata’illah.
Lebih lanjut Ibn ‘Ata’illah menambahkan hendaknya seorang salik selalu bershukur kepada Allah sehingga ketika Allah memberinya suatu kenikmatan, maka dia tidak terlena dengan kenikmatan tersebut dan menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi Nikmat.
Meskipun pada dasarnya semua kenikmatan pada hakikatnya adalah dari Allah, shukur kepada makhluk juga menjadi kewajiban seorang salik. Dia harus bershukur terhadap apa yang telah diberikan orang lain kepadanya, karena hal ini adalah suatu tuntutan shari‘at, seraya mengakui dan meyakini dalam hati bahwa segala bentuk kenikmatan tersebut adalah dari Allah.
Pengejawantahan shukur tetap harus dilandasi dengan menanggalkan segala bentuk angan-angan dan keinginan. Akal adalah kenikmatan paling agung yang diberikan Allah kepada manusia. Karena akal inilah manusia menjadi berbeda dari sekalian makhluk. Namun, dengan kelebihan akal ini pula manusia memiliki potensi untuk bermaksiat kepada Allah. Dengan akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan shukur.
Maqam khauf
Seorang salik dapat mencapai derajat maqam khauf apabila dia merasa takut atas sirnanya ḥal dan maqamnya, karena dia tahu bahwa Allah memiliki kepastian hukum dan kehendak yang tidak dapat dicegah. Ketika Allah berkehendak untuk mencabut suatu maqām dan hal yang ada pada diri salik, seketika itu juga Allah akan mencabutnya.
“Bukti dari makna ini mengharuskan maqām khauf bagi seorang hamba terwujud, ketika dia memiliki ucapan yang baik dan perilaku yang terpuji maka dia tak akan terputus maqām khauf ini, serta dia tidak terpedaya dengan urusan duniawi, karena hukum kepastian dan kehendak Allah terwujud.”
Khauf seorang sālik bukanlah sekedar rasa takut semata. Khauf pasti diiringi dengan rajā’ (harapan) kepada Allah, karena khauf adalah pembangkit dari rajā’. Maqām khauf adalah maqām yang membangkitkan maqām rajā’. Rajā’ tidak akan ada jika khauf tidak ada.
Ibn ‘Atā’illah menyatakan bahwa jika sālik ingin agar dibuka baginya pintu rajā’ maka hendaknya dia melihat apa yang diberikan Allah kepadanya berupa anugerah maqām, hal dan berbagai kenikmatan yang dia terima. Jika dia ingin agar terbuka baginya pintu khauf, maka hendaknya dia melihat apa yang dia berikan kepada-Nya berupa peribadatan dan ketaatan penuh pada-Nya. Sebagaimana diutarakan oleh Ibn ‘Atā’illah:
”Jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu rajā’, maka lihatlah segala sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yang telah kau berikan kepada-Nya.”
Rajā’ bukan semata-mata berharap, rajā’ harus disertai dengan perbuatan. Jika rajā’ hanya berupa harapan tanpa perbuatan, maka tidak lain itu hanyalah sebuah angan-angan atau impian belaka. Dengan demikian wajib bagi seorang sālik untuk menyertakan rajā’nya dengan amal kepatuhan, dan peribadatan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah secara kontinu.
Jika rajā’ sudah ada dalam diri sālik, maka rajā’ ini akan semakin menguatkan khauf yang ada pada dirinya. Karena suatu harapan, pasti akan disertai dengan rasa takut akan sesuatu, sehingga dapat dinyatakan bahwa khauf akan melahirkan rajā’, dan rajā’ akan menjadi penguat khauf.
Maqam Ridha dan Tawakkal
Riḍa dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah adalah penerimaan secara total terhadap ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada QS. al-Mā’idah ayat 119:
(Allah riḍa terhadap mereka, dan mereka ridha kepada Allah), dan juga sabda Rasulullah SAW.:
(Orang yang merasakan [manisnya] iman adalah orang yang ridha kepada Allah).
Maqam ridha bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri. Akan tetapi ridha adalah anugerah yang diberikan Allah.
Jika maqam ridha sudah ada dalam diri sālik, maka sudah pasti maqām tawakkal juga akan terwujud. Oleh karena itu, ada hubungan yang erat antara maqām ridha dan maqām tawakkal. Orang yang ridha terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.
Maqām tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa segala sesuatu ada dalam kekuasaan Allah. Sebagaimana termaktub dalam QS. Hūd ayat 123:
(…kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya).
Sebagaimana maqām-maqām lainnya, maqām ridha dan tawakkal tidak akan benar jika tanpa menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Aţā’illah menyatakan bahwa angan-angan itu bertentangan dengan tawakkal, karena barangsiapa telah berpasrah kepada Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntunnya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya, dan jika sudah demikian tiadalah bagi dirinya segala bentuk angan-angan.
“Perencanaan (tadbīr) juga bertentangan dengan maqam tawakkal karena seorang yang bertawakkal kepada Allah adalah orang yang menyerahkan kendali dirinya kepada-Nya, dan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya. Barangsiapa telah menetapi semua hal tersebut, maka tiada lagi perencanaan baginya, dan dia berpasrah terhadap perjalanan takdir. Peniadaan perencanaan (isqaţ tadbīr) juga terkait dengan maqām tawakkal dan ridha, hal ini jelas, karena seorang yang ridha maka cukup baginya perencanaan Allah atasnya. Maka bagaimana mungkin dia menjadi perencana bersama Allah, sedangkan dia telah rela dengan perencanan-Nya. Apakah engkau tidak tahu bahwa cahaya ridha telah membasuh hati dengan curahan perencanan-Nya. Dengan demikian, orang yang ridha terhadap Allah telah dianugrahkan baginya cahaya ridha atas keputusan-Nya, maka tiada lagi baginya perencanaan bersama Allah…”
Hikmah ridha kepada qadhā’ dan qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan dan kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan pikiran yang lapang dan dengan bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah seseorang akan mendapatkan jalan dan petunjuk yang lebih berguna, daripada dihadapi dengan meratapi kesusahan-kesusahan itu, yang tidak ada berkesudahan.
Dasar ridha akan qadhā’ dan qadar, ialah firman Allah dalam al-Qur’an:
“Orang-orang (yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencana berkatalah mereka “Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah, dan kami (semua) pasti kembali lagi kepada-Nya.”
Jika seseorang ditimpa bencana hendaklah dia ridha, hatinya tidak boleh mendongkol. Ridha dengan qadhā’ ialah menerima segala kejadian yang menimpa diri seseorang, dengan rasa senang hati dan lapang dada.
Meridhai qadhā’ dan qadar, karena ditimpa bencana atau menderita sesuatu, sangat disukai oleh agama. Tetapi sekali-kali tiada dibenarkan seseorang meridhai kekufuran dan kemaksiatan.
Ridha dengan taqdir Allah adalah suatu perangai yang terpuji dan mulia serta membiasakan jiwa menyerahkan diri atas keputusan Allah, juga dapat mendapatkan hiburan yang sempurna di kala menderita segala bencana. Dialah obat yang sangat mujarab untuk menolak penyakit gelap mata hati. Dengan ridha atas segala ketetapan Allah, hidup seseorang menjadi tenteram dan tidak gelisah.
Seseorang wajib berkeyakinan, bahwa bencana yang menimpa seseorang, adakalanya juga merupakan cobaan bagi seorang hamba, untuk lebih suka mengoreksi segala amal perbuatan pada masa-masa yang lampau, agar seseorang dapat mengubah dan memperbaiki jejak langkah dan perbuatannya pada masa-masa yang akan datang.
Menyerah kepada qadhā’illah (keputusan takdir) Allah termasuk tidak boleh mengandai-andaikan, misalnya andaikan tadinya dia tidak ikut rombongan ini, barangkali dia tidak termasuk korban kecelakaan ini, sebagaimana firman Allah SWT.:
Hai orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir, yang berkata kepada saudara-saudara mereka tatkala mereka bepergian di bumi, atau sedang bertempur : Sekiranya bersama-sama kami, niscaya mereka tidak akan mati, dan tidak akan terbunuh. Yang demikian karena Allah hendak jadikan yang tersebut itu duka cita di hati-hati mereka dan Allah rnenghidupkan dan mematikan, dan Allah Maha melihat akan apa yang engkau kerjakan.
Maqam Mahabbah
Imam al-Ghazālī berpendapat bahwa maqām maḥabbah adalah maqām tertinggi dari sekian maqām-maqām dalam tarekat. Dia menggambarkan bahwa maḥabbah adalah tujuan utama dari semua maqām.
Namun, Ibn ‘Aţā’illah memiliki pandangan yang berbeda tentang konsep mahabbah bahwa dalam mahabbah seorang sālik harus menanggalkan segala angan-angannya. Dia berpendapat demikian karena alasan bahwa sālik yang telah sampai pada mahabbah (cinta) bisa jadi dia masih mengharapkan balasan atas cintanya kepada yang dicintainya. Dari sini tampak bahwa rasa cinta sālik didasarkan atas kehendak dirinya untuk mendapatkan balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta sejati adalah orang yang rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yang dicintainya, dan tidak mengharapkan imbalan apapun dari yang dicintainya, yang dalam konteks ini adalah Allah SWT.
”…mahabbah (cinta) kepada Allah adalah tujuan luhur dari seluruh maqām, titik puncak dari seluruh derajat. Tiada lagi maqām setelah mahabbah, karena mahabbah adalah hasil dari seluruh maqām, menjadi akibat dari seluruh maqām, seperti rindu, senang, ridha dan lain sebagainya. Dan tiadalah maqām sebelum mahabbah kecuali hanya menjadi permulaan dari seluruh permulaan maqām, seperti taubat, sabar, zuhd dan lain sebagainya…”
Untuk dapat mencapai hal tersebut diatas, maka seorang salik disyaratkan terlebih dulu mengambil baiat (janji)pada seorang guru tarekat (Mursyid). Dimana tugas seorang guru Mursyid adalah membimbing dan mengarahkan agar seorang salik tidak terjerumus kedalam kesesatan. Baiat Tarekat merupakan pintu utama memasuki dunia tasawuf.
Istilah Tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada
Hakikat atau dengan kata lain pengalaman Syari’at, yang disebut “Al-
Jaraa” atau “Al-Amal”, sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy
mengemukakan tiga macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:
1) Tarekat adalah pengamalan syari’at, melaksanakan beban ibadah
(dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah
(ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.
2) Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan
sesuai dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata,
maupun yang tidak (batin).
3) Tarekat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan
hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung) fadhilat, menunaikan hal-hal
yang diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan
(pelaksanaan) di bawah bimbingan seorang Arif (Syekh) dari (Shufi)
yang mencita-citakan suatu tujuan.
Menurut L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap
kehidupan Tasawuf di beberapa negara Islam, menarik suatu kesimpulan
bahwa istilah Tarekat mempunyai dua macam pengertian.
a) Tarekat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering
dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan Tasawuf, untuk
mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqamaat”
dan “Al-Ahwaal”.
b) Tarekat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut
ajaran yang telah dibuat seorang Syekh yang menganut suatu aliran
Tarekat tertentu.
Maka dalam perkumpulan itulah seorang Syekh mengajarkan Ilmu Tasawuf
menurut aliran Tarekat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan
murid-muridnya.
Dari pengertian diatas, maka Tarekat itu dapat dilihat dari dua sisi;
yaitu amaliyah dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah merupakan
latihan kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seorang,
maupun secara bersama-sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu
untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqaamaat”
dan “Al-Akhwaal”, yakni kedudukan dan keadaan seorang salik dalam dunia
tasawuf
Maqam Hakikat
Istilah hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran.
Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk
mencari suatu kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan
definisinya sebagai berikut:
a. Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma’ruf mengatkan :
“Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika ia
mencapai suatu tujuan …sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda)
ketuhanan dengan mata hatinya”.
b. Imam Al-Qasyairiy mengatakan:
“Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan,
ditakdirkan, disembunyikan (dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan
(oleh Allah kepada hamba-Nya”.
Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat
dengan selalu menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa
yang dihadapinya. Karena itu, Ulama Shufi sering mengalami tiga macam
tingkatan keyakinan:
1) “Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh
pengamatan indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan
keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai penciptanya;
2) “Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh
analisis pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta
ini.
3) “Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati
nurani Shufi tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan
tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka
kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan
oleh keputusan akal”.
Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa
betapa erat kaitan antara hakikat dengan mari”fat, dimana hakikat itu
merupakan tujuan awal Tasawuf, sedangkan ma’rifat merupakan tujuan
akhirnya.
Maqam Marifat
Istilah Ma’rifat berasal dari kata “Al-Ma’rifah” yang berarti
mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan
pengamalan Tasawuf, maka istilah ma’rifat di sini berarti mengenal
Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama
Tasawuf; antara lain:
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf
yang mengatakan:
“Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud
yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.”
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat
Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
“Ma’rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)…dalam
keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi…”
c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad
bin Abdillah yang mengatakan:
“Ma’rigfat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu
pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang
meningkat ma’rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).”
Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada
tingkatan ma’rifat. Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan
ma’rifat, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzuun
Nuun Al-Mishriy yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki
oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma’rifat, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma’rifat padanya dalam segala sikap dan
perilakunya. Karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta
yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran
Tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena
hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak
membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang
hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT.,
sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma’rifat
yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin
padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai
tingkat ma’rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai
berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan
ma’rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya,
pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi
dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya.
Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT
saja.
b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai
tingkatan ma’rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu
menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul)
dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu
dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan
tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus
meskipun hanya sekejap mata saja.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifat itu
adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika
Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa
kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni
ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari
Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma’rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh
secara terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini,seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalamikesesatan.
Demikian ulasan singkat kami tentang maqam (kedudukan) dan hal (keadaan) dalam dunia tasawuf atau dunia para Wali Allah, semoga kita semua dapat menempuh tahapan-tahapan dalam tasawuf.
Berjalanlah melampaui terminal terminal hakikat hingga mencapai makrifat
Syariat Thariqat Hakikat Makrifat
Mereka bertanya, apa sih maksud syariat itu seperti kulit? apakah karena remeh lalu syariat di anggap hanya kulit?
Untuk menjawab pertanyaan ini kami kutipkan apa yang disampaikan oleh KH Jamaluddin Kafie pada bukunya berjudul “Tasawuf kontemporer”
****awal kutipan****
Tanaman
Kalau Tasawuf diibaratkan tanaman, maka pohon sebagai syariat. Thariqatnya adalah menyiram, memupuk dan memeliharanya dari benalu dan berbagai macam gangguan, agar menghasilkan buah hakikat. Berhasilnya orang yang menanam tanaman itu dapat mencicipi dan menikmati buah tanamannya tersebut itulah makrifat.
Perjalanan
Orang yang akan atau sedang melakukan perjalanan, ibaratnya sebuah kendaraan. Jalan raya yang harus dilalui merupakan syariat. Thariqat adalah jalan-jalan kecil sebagai jurusan yang akhirnya mengarah kepada terminal hakikat. Dari sinilah kemudian perjalanan dilanjutkan menuju ke tujuan akhir yaitu makrifat.
Telur
Kalau tasawuf disimbolkan berupa sebutir telur, maka kulit luarnya sebagai syariat, putih telurnya thariqat, sedangkan merah telur adalah hakikat dan inti dari merah telur sebagai makrifat.
Tidak ada telur tanpa kulit, sebagaimana tasawuf tanpa syariat. Bahkan kulit telur itu diupayakan jangan sampai retak, apalagi pecah. Jadi harus tetap utuh. Kalau tidak, maka seluruh isi telur itu akan membusuk dan tidak berguna lagi.
Unsur paling penting dari sebutir telur adalah titik inti pada merah telur itu (makrifat). Titik inti ini tidak akan kita dapati pada telur yang dihasilkan dari “ayam petelur”, karena telur semacam itu artificial (bikinan), atau boleh disebut tasawuf palsu (pseudo shufi) yang biasa dilakukan oleh kalangan mustawif (mereka yang pura-pura bertasawuf). Titik inti itu hanya akan kita dapatkan dalam merah telur, karena tidak ada makrifat sebelum mencapai hakikat. Merah telur dibungkus dengan putih telur sebagaimana hakikat merupakan perolehan setelah menjalani thariqat. Semuanya berada di dalam kulit telur. Artinya, semuanya tetap berada di dalam koridor syariat.
“Demikianlah Kami telah jadikan kamu berada di atas satu syariat tentang urusan agama ini, maka ikutilah syariat itu, dan janganlah kamu mengikuti kemauan orang-orang yang tidak mengetahui “(QS Aljatsiyah 18)
*****akhir kutipan*****
Kami ulangi kembali nasehat dua ulama terdahulu yang tidak diragukan lagi kompetensinya dalam memahami Al Qur’an dan Hadits
Imam Syafi’i rahimahullah telah menasehatkan, “Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kenikmatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)“. [Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 47]
Begitupula nasehat Imam Malik Rahimahullah, “dia yang sedang Tasawuf tanpa mempelajari fikih rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia . Hnya siapa yang memadukan keduannya terjamin benar “.
Bertemu dan memandang Allah Azza wa Jalla
Jika sebuah robot yang mempunyai kemampuan proses logika berpikir yang sangat baik kemudian kita masukkan perintah untuk mengucapkan syahadat dan kemudian kita masukkan perintah untuk melakukan gerakan dan bacaan sholat berdasarkan hadits-hadits yang shohih serta dimasukkan data waktu sholat wajib maka tentu robot tersebut dapat mengucapkan syahadat dan menjalankan sholat lima waktu termasuk bacaannya.
Lalu apa yang tidak ada pada robot yang berakal (berpikir) tersebut dengan manusia yang menjalankan sholat lima waktu ?
Robot tersebut dapat mencontoh perbuatan jasmani manusia namun robot tidak mempunyai ruhani.
Diri manusia terdiri dari jasmani dan ruhani.
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh dan rupa kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati kalian.” (HR Muslim)
Ketika sesorang menjalankan sholat, secara dzahir kita dapat melihat adanya gerakan badan (jasmani) namun Allah Azza wa Jalla akan melihat hati (ruhani) manusia adakah mereka lalai dalam sholat. Apakah mereka mencapai apa yang dikatakan oleh Rasulullah bahwa “Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin“, “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“.
Mi’raj manusia, naiknya jiwa (ruhani) meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik (jasmani) manusia menuju ke hadirat Allah ta’ala.
Dalam sebuah hadist Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. bersabda: “Sesungguhnya kalian apabila sholat maka sesungguhnya ia sedang bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti bagaimana bermunajat (bertemu) dengan Tuhan”
Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Sesungguhnya sholat itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu’ yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45).
“… maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku.” (QS Thaha 20: 14)
“waladzikrulaahi akbaru”
“Sholat adalah dzikrullah (mengingat Allah) yang utama” (Al Ankabut [29]: 45)
Jadi dapat kita simpulkan bahwa mi’raj (kendaraan/cara) kaum muslimin untuk sampai ke hadirat Allah Azza wa Jalla adalah dengan dzikrullah dan yang lebih utama adalah dengan sholat.
Dzikrullah (mengingat Allah) adalah yang membawa kita bertemu dengan Allah Azza wa Jalla sehingga kita dapat memandang Allah Azza wa Jalla dengan hati .
Rasulullah bersabda, “Kamu menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya dan bila kamu tidak melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim)
“Seolah-olah melihat Allah” dijelaskan dalam riwayat berikut.
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?” “Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.
Sayyidina Ali r.a adalah khataman Khulafaur Rasyidin yang menguraikan secara lengkap tentang Ihsan atau tentang akhlak sebagai dasar Tasawuf dalam Islam.
Oleh karena fitnah orang Zionis Yahudi, mengakibatkan sebagian umat muslim tidak memperhatikan tentang Ihsan / tentang Akhlak atau tentang Tasawuf dalam Islam karena takut dikatakan sebagai kaum Syiah.
Selain fitnah tersebut, akibat pencitraan yang buruk terhadap Tasawuf berakibat makin sedikit saudara muslim kita yang dapat berma’rifat , memandang Allah ta’ala dengan hati.
Begitu juga semakin sedikit saudara-saudara muslim kita yang selalu yakin bahwa Allah Azza wa Jalla melihat segala sikap dan perbuatan kita.
Kalau kita belum dapat berma’rifat atau memandang Allah Azza wa Jalla dengan hati atau hakikat keimanan, minimal meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla melihat segala sikap dan perbuatan kita,
Kalau kita meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla melihat segala sikap dan perbuatan kita,
Masihkah berani berakhlak buruk ?,
Masihkah berani bersikap buruk ?,
Masihkah berani melakukan perbuatan yang melanggar laranganNya?
Masihkah berani melalaikan kewajibanNya ?
Masihkah berani menghujat , memperolok-olok sesama saudara muslim sendiri ?
Kaum Zionis Yahudi memang telah dianugerahkan kepandaian.
Mereka tahu bahwa muslim yang terbaik (ihsan) adalah muslim yang berakhlakul karimah.
Oleh karenanya mereka berupaya merusak kaum muslim dengan merusak akhlak.
Mereka merusak akhlak kaum muslim melalui,
Paham Hedonisme yang menuhankan kesenangan
Paham Liberalism yang menuhankan kebebasan
Pornografi
Narkoba dan Miras
Gaya hidup mewah atau gaya hidup bebas dan lain-lain
Termasuk mereka merusak melalui pengetahuan tentang akhlak atau tentang Tasawuf dalam Islam dengan cara mencitrakan hal yang buruk terhadap Tasawuf.
Pencitraan yang buruk terhadap Tasawuf termakan pula oleh para pengikut ulama Muhammad bin Abdul Wahhab. Mereka menyusun kurikulum pendidikan bekerjasama dengan Amerika yang dibaliknya adalah Zionis Yahudi.
Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani menyampaikan dalam makalahnya bahwa dalam kurikulum tauhid kelas tiga Tsanawiyah (SLTP) cetakan tahun 1424 Hijriyyah di Arab Saudi berisi klaim dan pernyataan bahwa kelompok Sufiyyah (aliran–aliran tasawuf) adalah syirik dan keluar dari agama. Kutipan makalah selengkapnya ada pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/18/ekstrem-dalam-pemikiran-agama/
Sekarang banyak muslim tidak paham bagaimana muslim yang berakhlak baik atau muslim yang sholeh. Bahkan dapat kita temukan mereka yang meperolok-olok muslim yang sholeh.
Sekali lagi kami sampaikan bahwa muslim yang berakhlak baik (muslim yang sholeh) adalah muslim yang minimal selalu meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla selalu melihat seluruh sikap dan perbuatan manusia.
Muslim yang terbaik adalah muslim yang dapat memandang Allah Azza wa Jalla dengan hati atau hakikat keimanan atau muslim yang berma’rifat. Oleh karenanya agar kita dapat berma’rifat maka kita menjalankan syariat, tharekat, hakikat dan ma’rifat.
Kalau sudah berma’rifat atau memandang Allah Azza wa Jalla dengan hati tentulah tidak akan bertanya lagi “di mana Allah” dalam arti tempat bagi Allah Azza wa Jalla.
Imam al Qusyairi menyampaikan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya, atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.
Allah Azza wa Jalla tidak terhalang untuk dilihat, akan tetapi yang terhalang adalah maanusia untuk dapat melihat Allah, logikanya apabila Allah Azza wa Jalla terhalang sesuatu untuk dilihat maka penghalang itu menutupi wujud Allah, apabila wujud Allah terhalang maka keberadaan Allah Azza wa Jalla itu terbatas, dan setiap sesuatu yang terbatas niscaya ada sesuatu yang membatasi atau ada sesuatu yang menguasainya, ada yang menguasai Allah Azza wa Jalla itu mustahil.
Sesungguhnya yang terhalang adalah manusia karena manusia menyandang sifat jasad (jasmani), sehingga terhalang untuk dapat melihat Allah. Apabila kita ingin sampai melihat Allah, maka intropeksi ke dalam, lihatlah dahulu noda dan dosa yang terdapat pada diri kita, serta bangkitlah untuk mengobati dan memperbaikinya, karena itu-lah sebagai penghalang. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati. Mengobatinya dengan bertaubat dari dosa serta memperbaikinya dengan tidak berbuat dosa dan giat melakukan kebaikan.
Langkah-langkah dalam memperbaiki akhlak adalah untuk membersihkan hati (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) yang selanjutnya beroleh kenyataan Tuhan (TAJALLI). Para Ulama Sufi menyebutnya Maqom Musyahadah artinya ruang kesakisan. Inilah keadaan bukan sekedar mengucapkan namun sebenar-benarnya menyaksikan bahwai, “tiada Tuhan selain Allah”.
Bagi yang ketika di dunia belum dapat memandang Allah Azza wa Jalla, tidak perlu berkecil hati karena semua itu adalah kehendak Allah semata. Asalkan menjalankan syariat (menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya) serta selalu berkeyakinan bahwa Allah ta’ala melihat segala sikap dan perbuatan sehingga selalu berbuat amal kebaikan (amal sholeh) maka kelak akan masuk surga tanpa dihisab.
Janji Allah swt dalam firmanNya yang artinya.
“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab. (QS Al Mu’min [40]:40 )
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124 )
Kemudian setelah masuk surga tanpa dihisab maka Alllah Azza wa Jalla menambahkan anugerah bisa melihat Allah Azza wa Jalla sebagaimana hadits qudsi yang diriwayatkan Syuhaib ra, bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Ketika penghuni surga telah masuk ke surga. Allah tabaraka wa ta’ala berfirman, “Jika kalian masih menginginkan sesuatu, Aku akan menambahkannya untuk kalian”. Mereka menjawab,”Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami?” “Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke surga dan menyelamatkan kami dari neraka?” Kemudian Allah membukakan tabir. Maka tidak ada pemberian yang lebih disenangi bagi mereka daripada anugerah bisa melihat Tuhan mereka.” (HR Muslim).
Oleh karenanya mereka yang telah dapat berma’rifat atau mereka yang dapat memandang Allah Azza wa Jalla ketika di dunia , dzikrullah dan sholat mereka adalah kesenangan memandang Allah Azza wa Jalla. sebagaimana yang diriwayatkan Anas Ra. , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “kesenanganku dijadikan dalam shalat” (HR Ahmad dan Al Nasa’i). Bagi mereka yang telah dapat berma’rifat, panggilan adzan adalah panggilan yang menyenangkan karena akan bertemu dengan Allah Azza wa Jalla.
Wassalam
Mengenal Allah (ma’rifatullah) — Hakikat Berdoa
Allah ta’ala mengabulkan doa manusia bukanlah karena doa manusia karena “Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki” (QS Al Hajj [22]:14 )
Pahami bahwa Allah ta’ala berbuat bukan dikarenakan/dipengaruhi ciptaanNya.
Allah ta’ala memberikan kebutuhan, keinginan ataupun cobaan bagi manusia yang mengaku sebagai hamba Allah, pada hakikatnya Allah ta’ala tidak mengukur atau mempedulikan bentuk, kadar ataupun jenis kebutuhan, keinginan ataupun cobaan tersebut.
Namun pada hakikatnya Allah ta’ala ingin tahu kemanakah hamba Allah tersebut berserah diri dalam menghadapi kebutuhan, keinginan atau cobaan tersebut.
Kemudian apakah hamba Allah tsb merasakan “bersama” Allah ketika kebutuhan dan keinginan itu terpenuhi atau cobaan tersebut teratasi ?
Islam yang telah Allah ta’ala ridhokan untuk menjadi agama kita, dan disampaikan melalui utusan-Nya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam merupakan satu syariat yang mencakup persoalan hidup lahir dan batin. Syariat lahir disebut syariat. Syariat batin disebut tasawuf yang meliputi tharikat, hakikat dan makrifat. Hal itu sangat sesuai dengan struktur kejadian manusia itu sendiri yang merupakan kombinasi antara jasad lahir dan jasad batin.
Jasad lahir adalah semua anggota tubuh kita yang nampak dengan mata. Sedangkan jasad batin adalah jasad gaib (tidak tampak dengan mata) yang menggerakkan seluruh anggota lahir.
Jasad batin dapat merasa, mengingat, memikirkan, mengetahui, memahami segala sesuatu yang terjadi di dalam diri kita masing-masing.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan bahwa syariat lahir untuk diamalkan oleh jasad lahir sedangkan syariat batin untuk diamalkan oleh jasad batin yaitu ruh.
Sesuai dengan keadaan lahir batin kita yang saling berkaitan erat tanpa terpisah-pisah maka begitu pula amalan lahir dan batin wajib dilaksanakan secara serentak di setiap waktu dan keadaan. Kalau kita membeda-bedakan atau menolak salah satu dari amalan itu, maka kita tidak mungkin menjadi hamba Allah yang sebenarnya.
Kalau amalan lahir atau syariat diibaratkan sebagai kulit buah maka amalan batin atau tasawuf (tharikat, hakikat, makrifat) sebagai isi buah. Kedua-duanya sama-sama penting dan saling memerlukan, ibarat kulit dan isi pada buah-buahan. Keduanya mesti ada untuk kesempurnaan wujud buah itu sendiri. Tanpa kulit, isi tidak selamat malah isi tidak mungkin ada kalau kulit tidak ada. Sebaliknya tanpa isi, kulit jadi tidak berarti apa-apa. Sebab buah yang dimakan adalah isinya bukan kulitnya.
Begitu juga hubungan syariat dan tasawuf. Keduanya mesti diterima dan diamalkan serentak. Keduanya saling mengisi dan memerlukan. Kalau kita bersyariat saja (artinya berkulit saja tanpa isi), itu tidak membawa arti apa-apa di sisi Allah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Allah tidak memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu.” (HR Muslim 4651)
Sebaliknya kalau kita bertasawuf saja (isi tanpa kulit), maka tidak ada jaminan keselamatan dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Amalan tasawuf itu akan mudah rusak, dan kita sama sekali tidak akan memperoleh apa-apa.
Imam Malik ~ rahimahullah berkata yang artinya “Barangsiapa berfiqih (syariat) dan tidak bertasawuf maka ia jadi fasik. Barangsiapayang bertasawuf tanpa fiqih (syariat) maka ia adalah kafir zindik.”
Imam Syafi’i ~rahimahullah telah menasehatkan yang artinya, “Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih (menjalanan syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih (menjalankan syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kenikmatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih (menjalankan syariat), maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)“. [Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 47]
Imam Abu Yazid al Busthami berkata yang artinya, “Kalau kamu melihat seseorang yang diberi keramat sampai ia terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya, kecuali kalau ia melaksanakan suruhan agama dan menghentikan larangan agama dan membayarkan sekalian kewajiban syari’at (menjalankan syariat)”
Artinya kita mesti mengamalkan keduanya sekaligus, yaitu syariat dan tasawuf. Kalau kita pilih salah satu, kita tidak akan selamat. Kalau kita bersyariat saja tanpa dilindungi oleh tasawuf, kita akan menjadi fasik. Dan kalau kita bertasawuf saja tanpa dikawal oleh syariat, maka amalan batin (amalan tasawuf) akan mudah rusak sehingga kita jatuh kafir zindik (kafir tanpa sadar).
Begitulah pentingnya syariat dan tasawuf. Tetapi bila kedua-duanya ada, maka amalan batin (amalan tasawuf) lah yang lebih utama. Seperti dalam sabda Rasulullah yang artinya “Allah tidak memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu”. (HR Muslim 4651)
Hadis itu tidak bermaksud bahwa syariat tidak penting. Bahkan syariat juga adalah hukum-hukum fardhu yang wajib diamalkan oleh seluruh umat Islam. Hanya saja dalam keadaan keduanya (syariat dan tasawuf) itu sama-sama diamalkan, Allah memberi keutamaan pada amalan batin (amalan tasawuf). Perbandingannya seperti antara kulit dan isi buah. Kedua-duanya sama penting, tetapi manusia memberi keutamaan pada isi sebab bisa dimakan.
Begitulah peranan tasawuf. Peranannya menentukan berakhlak atau tidaknya seorang manusia kepada Allah dan kepada sesama manusia.
Orang yang kuat amalan batinnya atau tinggi pencapaian tasawufnya adalah orang yang hatinya selalu dekat dengan Allah. Ia senantiasa merasakan kebesaran Allah, dibandingkan dirinya yang maha lemah dan senantiasa memerlukan pertolongan Allah. Ia sangat beradab dengan Allah dan dapat mengorbankan dunia untuk Tuhannya. Ia juga mampu mengasihi semua manusia, bersedia susah untuk manusia dan akan menyelamatkan manusia dari tipuan dunia, nafsu dan syaitan.
Sebaliknya orang yang lemah dalam amalan batin adalah orang yang hatinya jauh dan terpisah dari Allah. Ia tidak takut dengan Allah, tidak malu, tidak harap, dan tidak cinta kepada Allah. Ia tidak ridho dan tidak sabar, kurang beradab dengan Allah, penuh hasad dengki, sombong, bakhil, dendam dan pemarah. Ia akan menjadi seorang pencinta dunia yang bekerja keras hanya untuk dunianya. Orang seperti itu selalu dibelenggu oleh kecintaan kepada dunia hingga takut berjuang dan berjihad untuk agama Allah serta untuk kehidupan akhirat yang kekal abadi.
Orang yang tidak bertasawuf atau orang yang tidak memperhatikan amalan batin sekalipun melakukan ibadah shalat, puasa, dan banyak membaca Al Quran serta gigih berjuang adalah orang yang kurang berakhlak dengan Allah dan kurang berakhlak dengan manusia.
Orang yang tidak memperhatikan amalan batinnya dikabarkan oleh Rasulullah dalam sabdanya yang artinya “akan muncul suatu firqah/sekte/kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an. Dimana, bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya” (HR Muslim 1773)
“Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan” maknanya sholat mereka sebatas dzahirnya saja atau amalan lahirnya saja, tidak sampai kepada bathin (qalbu) mereka atau tidak bermanfaat atau mempengaruhi kepada hati atau bathin mereka yang mengatur jasad lahir sehingga sholat mereka tidak mencegah perbuatan keji dan mungkar, sholat mereka tidak menjadikan mereka muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang sholeh, muslim yang ihsan atau muslim yang bermakrifat, muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh)
Tidak memperhatikan atau kurangnya amalan batin dapat menyebabkan orang-orang yang tidak bertasawuf itu biasanya mati dalam dosa yang tidak sadar. Mungkin dosa karena buruk sangka dengan Allah, putus asa dengan ketentuan Allah, tidak ridho dengan takdir Allah atau dosa karena merasa bahwa amalannyalah yang akan menyelamatkan dirinya dari neraka.
Rasa riya’, ujub atau merasa diri bersih itu pun adalah dosa batin. Dosa batin, tak seorang pun yang dapat melihatnya, bahkan diri sendiri pun tidak dapat merasakannya. Hanya orang yang mempunyai bashiroh (pandangan hati yang tembus) saja yang dapat mengetahuinya.
Nanti, bila Allah ta’ala bukakan segala kesalahan (dosa-dosa batin itu) di akhirat, barulah manusia akan terkejut dan tersentak.
Ulama tasawuf berkata: “Biarlah sedikit amalan beserta rasa takut pada Allah, karena itu lebih baik daripada banyak amalan tetapi tidak ada rasa takut dengan Allah. Lebih baik orang yang merasa berdosa dan bersalah dengan Allah daripada orang yang banyak amalan tetapi tidak rasa berdosa pada Allah bahkan dia merasa telah cukup dengan amalan itu.”
Firman Allah ta’ala yang artinya, “hari kiamat ialah hari dimana harta dan anak-anak tidak dapat memberi manfaat, kecuali mereka yang menghadap Allah membawa hati yang selamat sejahtera”. (QS Asy Syuara [26] : 88-89)
Hati yang selamat sejahtera ialah hati orang bertaqwa yang berisi iman, yakin, ikhlas, redha, sabar, syukur, tawakal, takut, harap dan lain-lain rasa hati dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hati yang senantiasa merasa sehat dalam kesakitan, kaya dalam kemiskinan, ramai dalam kesendirian, lapang dalam kesempitan dan terhibur dalam kesusahan. Ia bersikap ridho dengan apa saja pemberian Tuhan-Nya.
Untuk memperoleh hati yang seperti itu, kita mesti bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu untuk melakukan amalan lahir dan batin (syariat dan tasawuf). Kedua-duanya akan saling mengawal untuk mengangkat kita ke taraf taqwa.
Syariat dan tasawuf akan mendidik dan memimpin kita menjadi seorang insan kamil yang mampu memenuhi keinginan dan keperluan fitrah murni manusia secara suci lagi mulia. Orang seperti itulah yang Allah maksudkan sebagai golongan As Siddiqin atau golongan Al ‘Arifin. Sifat mereka Allah uraikan dalam Surah Al Furqaan [25] ayat 63-76:
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan” [25:63]
“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka” [25:64]
“Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal” [25:65]
“Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman” [25:66]
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” [25:67]
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (diharamkan untuk membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya)” [25:68]
“(yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina” [25:69]
“kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [25:70]
“Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” [25:71]
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” [25:72]
“Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta” [25:73]
“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” [25:74]
“Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam syurga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya” [25:75]
“mereka kekal di dalamnya. Syurga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman” [25:76]
Merekalah orang-orang bertaqwa yang akan memperoleh ketenangan hidup di dunia dan di akhirat.
Mereka adalah tempat untuk kita mempelajari dan mencontoh kehidupan yang aman dan bahagia.
Mereka adalah yang telah berjalan (berthariqat) melalui terminal-terminal (maqom) hakikat hingga mencapai makrifat, menyaksikan Allah ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati , ain bashiroh (bermakrifat)”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman (bermakrifat)”
Rasulullah bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Jika belum dapat melihat Allah ta’ala dengan hati (belum ma’rifat), Rasulullah bersabda “jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11)
Muslim yang meyakini diawasi/dilihat oleh Allah -Maha Agung sifatNya atau mereka yang dapat melihat Rabb dengan hati (ain bahiroh) atau atau muslim yang Ihsan atau muslim yang bermakrifat maka ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya, mencegah dirinya dari perbuatan maksiat, mencegah dirinya dari melakukan perbuatan keji dan mungkar. Sehingga terwujud dalam berakhlakul karimah. Inilah tujuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Subhanahu wa ta’ala
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Dari tulisan di atas dapat kita ketahui betapa pentingnya memperhatikan amalan batin yang tercakup dalam tasawuf.
Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “ Pokok-pokok metode ajaran tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Mereka yang terhasut atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi ada mempertanyakan seperti “Seandainya benar sedemikian penting tasawuf, niscaya Imam Mazhab yang empat akan banyak sekali menulis tentang tasawuf”.
Pada hakikatnya tasawuf tidak untuk dituliskan namun dicontohkan, disampaikan dan dibimbing langsung oleh guru kepada muridnya karena tasawuf adalah tentang akhlak atau tentang Ihsan.
Contoh ulama tasawuf yang tidak menuliskannya kedalam bentuk tulisan/kitab adalah Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili, bermazhab Hanafi, yang mempunyai nasab keturunan dari Hasan putra dari Ali bin Abi Tholib k.w. Sedangkan ulama Tasawuf yang menuliskan pengajaran-pengajaran Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili adalah Syaikh Ibnu Athoillah yang bermazhab Maliki. Para ulama tasawuf dalam menjalankan amalan lahir atau syariat, mereka bermazhab. Imam Mazhab yang empat memang menuliskan kitab fiqih agar umat Islam dikemudian hari yang tidak dapat melihat (mencontoh) langsung cara beribadah Salaf yang Sholeh dapat melihatnya melalui kitab fiqih mereka. Imam Mazhab yang empat melihat langsung penerapan, perbuatan serta contoh nyata, jalan atau cara (manhaj) beribadah dari Salaf yang sholeh dan membukukannya dalam kitab fiqih mereka.
pakah Ihsan
Pertanyaan:
Ada sebuah pengajian yang sudah berlangsung lama.
Pengajian diharapkan bisa mengarahkan jama’ah untuk mengerti dan memahami apa hakikat dari mereka mengaku orang Islam.
Pengajian diharapkan bisa mengarahkan jama’ah untuk menjalankan atau menerapkan apa yang dipelajari, dilihat, didengar kedalam kehidupan sehari hari sebagai wujud dari pembelajaran tersebut.
Fakta nya , jama’ah pengajian masih tetap suka melakukan apa yang tidak dianjurkan oleh Islam. Apakah ini yang disebut dengan sebuah proses ? Sebuah fase bermetamorfosis ?
Bisa jadi demikian, bila mereka baru sekali mengikuti kegiatan pengajian. Pertanyaannya , bagaimana bila mereka telah berkali kali hadir dalam sebuah pengajian, tapi tidak ada perubahan ?
Yang salah ustadz atau jama’ahnya ?
Kenapa jama’ah masih ada yang bergunjing, berkeluh kesah , berkata dengan kasarnya, bahkan masih ada yang ber putus asa ?
Jawaban:
Pertanyaan yang sering dipertanyakan, “yang salah Ustadz atau Jama’ahnya ?’
Setelah kami kaji permasalahannya adalah pada umumnya ustadz hanya menyampaikan 2 pokok agama dari 3 pokok agama yang harus disampaikan kepada jama’ahnya
3 pokok agama tersebut ada disampaikan dalam hadits seperti,
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Jarir dari Umarah -yaitu Ibnu al-Qa’qa’- dari Abu Zur’ah dari Abu Hurairah dia berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Kalian bertanyalah kepadaku‘. Namun mereka takut dan segan untuk bertanya kepada beliau.
Maka seorang laki-laki datang lalu duduk di hadapan kedua lutut beliau, laki-laki itu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? ‘
Beliau menjawab, ‘Islam adalah kamu tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, mendirikan shalat, membayar zakat, dan berpuasa Ramadlan.‘
Dia berkata, ‘Kamu benar.’ Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah iman itu? ‘
Beliau menjawab, ‘Kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, beriman kepada kejadian pertemuan dengan-Nya, beriman kepada para Rasul-Nya, dan kamu beriman kepada hari kebangkitan serta beriman kepada takdir semuanya‘.
Dia berkata, ‘Kamu benar‘. Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘
Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.‘
Dia berkata, ‘Kamu benar‘. Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, kapankah hari kiamat itu? ‘
Beliau menjawab, ‘Tidaklah orang yang ditanya tentangnya lebih mengetahui jawabannya daripada orang yang bertanya, akan tetapi aku akan menceritakan kepadamu tentang tanda-tandanya;
yaitu bila kamu melihat hamba wanita melahirkan tuannya. Itulah salah satu tanda-tandanya.
(Kedua) bila kamu melihat orang yang tanpa alas kaki telanjang, tuli, bisu menjadi pemimpin (manusia) di bumi. Itulah salah satu tanda-tandanya.
(Ketiga) apabila kamu melihat penggembala kambing saling berlomba tinggi-tinggian dalam (mendirikan) bangunan. Itulah salah satu tanda-tandanya dalam lima tanda-tanda dari kegaiban, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, kemudian beliau membaca: ‘(Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim.Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakan-Nya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal) (Qs. Luqman: 34).
Kemudian laki-laki tersebut bangun (mengundurkan diri), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Panggillah dia menghadapku! ‘ Maka dia dicari, namun mereka tidak mendapatkannya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Laki-laki ini adalah Jibril yang berkeinginan agar kalian mempelajari (agama) karena kalian tidak bertanya‘. (HR Muslim 11)
Tiga pokok agama yang disimpulkan dari percakapan antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Malaikat Jibril a.s yakni,
Apakah Islam
Apakah Iman
Apakah Ihsan
Yang disampaikan oleh para Ustadz umumnya adalah 2 pokok saja yakni
Apakah Islam
Apakah Iman
Para Ustadz pada umumnya tidak menyampaikan “apakah Ihsan”
Dari hadits di atas Rasulullah menjelaskan tentang Ihsan adalah “Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Norma, adab, perilaku, akhlak ada didalam Ihsan. Mereka yang bergunjing, berkeluh kesah , berkata dengan kasar, bahkan masih ada yang berputus asa adalah karena mereka minimal tidak meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla melihat mereka, mereka tidak meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla mengurus ciptaanNya dan Dia tidak tidur. (Al Baqarah [2]:255)
Muslim yang meyakini diawasi/dilihat oleh Allah -Maha Agung sifatNya atau mereka yang dapat melihat Rabb dengan hati (ain bahiroh) atau atau muslim yang Ihsan atau muslim yang bermakrifat maka ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya, mencegah dirinya dari perbuatan maksiat, mencegah dirinya dari melakukan perbuatan keji dan mungkar. Sehingga terwujud dalam berakhlakul karimah. Inilah tujuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Subhanahu wa ta’ala
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Oleh karenanya seorang ustadz sebaiknya menyampaikan ketiga pokok agama yakni Islam, Iman, Ihsan agar terbentuk muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang ihsan atau muslim yang bermakrifat yakni muslim yang dapat menyaksikan Allah dengan hati mereka (ain bashiroh).
Islam dan Iman dikenal dengan syariat sedangkan Ihsan dikenal dengan tasawuf.
Imam As Syafi’i ~rahimahullah menasehatkan kita untuk menjalankan perkara syariat sebagaimana yang mereka sampaikan dalam kitab fiqih sekaligus menjalankan tasawuf untuk mencapai muslim yang baik, muslim yang sholeh, muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang Ihsan
Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 47]
Begitupula dengan nasehat Imam Malik ~rahimahullah bahwa menjalankan tasawuf agar manusia tidak rusak dan menjadi manusia berakhlak baik
Imam Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (perkara syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar” .
Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “ Pokok-pokok metode ajaran tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Jika mereka menjalankan perkara syariat tidak diikuti dengan menjalankan tasawuf atau mereka tidak memperhatikan amalan batin mereka maka mereka akan sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah sampaikan sebagai “Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan” (HR Muslim 1773) maknanya sholat mereka sebatas dzahirnya saja atau amalan lahirnya saja, tidak sampai kepada bathin (qalbu) mereka atau tidak bermanfaat atau mempengaruhi kepada hati atau bathin mereka yang mengatur jasad lahir sehingga sholat mereka tidak mencegah perbuatan keji dan mungkar, sholat mereka tidak mencegah mereka dari bergunjing, berkeluh kesah , berkata dengan kasar, bahkan masih ada yang berputus asa.
Selengkapnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “akan muncul suatu firqah/sekte/kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an. Dimana, bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya” (HR Muslim 1773)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al Ankabut [29]:45).
Sholat mereka tidak menumbuhkan keyakinan akan pengawasan Allah atau pengawasan Allah tidak tertanam dalam jiwanya atau qalbunya.
Segelintir kaum muslim, ibadah sholat mereka sekedar upacara keagamaan (ritual) atau gerakan-gerakan yang bersifat mekanis (amal) yang sesuai syarat dan rukun-rukunnya (ilmu), sebagaimana robot sesuai programnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian, tetapi Allah melihat kepada hati kalian.” (HR Muslim)
Tidaklah mereka mencapai sholat yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa “Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin“, “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah.
Dalam sebuah hadist Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kalian apabila sholat maka sesungguhnya ia sedang bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti bagaimana bermunajat dengan Tuhan”
Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya sembahyang (Sholat) itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu’ yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45).
Pahamilah firmanNya dengan menundukkan akal pikiran kepada akal qalbu
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Akal pikiran adalah hasil kerja otak dan memori. Otak adalah pemroses hasil atau keluaran dari panca indera. Pemahaman dengan akal pikiran adalah pemahaman secara logika atau pemahaman secara ilmiah. Pemahaman dengan akal pikiran semata yang dikatakan sebagai akal pikiran mendahului firmanNya atau upaya pembenaran atau disebut juga dengan berdalih.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melarang kita memahami firmanNya bersandarkan kepada akal pikiran semata atau pemahaman secara ilmiah semata namun pergunakanlah akal qalbu untuk memahami firmanNya atau pemahaman secara hikmah. Pemahaman secara hikmah yang dikatakan sebagai akal pikiran mengikuti firmanNya atau upaya mengikuti kebenaran atau disebut juga dengan berdalil
Firman Allah ta’ala,
afalam yasiiruu fii al-ardhi fatakuuna lahum quluubun ya’qiluuna bihaa aw aatsaanun yasma’uuna bihaa fa-innahaa laa ta’maa al-abshaaru walaakin ta’maa alquluubu allatii fii alshshuduuri
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar. Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada” (QS Al Hajj [22]:46 )
Akal qalbu adalah raja atau hakim atau penguasa dari akal pikiran.
Akal qalbu yang dapat memilih atau memahami mana yang haq dan mana yang bathil berdasarkan ilham atau petunjuk atau karunia atau cahaya dari Allah Azza wa Jalla
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10 )
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS As Syams [91]:8 )
“Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” ( QS An Nuur [24]:35 )
Seorang anak kecil yang belum baligh , mereka tidak dikatakan berakal walaupun mereka sudah dapat menggunakan logika/rasio/otak nya
“Tidak dikenakan kewajiban atas tiga golongan orang,yaitu anak-anak sampai baligh,orang gila sampai sadar,dan orang tidur sampai terbangun” (HR.Bukhori,Abu Daud,At Tirmidzi,An Nasa’I,Ibnu Majah,Daruquthni,dan Ahmad).
Begitu pula dengan orang gila mereka dikatakan kehilangan akal walaupun mereka masih mempunyai otak.
Firman Allah ta’ala yang artinya, ‘Fu’aad (hati) tidak pernah mendustai apa-apa yang dilihatnya’ (QS An Najm [53]:11).
Wabishah bin Ma’bad r.a. berkata: Saya datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda, “Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebaikan?” Saya menjawab, “Benar.”Beliau bersabda, “Mintalah fatwa kepada hatimu sendiri. Kebaikan adalah apa-apa yang menenteramkan jiwa dan hati, sedangkan dosa adalah apa-apa yang mengusik jiwa dan meragukan hati, meskipun orang-orang memberi fatwa yang membenarkanmu.” hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Ad-Darami dengan sanad hasan
Nawas bin Sam’an r.a. meriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam., beliau bersabda, “Kebaikan adalah akhlak yang baik, sedangkan dosa adalah segala hal yang mengusik jiwamu dan engkau tidak suka jika orang lain melihatnya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim).
Permasalahan manusia tidak lagi dapat menggunakan hati mereka untuk memahami firmanNya adalah karena dosa. Keadaan ini dinamakan buta mata hati.
‘Abdullâh bin Al-Mubarak meriwayatkan dari adh-Dhahak bin Muzahim, bahwasanya dia berkata;”Tidak seorangpun yang mempelajari Al-Qur`ân kemudian dia lupa, melainkan karena dosa yang telah dikerjakannya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : وَمَآأَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ (Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri) –Qs asy-Syûra/42 ayat 30- . Sungguh, lupa terhadap Al-Qur`ân merupakan musibah yang paling besar * (. Fadha`ilul-Qur`ân, karya Ibnu Katsir, hlm. 147)
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati (ketiadaan cahaya), sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) untuk memahami firmanNya. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“Media komunikasi” dengan firmanNya adalah ruhNya (ruhani)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Kemudian Dia menyempurnakan penciptaannya dan Dia tiupkan padanya sebagian dari Ruh-Nya dan Dia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa, tapi sedikit sekali kamu bersyukur” (QS As Sajadah (32):9)
Ruhani (ruhNya) dinamakan akal, hati, nafsu
Ruh ketika berperasaan seperti sedih, gembira, senang, terhibur, marah atau sebagainya, maka ia dipanggil dengan hati.
Ruh ketika ia berkehendak, berkemauan atau merangsang sama ada sesuatu yang berkehendak itu positif atau negatif, baik atau buruk, yang dibenarkan atau tidak, yang halal ataupun yang haram, di waktu itu ia tidak dipanggil hati tetapi ia dipanggil nafsu.
Ruh ketika ia berfikir, mengkaji, menilai, memahami, menimbang dan menyelidik, maka ia dipanggil akal.
Bahkan menurut Imam Sayyidina Ali r.a. qalb mempunyai lima nama,
Pertama, disebut shadr, karena ia merupakan tempat terbitnya cahaya Islam (nuuru-l-islaam). Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala, ‘Adakah sama dengan mereka yang dibukakan shadrnya untuk Islam….” (QS Az Zumar [39] :22)’.
Kedua, disebut qalb, karena ia merupakan tempat terbitnya keimanan. Hal ini sebagaiamana firman-Nya, “Mereka itulah yang ditulis dalam hatinya terdapat keimanan.” (QS Al Mujaadilah [58]:22)’
Ketiga disebut fu’aad karena ia merupakan tempat terbitnya ma’rifah. Hal ini sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa ta’ala, ‘Fu’aad tidak pernah mendustai apa-apa yang dilihatnya’ (QS An Najm [53]:11).
Keempat disebut lubb, karena ia merupakan tempat terbitnya tauhid. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang adalah ayat-ayat bagi ulil albaab (sang pemilik lubb)’ (QS Ali Imran [3]:190).
Kelima, disebut syagf, karena it merupakan tempat terbitnya rasa saling menyayangi dan mencintai sesama makhluk. Hal ini sebagaimana firman-Nya, ’Sungguh ia (Zulaikha) telah dikuasai oleh rasa cinta yang membara….’ (QS Yusuf [12]:30)
Selain nama-nama yang telah disebutkan, hati pun disebut juga dengan nama habbah al-quluub. Disebut demikian, karena ia merupakan tempat terbitnya cahaya, sebagaimana yang diterangkan Allah dalam hadis qudsi-Nya, ’Tiada yang sanggup menampung-Ku, baik bumi maupun langit-Ku. Hanya hati hamba-Ku yang Mukmin yang dapat menampung-Ku.’
Apa yang diuraikan oleh Imam Sayyidina Ali ra terkait dengan sebuah hadits qudsi, Allah Azza wa Jalla berfirman: ’Telah Kucipta seorang malaikat di dalam tubuh setiap anak keturunan Adam. Di dalam malaikat itu ada shadr. Di dalam shadr itu ada qalb. Di dalam qalb itu ada fu`aad. Di dalam fu`aad itu ada syagf. Di dalam syagf itu ada lubb. Di dalam lubb itu ada sirr. Dan di dalam sirr itu ada Aku.”
Jadi yang dapat memahami firmanNya adalah ulil albab yang sering diterjemahkan sebagai orang-orang yang berakal atau pemilik lubb (qalbu) atau orang yang memahami firmanNya menggunakan akal qalbu berdasarkan karunia hikmah dari Allah Azza wa Jalla atau disebut juga pemahaman secara hikmah.
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya “Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 ).
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )
Muslim yang dikaruniai hikmah adalah muslim yang menundukkan akal pikiran mereka kepada akal qalbu.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh”
Semakin banyak mengenal Allah (ma’rifatullah) melalui ayat-ayat-Nya qauliyah dan kauniyah, maka semakin dekat hubungan dengan-Nya.
Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah ta’ala. Sebaliknya seorang ilmuwan yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allah ta’ala semakin dekat.
Tanda-tanda seorang muslim telah dekat dengan Allah atau telah mentaati Allah dan RasulNya sehingga mendapatkan maqom disisiNya minimal adalah mencapai muslim yang sholeh sehingga berkumpul dengan 4 golongan muslim disisiNya yakni para Nabi (Rasulullah yang utama), para Shiddiqin, para Syuhada dan muslim yang sholeh.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Semakin dekat kita kepada Allah sehingga menjadi kekasihNya (Wali Allah). Maqom Shiddiqin atau kedekatan dengan Allah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/09/2011/09/28/maqom-wali-allah/
Kemampuan logika atau kemampuan menggunakan akal pikiran adalah kelebihan yang dikaruniakan Allah ta’ala kepada kaum Yahudi namun mereka tidak dikaruniakan kemampuan menggunakan akal kalbu atau pemahaman secara hikmah karena mereka termasuk manusia yang tidak dikehendaki Allah Azza wa Jalla
Hadits yang diriwayatkan Sufyan bin Uyainah dengan sanadnya dari Adi bin Hatim. Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Abu Dzar, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang yang dimurkai“, beliau bersabda, ‘Kaum Yahudi.’ Saya bertanya tentang orang-orang yang sesat, beliau bersabda, “Kaum Nasrani.“
Kaum Yahudi atau yang dikenal sekarang kaum Zionis Yahudi menghasut atau melancarkan ghazwul fikri (perang pemahaman) kepada kaum muslim untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan akal pikiran sendiri sehingga menimbulkan perselisihan di antara kaum muslim
Salah satu penghasutnya adalah perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian. Laurens menyelidiki dimana letak kekuatan umat Islam dan berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan mazhab (bermazhab) dan istiqomah mengikuti tharikat-tharikat tasawuf. Laurens mengupah ulama-ulama yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis buku buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak orientalis.
Kaum muslim yang terhasut meninggalkan pemahaman atau pendapat Imam Mazhab yang empat yang telah disepakati oleh jumhur ulama sejak dahulu sampai sekarang sebagai pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak)
Imam Mazhab yang empat bertalaqqi (mengaji) langsung dengan Salafush Sholeh.
Imam Mazhab yang empat mengetahui dan mengikuti pemahaman Salafush Sholeh melalui lisannya Salafush Sholeh.
Imam Mazhab yang empat melihat sendiri penerapan, perbuatan serta contoh nyata dari Salafush Sholeh.
Mereka yang terhasut merasa telah mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun kenyataannya mereka tidak lebih dari mengikuti pemahaman ulama-ulama yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun tidak bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh. Dari mana ulama-ulama tersebut mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh kalau bukan pemahaman ulama-ulama tersebut dengan akal pikiran mereka sendiri.
Marilah kita kembali mengikuti pemahaman Salafush Sholeh melalui apa yang disampaikan oleh Imam Mazhab yang empat dan mengikuti penjelasan-penjelasan yang disampaikan oleh para ulama-ulama terdahulu yang mengikuti Imam Mazhab yang empat sambil kita merujuk darimana mereka mengambilnya yakni Al Qur’an dan As Sunnah dengan menggunakan akal qalbu (akal pikiran yang ditundukkan kepada akal qalbu) berdasarkan karunia hikmah dari Allah Azza wa Jalla
Hamba yang dekat
Perjalanan menuju Allah
22 Januari 2011 oleh mutiarazuhud
Tujuan kita melangkahkan kaki di muka bumi ciptaan Allah ta’ala adalah untuk sampai kepada Allah karena dicintai Allah atau menjadi kekasih Allah (Wali Allah)
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )
Kita semua umat Islam dapat menjadi kekasih Allah dengan menjalankan segala perbuatan/ibadah “yang Allah ta’ala diamkan” yakni perbuatan/ibadah berdasarkan kesadaran sendiri dari hamba Allah atau amal kebaikan / amal sholeh atau perkara/amalan sunnah. Perbuatan/ibadah yang diharapkan timbul atas kesadaran/kemauan sendiri bagi diri hamba Allah , jika tidak timbul kesadaran tsb maka Allah ta’ala diamkan.
Dari Abu Huriroh rodhi Allahu ta’ala ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah ta’ala berfirman, barang siapa memusuhi wali-Ku maka aku izinkan untuk diperangi. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amal ibadah yang lebih aku cintai dari pada perkara yang Aku wajibkan. Hamba-Ku akan senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, Akulah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Akulah penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, Akulah kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku akan Aku berikan, jika dia meminta perlindungan pada-Ku, akan Aku lindungi.” (HR. Bukhari)
Lawan dari perbuatan/ibadah berdasarkan kesadaran sendiri adalah perbuatan/ibadah ketaatan atau yang disyaratkan sebagai hamba Allah yakni perbuatan/ibadah yang harus dikerjakan dan harus ditinggalkan yakni perkara yang hukumnya Wajib , hukumnya Haram (bentuknya batas/pelarangan dan pengharaman).
Perbuatan/ibadah ketaatan adalah yang dimaksud oleh Allah ta’ala pada hadits diatas sebagai “perkara yang Aku wajibkan“
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Tulisan lebih lanjut mengenai peta perbuatan/ibadah silahkan baca tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/09/peta-perbuatan-ibadah/
Salah satu perbuatan/ibadah termasuk yang “Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya” atau amal sholeh atau amal kebaikan agar kita mejadi muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan atau muslim yang terbaik adalah zuhud
Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya)
Pahami bagian yang di bold “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu”
Allah mencintai kita maka kita menjadi kekasih Allah (wali Allah).
Seluruh perkara sunnah diluar/selain yang Allah katakan sebagai “perkara yang Aku wajibkan” pada hakikatnya jika dilaksanakan maka Allah akan mencintai kita seperti berdzikir, berdoa, sholat sunnat rawatib, tahajud, dhuha dan sholat sunnat lainya termasuk sekedar menjaga wudhu (selalu berwudhu setiap kali batal) atau bahkan menyingkirkan batu di jalan. Perbuatan/Ibadah inilah yang dilaksanakan atas kesadaran sendiri dari hamba Allah atau amal kebaikan atau amal sholeh.
Cara dan sarana menuju Allah ta’ala
Dalam agama Islam ada 3 pokok utama yakni
Tentang Islam (rukun Islam/Fiqih), Tentang Iman (rukun Iman/Ushuluddin/I’tiqad), Tentang Ihsan (akhlak/tasawuf dalam Islam)
Tasawuf dapat dikatakan sebagai perjalanan (suluk) seorang hamba Allah menuju atau agar sampai (wushul) kepada Allah.
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )
Pada hakikatnya Tasawuf (tentang Ihsan) bukanlah sebuah ilmu atau sebuah pemahaman namun sebuah amal atau perbuatan atau “perjalanan” atau dikenal dengan suluk dan “pejalan”nya disebut seorang salik.
Sedangkan Fiqih, Ushuluddin, I’tiqad dll yang merupakan pendalaman/pengamalan rukun Iman, dan rukun Islam adalah syariat/syarat “perjalanan”, rambu2 dan petunjuk “perjalanan”, tanpa syariat/syarat maka “perjalanan” akan tersesat atau sebagian mengatakan termasuk zindiq.
Pada hakikatnya setiap hamba Allah yang mempunyai kesadaran sendiri untuk menuju kepada Allah akan dapat memahami dan merasakan bahwa Allah ta’ala yang membimbing walaupun secara dzahir dibimbing oleh seorang/beberapa mursyid (pembimbing)
“…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu (membimbingmu/memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al Baqarah, 2: 282)
“Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An Nuur [24]:35 )
Beberapa sarana bimbingan adalah melalui mursyid , hati, mimpi, suatu kejadian/cobaan dan bentuk-bentuk lain atas kehendakNya
“Perjalanan” yang dilakukan seorang hamba Allah menuju kepada Allah sebaiknya tidak dilakukan seorang diri karena kemungkinan tersesatnya akan besar sekali dan godaan syetanpun semakin besar dan semakin halus (semakin sukar dibedakan antara kebenaran dengan kesesatan), godaaan syetan berbanding lurus dengan tingkat perjalanan yang telah dilampaui atau disebut juga dengan maqam, jadi tingkatan/pangkat syetan yang menggoda mengikuti tingkatan(maqam) salik itu sendiri.
Oleh karenanya dibutuhkan seorang/beberapa mursyid (pembimbing) yang telah mengetahui/melewati “jalan yang lurus”.
Thariqat adalah jalan yang telah dilalui oleh seorang mursyid yang mengikuti jalan mursyid yang membimbing dan seterusnya dikenal sebagai sanad ilmu atau dengan pengijazahan thariqat.
“Jalan yang lurus” atau jalan orang-orang yang telah bersyahadat di atasnya ada beberapa jalur/cabang/furuiyah. Inilah yang disebut dengan thariqat atau juga untuk yang hamba Allah yang hanya mengenal tentang syariat (rukun Islam dan rukun Iman) saja disebut dengan madzhab atau manhaj.
Semua hamba Allah yang telah bersyahadat baik yang hanya mengenal tentang syariat saja (rukun Iman dan rukun Islam) maupun ditambah menjalankan Tasawuf (ihsan) adalah mereka yang berada pada jalan yang lurus menuju kepada Allah.
Pertanyaannya adalah seberapa cepat sampai kepada Allah, seberapa cepat dapat seolah-olah melihat Allah atau melihat Allah dengan hati atau disebut Ihsan.
“Tak ada satu orang pun yang bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan Muhammad rasul Allah yang ucapan itu betul-betul keluar dari kalbunya yang suci kecuali Allah mengharamkan orang tersebut masuk neraka“. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Tasawuf adalah tentang akhlak , akhlak melakukan “perjalanan”
Akhlak sebagai hamba Allah terhadap Allah, akhlak sebagai hamba Allah terhadap ciptaanNya yang lain seperti alam, hewan, tumbuh2-an, dll , termasuk akhlak dengan sesama manusia apalagi akhlak dengan sesama muslim / saudara.
Tasawuf adalah tentang tazkiyatun nafs, menyucikan jiwa
Firman Allah ta’ala yang artinya: ”...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
Firman Allah yang artinya,
[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47)
Tasawuf adalah mengenal Allah (ma’rifatullah). mengenal dzatNya melalui namaNya, sifatNya dan perbuatanNya. Juga termasuk memahami seperti contoh beberapa hadits di atas, bagaimana memahami “yang Allah ta’ala diamkan”, “perkara yang Aku wajibkan”,beda maafNya dengan ridhoNya Contoh perbedaan silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/11/ridho-allah-taala/
Tasawuf atau perjalanan adalah perbuatan/ibadah yang termasuk atas kemauan/kesadaran sendiri atau amal kebaikan / amal sholeh atau perkara sunnah yang dicintai Allah. Tasawuf targetnya adalah menjadi muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin) atau shiddiqin atau sufi . Semua ini hakikatnya sama.
Siapakah muslim yang ihsan ?
Firman Allah dalam (QS Lukman [31]: 1-7 )
[31:1] Alif Laam Miim
[31:2] Inilah ayat-ayat Al Quraan yang mengandung hikmat
[31:3] menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan (muhsinin)
[31:4] (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.
[31:5] Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Dari ayat-ayat tersebut dapat kita pahami muhsin/muhsinin adalah,
– Seorang muslim (diwakilkan dengan mendirikan sholat, menunaikan zakat dan yakin akan akhirat) dan
– Orang-orang yang berbuat kebaikan atau orang-orang yang beramal sholeh
Berbuat kebaikan dilakukan oleh orang yang melakukan perjalanan atau orang-orang yang hanya tahu tentang rukun Iman dan rukun Islam , namun pertanyaannya adalah seberapa cepat mampu seolah-olah melihatNya atau melihat Allah ta’ala dengan hati karena inilah bukti bahwa telah sampai (wushul) kepada Allah.
Selambat-lambatnya seorang muslim mendapatkan karunia Allah untuk dapat melihat Allah adalah ketika di akhirat nanti.
Sedangkan mereka yang telah sampai kepada Allah di dunia atau mampu seolah-olah melihat Allah di dunia mereka tidak akan khawatir atau bersedih atau mereka yang merasakan kesenangan dalam shalat (sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah), seolah berjumpa dengan Allah dalam shalat, puasa, zakat dan ibadah haji. Hakikatnya adalah mereka yang benar-benar telah bersaksi (syahid/menyaksikan) tiada tuhan selain Allah.
”Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati“. (QS Yunus [10]:62 )
Semoga kita semua bisa menjadi wali-wali Allah, Shiddiqin, muslim yang ihsan, muslim yang sholeh. Sehingga kita bisa termasuk yang disholawatkan oleh seluruh muslim sampai akhir zaman.
Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,
“Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.
Sesuai janji Allah ta’ala maka setiap muslim yang sholeh (muhsin) atau orang-orang beriman dan beramal sholeh maka akan masuk surga tanpa di hisab,
Janji Allah swt dalam firmanNya yang artinya.
“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” (QS Al Mu’min [40]:40 )
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124
Marilah kita berlomba-lomba menuju kepada Allah, berlarilah kepada Allah , “Fafirruu Ilallah” berlomba-loba untuk dapat seolah melihat Allah atau melihat Allah dengan hati.
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.
Wassalam
Allah bersama kita
13 Agustus 2010 oleh mutiarazuhud
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah saw berkata:
“Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“
Apabila seorang hamba merasa selalu dalam pengawasan dan pantauan Allah, dalam segala hal tentang dirinya, tentu dia merasa malu dan takut kalau Allah melihat sesuatu yang buruk dan membuatNya murka.
Ada yang mengatakan: Jika anda melakukan maksiat, maka lakukanlah di tempat yang lepas dari pantuan dan penglihatan Allah swt. Dengan begitu, maka anda tidak akan jadi melakukan maksiat, karena tidak ada satu tempatpun yang terlepas dari penglihatan Allah.
Ada ulama yang ditanya: “Dengan apa seseorang dapat menjaga penglihatannya dari memandang yang diharamkan ?’. Jawabnya: “Dengan kesadaran bahwa Allah Maha Mengetahui. Dan pengetahuan serta penglihatan Allah itu telah mengenai segala yang dilarang itu, sebelum orang tersebut hendak melihatnya“
Firman Allah yang artinya:
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Qur’an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”. (QS Yunus [10]: 61 )
Doa Munajat Syaikh Ibnu Athoillah,
“Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolongan“
Mari kita kenali Allah (ma’rifatullah), Jagalah selalu keadaan sadar (kesadaran) atau berperilakulah atau berbuatlah secara sadar dan mengingat Allah (akhlakul karimah), Insyaallah kita dapat merasakan kebersamaan dengan Allah.
Sekilas tentang mengenal Allah, silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/07/24/mengenal-allah/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830
Di mana Allah
4 Juli 2010 oleh mutiarazuhud
Sebagian muslim memahami hadits secara dzahir, lahiriah atau tekstual tentang Jariyah ( budak perempuan ) yang ditanya Rasulullah SAW, “Dimanakah Allah” . ( Shahih Muslim no:537).
Kita ketahui bahwa pertanyaan / dakwah disesuaikan dengan keadaan si penerima pertanyaan / dakwah maupun suasana kejadian pada saat itu. Hal ini sudah saya tuliskan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/06/di-atas-langit/
dan dari sumber lain, silahkan baca tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/12/hadits-jariyah/
.
Kali ini saya menyampaikan perkataan Imam Al Qusyairi
Imam al Qusyairi mengatakan,
” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya, atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.
Ketika saya sampaikan perkataan Imam al Qusyairi kepada mereka , mereka balik bertanya ”Mengapa mengikuti perkataan Imam al Qusyairi, seorang ulama Sufi yang wafat tahun 465H, bukan shahabat, bukan tabi’in) yang melarang bertanya “Dimana Allah?”
Inilah yang saya sedihkan, apakah ulama yang bukan sahabat atau tabi’in atau tabi’ut tabi’in jauh dari kebenaran ?
Pendapat ulama, wajib kita periksa dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Imam Qusairy tidak melarang , namun beliau mengatakan ”Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya” , ini sangat sesuai dengan firman Allah yang artinya, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”. (QS.al-Syura : 11).
Secara dzahir atau dengan “mata kepala”, tidak akan mendapatkan jawaban “bagaimana Dia” atau “dimana Dia”. Begitu pula tidak akan mendapatkan jawaban jika hanya dengan diskusi berkepanjangan saja.
Oleh karenanya Imam Qusairy memberitahukan jalan untuk mendapatkan jawaban dimanakah Allah, dengan jalan kita menjadi “penyaksi” (asy syahid) dengan “mata hati” atau bashirah
“Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.
Inipun sesuai dengan Al-qur’an bahwa untuk mengambil pelajaran akan ayat-ayat mutasyabihat adalah orang-orang berakal (ulil albab).
“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal“. (QS Ali Imran : 7)
Allah menyampaikann bahwa orang-orang berakal (ulil albab) adalah,
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran: 191).
Dan upaya itupun bukan karena amal, perbuatan manusia namun semata-mata kehendak Allah.
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269).
Jadi menjadi “penyaksi” (as syahid), ihsan (seolah-olah melihatNya), dapat mengenal Allah (ma’rifatullah), sampai (wushul) ke hadirat Allah adalah semata-mata kehendak Allah.
Begitu juga saya sedih atas sebagian muslim yang anti madzhab dengan alasan bahwa imam-imam madzhab tidak maksum atau tidak terbaik.
Padahal mereka kurang tepat mengartikan Salafush sholeh.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya“. HR. Bukhari, no. 2652, Muslim, no. 6635.
Mereka dipanggil sebagai Salafush Sholeh karena mereka sholeh, baik, berakhlak baik, mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya.
Mereka yakin bahwa Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.
Mereka adalah yang berserah diri (Islam) kepada Allah.
Sehingga mereka mencapai tingkatan muslim yang terbaik yakni Ihsan (muhsin), seolah-olah mereka melihat-Nya walaupun mereka tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat mereka.
Sekarang kita yang jauh dari masa generasi terbaik itu, mulai timbullah sikap “membela diri” yang sesungguhnya adalah memperturuti hawa nafsu. Nah, memperturuti hawa nafsu inilah yang menghijab kita dari “seolah-olah kita melihatNya”
Oleh karenanya orang-orang yang mendalami tasawuf sangat concern dengan masalah menghilangkan hijab, yakni dosa dengan taubat, akhlak, tazkiyatun nafs, dll
Salah satu cara mengingat Allah yang lebih besar keutamaannya adalah Sholat,
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan“. (QS al Ankabut : 45)
Inilah yang dikatakan “Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin” , Sholat adalah mi’raj nya kaum mukmin.
Perihal ini sudah saya uraikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/20…sholat-khusyu/
Sholat adalah amal / perbuatan yang merupakan kelanjutan atau perwujudan dari syahadat (kesaksian) yang telah diucapkan atau kita janjikan.
Marilah kita wujudkan atau buktikan kepada Allah, apa yang kita ucapkan dan kita janjikan (syahadat) dalam bentuk amal dan perbuatan.
Wassalam
Zon di Jonggol
Lafadz dan Makna Dzahir
Sebagaimana yang disampaikan Salaf, bahwa kami mengimani LAFADZ DZAHIR ayat-ayat Mutasyabihat (semua dari sisi ALLAH) namun tidak MAKNA DZAHIR dan kami menyerahkan MAKNAnya kepada Allah dan Allah menganugerahkan al-hikmah (pemahaman yang dalam) kepada siapa yang dikehendakiNya, sehingga hambaNya dapat mengambil pelajaran.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad menyatakan:
“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat mutasyabihat dan hadits mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Klo boleh disimpulkan , kita tidak akan mendapatkan jawaban jika memulai pertanyaan makna dengan awalan di ……..
Allah dalam pengertian makna tidak dapat secara dzahir, tekstual atau harfiah, Dia tidak di bumi, tidak di langit dan tidak di mana-mana
Kita tidak bisa berbicara tentang Allah secara bermakna. bagaimana kita bisa memahami tentang Dia, sedang kata-kata yang ada hanya melemparkan kita keluar dari seluruh konsepsi manusia.
Seperti,
Aku adalah dekat, Allah Maha Tinggi
Al awwalu wal akhiru (Dia yang Awal dan yang akhir),
Dia yang tampak dan yang tersembunyi (Al dhahiru wal bathinu),
cahaya-Nya tidak di timur dan tidak di barat (la syarkiya wa la gharbiya),
tidak laki-laki dan tidak tidak perempuan,
tidak serupa dengan ciptaan-Nya dst….
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, (dzohir atau “mata kepala))
tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”. (dilihat oleh hati atau bashirah, “mata hati”)
Hakikat keimanan yang dimaksud dengan i’tiqad atau akidah.
Oleh karenanya kita sebagai muslim dapat mengetahui tentang Allah dapat melalui sifatNya yang semuanya Allah berikan petunjuk dalam Al-Qur’an. Ulama-ulama ushuludin mengumpulkan atau merumuskan untuk mengajarkan kepada kita dalam
20 sifat yang wajib (mesti ada) pada Allah
20 sifat yang mustahil (tidak mungkin ada ) pada Allah dan
1 sifat yang harus (boleh ada – boleh tidak) pada Allah.
Ulama yang mengumpulkan atau merumuskan adalah Syaikh Abu Hasan ‘Ali al Asy’ari dan Syaikh Abu Mansur al Maturidi
Karena itu orang-orang memberi nama kepada kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, juga dengan nama kaum Asya’irah , jama’ dari Asy’ari.
Tersebut dalam kitab, “Ihtihaf Sadatul Muttaqin” karangan Imam Muhmammad bin Muhammad al Husni az Zabidi, yaitu kitab syarah dari kitab “Ihya Ulummuddin” karangan Imam Ghazali, pada jili II, hal 6 yang artinya,
“Apabila disebut kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, maka maksudnya ialah orang-orang yang mengikuti rumusan (paham) Asy’ari dan paham Abu Mansur al Maturidi”
Selengkapnya, silahkan baca tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/20…ah-wal-jamaah/
Dan dalam tasawuf didalami bahwa selain mengenal Allah dengan sifatNya, maka mengenal Allah (ma’rifatullah) dengan berupaya mencapai muslim yang Ihsan (muhsin), seolah-olah melihatNya atau bertemu Allah atau sampai (wushul) ke hadhirat Allah.
Sebagaimana yang disampaikan Sayyidina Ali r.a. bahwa “Bagaimana kita menyembah yang tidak pernah kita lihat?”
Sebagaimana firman Allah yang artinya,
“Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keragu-raguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. ingatlah bahwa sesungguhnya Dia maha meliputi segala sesuatu. (QS Fushshilat 41:54)
Untuk itulah , untuk menghilangkan keragu-raguan kita wajib beri’tiqad/akidah sesuai apa yang Allah berikan petunjukNya dalam Al-Qur’an dan penjelasan dalam Hadits. Jangan sekedar atau bahkan “buta” mengikuti metode pemahaman orang lain. Kembalilah kepada Al-Qur’an dan Hadits.
Janganlah kita menyia-nyiakan kehidupan di dunia dan dalam keraguan.
Ikutilah sunnah Rasulullah saw, “Zuhudlah di dunia” sehingga mencapai tingkatan orang arif yakni meninggalkan hal-hal yang menyibukkan seorang hamba sehingga melupakan Allah.
Orang-orang arif adalah orang yang menyibukkan dirinya dengan Allah dan hanya melakukan perbuatan jika Allah yang berkenan dan bukan karena keinginan mereka sendiri. Mari kita gunakan waktu sepenuhnya untuk berbekal bagi kehidupan akhirat dengan menyibukkan diri kepada Allah dengan selalu MENGINGAT ALLAH
Seolah melihat
29 Maret 2010 oleh mutiarazuhud
Nabi saw. Bersabda, “ Aku melihat surga dan aku bisa mengambil setangkai buah darinya. Jika aku mengambilnya, niscaya kalian bisa memakannya sepanjang keberadaan dunia.”
Menurut Syekh Abu al Abbas, hadis di atas menyatakan bahwa para nabi melihat hakikat segala sesuatu, sementara para wali melihat yang serupa dengannya. Karena itu, Nabi mengatakan, “Aku melihat surga,” bukan, “Seolah-olah aku melihat surga.” Dalam hadis lain diriwayatkan bahwa ketika Nabi saw. bertanya kepada Haritsah, “Bagaimana kabarmu pagi ini wahai Haritsah?” Ia menjawab, “Pagi ini aku benar-benar beriman.”
Mendengar jawabannya, Nabi berujar, “Setiap kebenaran ada hakikatnya. Apa hakikat imanmu?”
Ia menjawab, “Aku berpaling dari dunia sehingga bagiku sama saja antara emas atau tanah. Seolah-olah aku melihat penduduk surga tengah merasakan nikmat surga. Dan seolah-olah aku melihat penduduk neraka sedang merasakan siksa. Juga seolah-olah aku melihat Arasy dengan jelas. Karena itu, aku bangun malam (untuk beribadah) dan berpuasa di siang hari.”
Mendengar jawabannya, Nabi bersabda, “Wahai Haritsah, kau telah makrifat. Tetaplah dalam keadaanmu!”
Kemudian Nabi melanjutkan, “Ia hamba yang Allah terangi hatinya dengan cahaya iman.”4
Dalam hadits itu, Haritsah berkata, “ Seolah-olah aku melihat.” Ia tidak berkata, “Aku telah melihat,” karena maqam itu hanya untuk para nabi. Demikian pula ucapan Hanzhalah al-Asadi kepada Rasulullah saw., “Engkau telah mengingatkan kami kepada surga dan neraka sehingga seakan-akan kami melihatnya dengan mata kepala sendiri.”5 Ia tidak mengatakan, “Sehingga kami melihatnya dengan mata kepala sendiri.”
Pada hadits pertama, yang menyebutkan dialog Nabi saw. dengan Haritsah, ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik:
Pertama, Haritsah tidak mengatakan bahwa pagi itu ia kaya, sehat, atau menyebutkan keadaan fisik dan urusan duniawi lainnya. Sebab, Haritsah menyadari bahwa Rasulullah saw. tidak akan menanyakan urusan dunia. Ia paham bahwa Rasulullah menanyakan hubungannya dengan Allah. Karena itu, ia menjawab, “Pagi ini aku benar-benar beriman.” Sedangkan para pencinta dunia, jika ditanya dengan pertanyaan serupa, akan menjawabnya dengan menyebutkan urusan dunia mereka. Mungkin mereka akan menyebutkan urusan dunia mereka. Mungkin mereka akan menyebutkan kerisauan menghadapi takdir Allah. Orang yang bertanya kepada orang semacam itu berarti sama dengannya karena , berkat pertanyaannya, ia menjadi sebab orang itu mengungkapkan urusan dunianya.
Syekh Abu al-Abbas r.a. pernah bertanya kepada seorang yang baru pulang dari haji, “Bagaimana hajimu?”
Ia menjawab, “Banyak kemudahan dan banyak air. Harga barang anu sekian, barang anu sekian.”
Mendengar jawabannya, Syekh berpaling dan berkata, “Kalian bertanya kepada mereka tentang haji mereka. Mereka tidak mendapatkan ilmu, cahaya, dan penyingkapan. Mereka menjawab dengan menyebutkan murahnya harga-harga dan banyaknya air sehingga seakan-akan hanya itu yang ditanyakan kepada mereka.”
Kedua, seorang guru atau syekh harus melihat ahwal para murid dan seorang murid boleh memberitahukan ahwalnya kepada sang guru meskipun hal itu akan menelanjangi dirinya. Sebab, guru adalah dokter, sedangkan ahwal murid adalah aurat yang boleh diperlihatkan kepada dokter agar ia bisa mengobatinya.
Ketiga, lihatlah kekuatan cahaya Haritsah dalam ucapannya, “Pagi ini aku benar-benar beriman.” Seandainya ia tidak diberi cahaya bashirah (penglihatan batin) yang mengantarkannya kepada keyakinan dan sunah, niscaya ia tidak akan memberitahukan keadaannya, serta tidak akan memperlihatkan dan menetapkan keadaan imannya di depan orang yang paling berhak untuk menetapkan. Namun, ia mengatakannya karena tahu bahwa ia wajib mematuhi Rasulullah saw. yang bertanya kepadanya, dan ia tidak boleh menyebunyikannya. Ia memperlihatkan karunia yang Allah berikan kepadanya berkat mengikuti Rasulullah saw. agar Rasul senang. Rasulullah bersyukur kepada Allah dan meminta Haritsah untuk istikamah dalam keadaan itu.
Sumber: Ibnu Athoillah, Lathaif al Minan, Rahasia Yang Maha Indah, Penerbit Serambi
18 Oktober 2013 oleh mutiarazuhud
Siapakah hamba yang dekat dengan Tuhan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Sungguh celaka orang yang tidak berilmu.
Sungguh celaka orang yang beramal tanpa ilmu
Sungguh celaka orang yang berilmu tetapi tidak beramal
Sungguh celaka orang yang berilmu dan beramal tetapi tidak menjadikannya muslim yang berakhlak baik atau muslim yang ihsan.
Urutannya adalah ilmu, amal, akhlak (ihsan)
Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan dibuktikan dengan dapat menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh).
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Para ulama tasawuf atau kaum sufi mengatakan bahwa hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa menjadi hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).
Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Dalam sebuah hadits qudsi , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Allah berfirman, Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku) maka Aku menyiksanya”. (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR Muslim)
Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Musllim yang bagaimana yang paling baik?” “Ketika orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya” Jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu aliahi wasallam bersabda “Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad)
Sayyidina Umar ra menasehatkan, “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah bersuara / bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti orang lain dengan tangan dan lidahnya“
Sayyidina Umar ra juga menasehatkan “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang lain; wara yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak mulia dalam bermasyarakat (bergaul)“.
Tujuan beragama adalah menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu. (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28).
Bagaimana pengertian takut kepada Allah ?
Habib Munzir Almusawa menyampaikan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa orang yang beramal karena takut pada neraka, maka itu adalah ibadah para budak, karena taatnya hanyalah karena takut, dan barangsiapa yang beramal karena ingin surga, maka itu amalan para pedagang, karena diotaknya hanya ingin untung, dan barangsiapa yang beribadah karena ingin dekat dengan Allah, itulah orang orang yang merdeka. Ketiga kelompok ini tetap dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun tentunya yang paling mulia adalah yang beribadah karena tak menginginkan apa apa selain kedekatan pada Allah Subhanahu wa Ta’ala, banyak pula teriwayatkan hal seperti ini dari kalangan Sahabat Radhiyallahu ‘anhum, mereka merindukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan Allah merindukan mereka, sebagaimana sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam : “Barangsiapa yang merindukan perjumpaan dengan Allah maka Allah merindukan perjumpaan dengannya”
An-Nafzi Ar-Randi dan Abu Thalib Al-Makki meriwayatkan dari Abu Hazim Al-Madani yang berkata: “Aku malu kepada Tuhanku jika aku menyembah-Nya karena takut siksa. Kalau begitu, aku seperti orang jahat yang jika tidak takut, maka ia tidak akan… beramal. Aku juga malu kepada-Nya jika aku menyembah-Nya karena mengharap pahala-Nya, karena jika aku menyembah-Nya karena mengharap pahala-Nya maka dengan cara seperti itu aku seperti buruh yang jahat yang jika tidak diberi gaji maka ia tidak mau bekerja, namun aku menyembah-Nya karena cinta kepada-Nya.” (Ghautsu Al-Mawahibi Al-Aliyyati, AN-Nafzi Ar-Randi, Jilid I, hal. 242. Juga Qutu Al-Qulubi, Abu Thalib Al-Makki, Jilid II, hal. 56).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah manusia yang paling mencintai Allah ta’ala. Beliau menyembah Allah ta’ala karena mencintaiNya dan Allah ta’ala paling mencintai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Oleh karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sangat mencintai Allah ta’ala maka beliau takut kepada Allah ta’ala yakni takut untuk melakukan sesuatu yang dibenciNya atau yang dimurkaiNya.
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar sehingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh
Muslim yang memandang Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Dalam sebuah wawancara dengan Dr. Sri Mulyati, MA (Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) , beliau mengatakan bahwa untuk dapat melihat Allah dengan hati sebagaimana kaum sufi, tahapan pertama yang harus dilewati adalah Takhalli, mengosongkan diri dari segala yang tidak baik, baru kemudian sampai pada apa yang disebut Tahalli, harus benar-benar mengisi kebaikan, berikutnya adalah Tajalli, benar-benar mengetahui rahasia Tuhan. Dan ini adalah bentuk manifestasi dari rahasia-rahasia yang diperlihatkan kepada hamba-Nya. Boleh jadi mereka sudah Takhalli tapi sudah ditunjukkan oleh Allah kepada yang ia kehendaki.
Tidak semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya.
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uuna , “mereka tuli, bisu dan buta (tidak dapat menerima kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)” (QS Al BAqarah [2]:18)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna , “mereka tuli (tidak dapat menerima panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (QS Al Baqarah [2]:171)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
Muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah adalah muslim yang dekat dengan Allah atau muslim yang telah meraih maqom (derajat) di sisiNya sehingga dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) akan berkumpul dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Jadi orang-orang yang selalu berada dalam kebenaran atau selalu berada di jalan yang lurus adalah orang-orang yang diberi karunia ni’mat oleh Allah atau orang-orang yang telah dibersihkan atau disucikan atau dipelihara oleh Allah ta’ala sehingga terhindar dari perbuatan keji dan mungkar dan menjadikannya muslim yang sholeh, muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah dan yang terbaik adalah muslim yang dapat menyaksikanNya dengan hatinya (ain bashiroh). Mereka adalah para kekasih Allah atau wali Allah
Hubungan yang tercipta antara Allah ta’ala dengan al-awliya (para wali Allah) menurut Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) adalah hubungan al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan).
Hubungan istimewa ini diperoleh karena hubungan seorang wali telah menyerahkan semua urusannya kepada Allah, sehingga ia menjadi tanggungjawab-Nya, baik di dunia maupun di akhirat.
Adanya pemeliharaan, cinta kasih, dan pertolongan Allah kepada wali sedemikian rupa merupakan manifestasi dari makna al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan kehadiranNya, hudhur ma’ahu wa bihi.
Bertitik tolak pada al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cintakasih), dan al-inayah (pertolongan) Allah kepada al-awliya (para wali / kekasih); al-Tirmidzi sampai pada kesimpulannya bahwa al-awliya (para wali / kekasih) dan orang-orang beriman bersifat ‘ishmah, yakni memiliki sifat keterpeliharaan dari dosa; meskipun ‘ishmah yang dimiliki mereka berbeda.
Bagi umumnya orang-orang beriman ‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi al-awliya (para wali) ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) dari kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka.
Mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya. Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga peringkat ‘ishmah, yakni
‘ishmah al-anbiya (‘ishmah Nabi),
‘ishmah al-awliya (‘ishmah para wali),
‘ishmah al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumnya).
Jadi jika Allah telah mencintai hambaNya maka akan terpelihara (terhindar) dari dosa atau jikapun mereka berbuat kesalahan maka akan diberi kesempatan untuk menyadari kesalahan mereka ketika masih di dunia.
Imam Mazhab yang empat, para ulama yang sholeh yang mengikuti mereka termasuk para ulama yang sholeh dari kalangan Habib atau ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallallahu alaihi wasallam memang tidak maksum namun mereka boleh saja mendapatkan ‘ishmah para wali sesuai dengan manzilah (maqom / derajat) atau kedekatan mereka dengan Allah Azza wa Jalla.
Berikut contoh pemeliharaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap kekasihNya
Imam asy-Syafi’i berkata: ‘Saya mengadu kepada Waqi’ (guru beliau) buruknya hafalanku, maka dia menasihatiku agar meninggalkan maksiat. Dan ia mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diberikan kepada pelaku maksiat”.
Setelah Imam asy Syafi’i merunut (mencari tahu) kenapa beliau lupa hafalan Al-Qur’an (hafalan Al-Qur`ânnya terbata-bata), ternyata dikarenakan beliau tanpa sengaja melihat betis seorang wanita bukan muhrim yang tersingkap oleh angin dalam perjalanan beliau ke tempat gurunya.
‘Abdullâh bin Al-Mubarak meriwayatkan dari adh-Dhahak bin Muzahim, bahwasanya dia berkata;”Tidak seorangpun yang mempelajari Al-Qur`ân kemudian dia lupa, melainkan karena dosa yang telah dikerjakannya. Karena Allah berfirman Subhanahu wa Ta’ala : وَمَآأَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ (“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri” (QS Asy-Syûra [42]: 30)- . Sungguh, lupa terhadap Al-Qur`ân merupakan musibah yang paling besar * (. Fadha`ilul-Qur`ân, karya Ibnu Katsir, hlm. 147)
Itulah contoh mereka yang disayang oleh Allah ta’ala dan diberi kesempatan untuk menyadari kesalahan mereka ketika masih di dunia..
Sedangkan ulama su’u adalah mereka yang tidak menyadarinya atau tidak disadarkan oleh Allah Azza wa Jalla atas kesalahannya atau kesalahpahamannya sehingga mereka menyadarinya di akhirat kelak. Wallahu a’lam.
Tentang ulama yang baik dan ulama yang buruk (su’u) telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/23/ulama-baik-dan-buruk/
Muslim yang dekat dengan Allah sehingga menjadi kekasih Allah (Wali Allah) dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada. Wajah mereka bercahaya sebagaiman yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/16/wajah-bercahaya/
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala“ Seorang dari sahabatnya berkata, “siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka“. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya: “Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.” Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya“. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS Yunus [10]:62)
Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya”
Abu Yazid al Busthami mengatakan: “Para wali Allah merupakan pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para pengantin itu melainkan ahlinya“.
Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang bagaimana (cara) mengenal Waliyullah, ia menjawab: “Allah tidak akan memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang serupa dengan mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka – untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya.”
Begitupula dengan hadist Qudsi tersimpan pada pribadi – pribadi sahabat Nabi dan disampaikan lewat mulut ke mulut . Karena “isinya” yang tinggi, Hadist Qudsi tercecer hanya pada sahabat – sahabat khusus saja, yang menyimpannya bagi dirinya sendiri dan kemudian menurunkannya pada orang – orang tertentu pula. Sebagaimana Abu Hurairah berkata , ” Aku menerima sekantung ilmu dari Rasulullah. Separuh kantung aku bagikan kepada kamu semua dan separuhnya lagi aku simpan buat aku sendiri . Karena jika yang separuh lagi itu aku bagikan juga , niscaya kalian akan mengkafirkanku dan menggantungku”
As Sarraj at-Tusi mengatakan : “Jika ada yang menanyakan kepadamu perihal siapa sebenarnya wali itu dan bagaimana sifat mereka, maka jawablah : Mereka adalah orang yang tahu tentang Allah dan hukum-hukum Allah, dan mengamalkan apa yang diajakrkan Allah kepada mereka. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang tulus dan wali-wali-Nya yang bertakwa“.
Dari Abu Umamah ra, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “berfirman Allah Yang Maha Besar dan Agung: “Diantara para wali-Ku di hadhirat-Ku, yang paling menerbitkan iri-hati ialah si mu’min yang kurang hartanya, yang menemukan nasib hidupnya dalam shalat, yang paling baik ibadat kepada Tuhannya, dan taat kepada-Nya dalam keadaan tersembunyi maupun terang. Ia tak terlihat di antara khalayak, tak tertuding dengan telunjuk. Rezekinya secukupnya, tetapi iapun sabar dengan hal itu. Kemudian Beliau shallallahu alaihi wasallam menjentikkan jarinya, lalu bersabda: ”Kematiannya dipercepat, tangisnya hanya sedikit dan peninggalannya amat kurangnya”. (HR. At Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hanbal)”.
Para Wali Allah (kekasih Allah) , jika melihat mereka mengingatkan kita kepada Allah
Dari Amru Ibnul Jammuh, katanya: “Ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Allah berfirman: “Sesungguhnya hamba-hambaKu, wali-waliKu adalah orang-orang yang Aku sayangi. Mereka selalu mengingatiKu dan Akupun mengingat mereka.” (Hadis riwayat Abu Daud dalam Sunannya dan Abu Nu’aim dalam Hilya jilid I hal. 6)
Dari Said ra, ia berkata: “Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya: “Siapa wali-wali Allah?” Maka beliau bersabda: “Wali-wali Allah adalah orang-orang yang jika dilihat dapat mengingatkan kita kepada Allah.”(Hadis riwayat Ibnu Abi Dunya di dalam kitab Auliya’ dan Abu Nu’aim di dalam Al Hilya Jilid I hal 6)
Imam Al-Bazzaar meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia mengatakan, seseorang bertanya, ya Rasulullah shallalahu alaihi wasallam, siapa para wali Allah itu? Beliau menjawab, “Orang-orang yang jika mereka dilihat, mengingatkan kepada Allah,” (Tafsir Ibnu Katsir III/83).
Para Wali Allah (kekasih Allah) selalu sabar, wara’ dan berbudi pekerti yang baik.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ada tiga sifat yang jika dimiliki oleh seorang, maka ia akan menjadi wali Allah, iaitu: pandai mengendalikan perasaannya di saat marah, wara’ dan berbudi luhur kepada orang lain.” (Hadis riwayat Ibnu Abi Dunya di dalam kitab Al Auliya’)“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wahai Abu Hurairah, berjalanlah engkau seperti segolongan orang yang tidak takut ketika manusia ketakutan di hari kiamat. Mereka tidak takut siksa api neraka ketika manusia takut. Mereka menempuh perjalanan yang berat sampai mereka menempati tingkatan para nabi. Mereka suka berlapar, berpakaian sederhana dan haus, meskipun mereka mampu. Mereka lakukan semua itu demi untuk mendapatkan redha Allah. Mereka tinggalkan rezeki yang halal karena akan amanahnya. Mereka bersahabat dengan dunia hanya dengan badan mereka, tetapi mereka tidak tertipu oleh dunia. Ibadah mereka menjadikan para malaikat dan para nabi sangat kagum. Sungguh amat beruntung mereka, alangkah senangnya jika aku dapat bertemu dengan mereka.” Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menangis karena rindu kepada mereka. Dan beliau bersabda: “Jika Allah hendak menyiksa penduduk bumi, kemudian Dia melihat mereka, maka Allah akan menjauhkan siksaNya. Wahai Abu Hurairah, hendaknya engkau menempuh jalan mereka, sebab siapapun yang menyimpang dari penjalanan mereka, maka ia akan mendapati siksa yang berat”. (Hadis riwayat Abu Hu’aim dalam kitab Al Hilya)
Para Wali Allah (kekasih Allah) suka menangis dan mengingat Allah.
‘Iyadz ibnu Ghanam menuturkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Malaikat memberitahu kepadaku: “Sebaik-baik umatku berada di tingkatan-tingkatan tinggi. Mereka suka tertawa secara terang, jika mendapat nikmat dan rahmat dari Allah, tetapi mereka suka menangis secara rahasia, karena mereka takut mendapat siksa dari Allah. Mereka suka mengingat Tuhannya di waktu pagi dan petang di rumah-rumah Tuhannya. Mereka suka berdoa dengan penuh harapan dan ketakutan. Mereka suka memohon dengan tangan mereka ke atas dan ke bawah. Hati mereka selalu merindukan Allah. Mereka suka memberi perhatian kepada manusia, meskipun mereka tidak dipedulikan orang. Mereka berjalan di muka bumi dengan rendah hati, tidak congkak, tidak bersikap bodoh dan selalu berjalan dengan tenang. Mereka suka berpakaian sederhana. Mereka suka mengikuti nasihat dan petunjuk Al Qur’an. Mereka suka membaca Al Qur’an dan suka berkorban. Allah suka memandangi mereka dengan kasih sayangNya. Mereka suka membahagikan nikmat Allah kepada sesama mereka dan suka memikirkan negeri-negeri yang lain. Jasad mereka di bumi, tapi pandangan mereka ke atas. Kaki mereka di tanah, tetapi hati mereka di langit. Jiwa mereka di bumi, tetapi hati mereka di Arsy. Roh mereka di dunia, tetapi akal mereka di akhirat. Mereka hanya memikirkan kesenangan akhirat. Dunia dinilai sebagai kubur bagi mereka. Kubur mereka di dunia, tetapi kedudukan mereka di sisi Allah sangat tinggi. Kemudian beliau menyebutkan firman Allah yang artinya: “Kedudukan yang setinggi itu adalah untuk orang-orang yang takut kepada hadiratKu dan yang takut kepada ancamanKu.” (Hadis riwayat Abu Nu’aim dalam Hilya jilid I, hal 16)
Para wali Allah jika mereka meminta akan dikabulkanNya
Dari Anas ibnu Malik ra berkata: “Rasul shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Berapa banyak manusia lemah dan dekil yang selalu dihina orang, tetapi jika ia berkeinginan, maka Allah memenuhinya, dan Al Barra’ ibnu Malik, salah seorang di antara mereka.” Ketika Barra’ memerangi kaum musyrikin, para Sahabat: berkata: “Wahai Barra’, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda: “Andaikata Barra’ berdoa, pasti akan terkabul. Oleh karena itu, berdoalah untuk kami.” Maka Barra’ berdoa, sehingga kami diberi kemenangan. Di medan peperangan Sus, Barra’ berdo’a: “Ya Allah, aku mohon, berilah kemenangan kaum Muslimin dan temukanlah aku dengan NabiMu.” Maka kaum Muslimin diberi kemenangan dan Barra’ gugur sebagai syahid.
Suatu hari Umar r.a. kedatangan rombongan dari Yaman, lalu ia bertanya: “Adakah di antara kalian yang datang dari suku Qarn?”. Lalu seorang maju ke dapan menghadap Umar. Orang tersebut saling bertatap pandang sejenak dengan Umar. Umar pun memperhatikannya dengan penuh selidik. “Siapa namamu?” tanya Umar. “Aku Uwais”, jawabnya datar. “Apakah engkau hanya mempunyai seorang Ibu yang masih hidup?, tanya Umar lagi. “Benar, Amirul Mu’minin”, jawab Uwais tegas. Umar masih penasaran lalu bertanya kembali “Apakah engkau mempunyai bercak putih sebesar uang dirham?” (maksudnya penyakit kulit berwarna putih seperti panu tapi tidak hilang). “Benar, Amirul Mu’minin, dulu aku terkena penyakit kulit “belang”, lalu aku berdo’a kepada Allah agar disembuhkan. Alhamdulillah, Allah memberiku kesembuhan kecuali sebesar uang dirham di dekat pusarku yang masih tersisa, itu untuk mengingatkanku kepada Tuhanku”. “Mintakan aku ampunan kepada Allah”. Uwais terperanjat mendengar permintaan Umar tersebut, sambil berkata dengan penuh keheranan. “Wahai Amirul Mu’minin, engkau justru yang lebih behak memintakan kami ampunan kepada Allah, bukankah engkau sahabat Nabi?” Lalu Umar berkata “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “Sesungguhnya sebaik-baik Tabi’in adalah seorang bernama Uwais, mempunyai seorang ibu yang selalu dipatuhinya, pernah sakit belang dan disembuhkan Allah kecuali sebesar uang dinar di dekat pusarnya, apabila ia bersumpah pasti dikabulkan Allah. Bila kalian menemuinya mintalah kepadanya agar ia memintakan ampunan kepada Allah” Uwais lalu mendoa’kan Umar agar diberi ampunan Allah. Lalu Uwais pun menghilang dalam kerumunan rombongan dari Yaman yang akan melanjutkan perjalanan ke Kufah. (HR Ahmad)
Riwayat tersebut bukan berarti Sayyidina Umar ra tidak termasuk wali Allah (kekasih Allah) namun sekedar mengabarkan Uwais ra adalah seorang wali Allah di antara Tabi’in
Bumi ini tidak pernah kosong dari para Wali Allah
Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Kumail An Nakha’i: “Bumi ini tidak akan kosong dari hamba-hamba Allah yang menegakkan agama Allah dengan penuh keberanian dan keikhlasan, sehingga agama Allah tidak akan punah dari peredarannya. Akan tetapi, berapakah jumlah mereka dan dimanakah mereka berada? Kiranya hanya Allah yang mengetahui tentang mereka. Demi Allah, jumlah mereka tidak banyak, tetapi nilai mereka di sisi Allah sangat mulia. Dengan mereka, Allah menjaga agamaNya dan syariatNya, sampai dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka. Mereka menyebarkan ilmu dan ruh keyakinan. Mereka tidak suka kemewahan, mereka senang dengan kesederhanaan. Meskipun tubuh mereka berada di dunia, tetapi rohaninya membumbung ke alam malakut. Mereka adalah khalifah-khalifah Allah di muka bumi dan para da’i kepada agamaNya yang lurus. Sungguh, betapa rindunya aku kepada mereka” (Nahjul Balaghah hal 595 dan Al Hilya jilid 1 hal. 80)
Para Wali Allah (kekasih Allah) adalah penerus setelah khataman Nabiyyin ditugaskan untuk “menjaga” agama Islam. Rasulullah mengkiaskannya dengan estafet (penyerahan) “bendera”.
Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Ali, -ketika beliau mengangkatnya sebagai pengganti (di Madinah) dalam beberapa peperangan beliau. Ali bertanya; Apakah anda meninggalkanku bersama para wanita dan anak-anak! beliau menjawab: Wahai Ali, tidakkah kamu rela bahwa kedudukanmu denganku seperti kedudukan Harun dengan Musa? hanya saja tidak ada Nabi setelahku. Dan saya juga mendengar beliau bersabda pada Perang Khaibar; Sungguh, saya akan memberikan bendera ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan RasulNya dan Allah dan RasulNya juga mencintainya. Maka kami semuanya saling mengharap agar mendapatkan bendera itu. Beliau bersabda: Panggilllah Ali! (HR Muslim 4420)
Imam Sayyidina Ali ra adalah bertindak sebagai Nabi namun bukan Nabi karena tidak ada Nabi setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau adalah Imam para Wali Allah
Sebagaimana yang dialami oleh Sayyidina Ali ra (imam para wali Allah), para Wali Allah memang pada umumnya terkena fitnah
Rasulullah bersabda : Sesungguhnya bagi Allah ada orang-orang yang baik (yang tidak pernah menonjolkan diri di antara para hamba-Nya yang dipelihara dalam kasih sayang dan dihidupkan di dalam afiat (sehat yang sempurna). Apabila mereka diwafatkan, niscaya dimasukkan kedalam surganya. Mereka terkena fitnah atau ujian, sehingga mereka seperti berjalan di sebagian malam yang gelap, sedang mereka selamat daripadanya. (Hadis riwayat Abu Nu’aim dalam kitab Al Hilya jilid I hal 6)
Ada satu nasehat dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang berbunyi “Muutu qabla an tamuutu” yang artinya “matilah sebelum mati”
Nasehat Rasulullah tersebut sarat dengan makna. Mati pada hakikatnya adalah terbebasnya ruh (ruhani) dari jasad (jasmani). Jadi upayakanlah dalam kehidupan ini ruh (ruhani) kita tidak terkukung oleh jasmani atau tidak terkukung oleh hawa nafsu. Upayakanlah ruh (ruhani) kita mengendalikan hawa nafsu bukan hawa nafsu yang mengendalikan ruh (ruhani) kita.
Berikut ulasan dari seorang teman akan nasehat dari Rasulullah di atas
***** awal kutipan *****
“Sebelum anda meninggal dunia, cobalah mematikan diri anda sejenak.
Tutuplah kedua mata anda dan bayangkan jenazah anda sedang berada di atas keranda mayat diiringi oleh para pengantar jenazah. Keadaan bagaimana yang anda inginkan setelah anda mati, maka jadilah seperti yang anda inginkan di saat anda hidup sekarang ini.
Perbaikilah kesalahan anda, perbaikilah tingkah laku anda, bertaubatlah di atas segala perbuatan maksiat anda, bukalah lembaran baru kehidupan anda dengan perjalanan hidup dan budi pekerti yang baik.
Cucilah hati anda dari kedengkian dan bersihkanlah dari pengkhianatan. Kelak anda akan mengingat apa yang telah anda lakukan karena makhluk-makhluk ibarat pena Allah ta’ala dan seluruh manusia adalah saksi Allah ta’ala di bumiNya.
Jika mereka bersaksi dengan memuji anda, maka itu adalah khabar baik buat anda dan kesaksian ini diterima di sisi Allah yang Maha Esa. Namun jika mereka bersaksi dengan menyebutkan keburukan anda, maka anda sangat merugi di atas apa yang sedang menanti anda“
*****akhir kutipan ****
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Aku dekat Engkau dekat
Berikut adalah hadits yang dipahami oleh mereka bahwa Allah Azza wa Jalla berada di suatu tempat.
Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin ash-Shabbah dan Abu Bakar bin Abi Syaibah dan keduanya berdekatan dalam lafazh hadits tersebut, keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Hajjaj ash-Shawwaf dari Yahya bin Abi Katsir dari Hilal bin Abi Maimunah dari ‘Atha’ bin Yasar dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami dia berkata, Ketika aku sedang shalat bersama-sama Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam, tiba-tiba ada seorang laki-laki dari suatu kaum bersin. Lalu aku mengucapkan, ‘Yarhamukallah (semoga Allah memberi Anda rahmat) ‘. Maka seluruh jamaah menujukan pandangannya kepadaku. Aku berkata, Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda semua memelototiku? Mereka bahkan menepukkan tangan mereka pada paha mereka. Setelah itu barulah aku tahu bahwa mereka menyuruhku diam. Tetapi aku telah diam. Tatkala Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam selesai shalat, Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu (ungkapan sumpah Arab), aku belum pernah bertemu seorang pendidik sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah! Beliau tidak menghardikku, tidak memukul dan tidak memakiku. Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.’ -Atau sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, sesungguhnya aku dekat dengan masa jahiliyyah. Dan sungguh Allah telah mendatangkan agama Islam, sedangkan di antara kita ada beberapa laki-laki yang mendatangi dukun.’ Beliau bersabda, ‘Janganlah kamu mendatangi mereka.’ Dia berkata, ‘Dan di antara kita ada beberapa laki-laki yang bertathayyur (berfirasat sial).’ Beliau bersabda, ‘Itu adalah rasa waswas yang mereka dapatkan dalam dada mereka yang seringkali menghalangi mereka (untuk melakukan sesuatu), maka janganlah menghalang-halangi mereka. -Ibnu Shabbah berkata dengan redaksi, ‘Maka jangan menghalangi kalian-. Dia berkata, Aku berkata, ‘Di antara kami adalah beberapa orang yang menuliskan garis hidup.’ Beliau menjawab, ‘Dahulu salah seorang nabi menuliskan garis hidup, maka barangsiapa yang bersesuaian garis hidupnya, maka itulah (yang tepat, maksudnya seorang nabi boleh menggambarkan masa yang akan datang, pent) ‘. Dia berkata lagi, Dahulu saya mempunyai budak wanita yang menggembala kambing di depan gunung Uhud dan al-Jawwaniyah. Pada suatu hari aku memeriksanya, ternyata seekor serigala telah membawa seekor kambing dari gembalaannya. Aku adalah laki-laki biasa dari keturunan bani Adam yang bisa marah sebagaimana mereka juga bisa marah. Tetapi aku menamparnya sekali. Lalu aku mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, dan beliau anggap tamparan itu adalah masalah besar. Aku berkata, (Untuk menebus kesalahanku), tidakkah lebih baik aku memerdekakannya? ‘ Beliau bersabda, ‘Bawalah dia kepadaku.’ Lalu aku membawanya menghadap beliau. Lalu beliau bertanya, ‘Di manakah Allah? ‘ Budak itu menjawab, ‘Di langit.’ Beliau bertanya, ‘Siapakah aku? ‘ Dia menjawab, ‘Kamu adalah utusan Allah.’ Beliau bersabda, ‘Bebaskanlah dia, karena dia seorang wanita mukminah’. Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami al-Auza’i dari Yahya bin Abi Katsir dengan isnad ini hadits semisalnya. (HR Muslim 836)
Hadits ini diriwayatkan oleh perawi yang baru masuk Islam. Dapat diketahui dari ungkapanya “Lalu aku mengucapkan, ‘Yarhamukallah (semoga Allah memberi Anda rahmat) ‘. Maka seluruh jamaah menujukan pandangannya kepadaku. Aku berkata, Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda semua memelototiku? Mereka bahkan menepukkan tangan mereka pada paha mereka. Setelah itu barulah aku tahu bahwa mereka menyuruhku diam”
Hal pokok yang disampaikan oleh hadits ini adalah pada bagian perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya, “Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.”
Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal. 24-25) maka ia mentakwilnya agar tidak menyalahahi Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus syariah. Yakni pertanyaan ‘Aina Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan tempat Allah, karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan maqam (tempat) dan juga bisa digunakan untuk menanyakan makanah (kedudukan/derajat). Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul kodri jiddan (derajat Allah sangat tinggi)
Tentang pertanyaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada budak, lebih baik berpegang pada hadits lain seperti,
Disampaikan kepadaku oleh Imam Malik: dari Syihab dari `Ubaidillah Bin Abdullah Bin `Uthbah Bin Mas`ud bahwasanya seorang laki-laki dari kalangan Anshar mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. ia memiliki seorang budak wanita berkulit hitam dan berkata: Wahai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sesungguhnya saya mesti membebaskan seorang budak beriman, jikalau engkau melihatnya beriman, maka bebaskanlah ia. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. berkata kepadanya (budak wanita) “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?” Ia menjawab: “Iya”. Dan “apakah engkau bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah?” ia menjawab: “Iya”. Dan “apakah engkau meyakini adanya kebangkitan setelah kematian?! Ia menjawab: “Iya”. Rasululullah Shallallahu alaihi wasallam kemudian mengatakan : “bebaskanlah ia”
Oleh karena adanya perbedaan redaksi/matan pada bagian pertanyaan Rasulullah kepada seorang budak maka hadits tentang kisah budak wanita di dalam kitab Sahih Muslim pada bagian pertanyaan Nabi kepadanya merupakan riwayat yang mudltharib secara redaksional. Jikalau kita ambil dengan cara mentarjih dengan berdasarkan syahid dan indikasi yang mendukungnya, maka riwayat dengan redaksi: أَتَشْهَدِينَ (apakah engkau bersaksi)?” adalah riwayat yang rajih (terkuat). Karena riwayat ini sesuai dengan akidah Islam secara yakin dan merupakan hadits yang paling sahih jika di pandang dari sisi sanad.
Begitupula hadits tentang kisah budak wanita di dalam kitab Sahih Muslim dikatakan syadz untuk dijadikan landasan menyangkut masalah akidah (i’tiqod) karena tidak dapat dikatakan “di mana” atau bagaimana bagi Allah Azza wa Jalla.
Ibnu Hajar al Asqallâni dalam Fathu al Bâri-nya,1/221: “Karena sesungguhnya jangkauan akal terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga mengalamatkan kepada keberadaan Dzat-nya: Di mana?.”
Imam Sayyidina Ali ra juga mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana“
Imam al Qusyairi menyampaikan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya, atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.
Tinjauan lebih lanjut tentang hadits tersebut selengkapnya silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/12/hadits-jariyah/
Salah satu hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi dan menerpa mereka adalah menjadikan hadits tentang kisah budak wanita di dalam kitab Sahih Muslim sebagai landasan dalam i’tiqod dan memaknai “di mana Allah” secara dzahir mengikuti pola pemahaman orang yang baru masuk Islam.
Tujuan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi adalah untuk menjauhkan kaum muslim dari Allah Azza wa Jalla. Dengan berkeyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla bertempat atau meninggi (dalam arti jarak) di atas ‘Arsy (tempat yang jauh , beratus-ratus tahun perjalanan). Secara alam bawah sadar akan berakibat bahwa Allah ta’ala adalah jauh.
Kalau kita coba ingat bagian lirik lagu berjudul Tuhan dari group musik Bimbo berbunyi
Aku jauh, Engkau jauh
Aku dekat, Engkau dekat
Hati adalah cermin
Tempat pahala dosa bertaruh
Syeikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhidnya berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” pada halaman 109 baris 9 s/d 12 mengatakan “i’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.”
Allah Azza wa Jalla, bukanlah sifatNya, bukanlah namaNya, bukanlah af’alNya.
Allah Azza wa Jalla, ada sebagaimana awalnya , sebagaimana akhirnya, sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy, sebagaimana sebelum diciptakan langit, sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya. Dia tidak berubah, tidak berpindah, tidak berbentuk, tidak berbatas, tidak ada yang menyerupaiNya. Dia dekat tidak bersentuh dan Dia jauh tidak berjarak maupun tidak berarah.
Pada hakikatnya kita tidak perlu memikirkan tentang keberadaan DzatNya namun pikirkanlah segala nikmat yang telah diberikanNya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah”
Kita kembalikan saja kepada firmanNya yang artinya
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat“.( Al Baqarah [2]:186 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [50] :16 )
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah [56]: 85 ).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”
Andaikan mereka mengamalkan tasawuf sebagaimana kaum sufi tentulah mereka tidak termakan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi.
Ulama tasawuf, Syaikh Ibnu Athoillah mengatakan, “Sesungguhnya yang terhalang adalah anda, hai kawan. Karena anda sebagai manusia menyandang sifat jasad, sehingga terhalang untuk dapat melihat Allah. Apabila anda ingin sampai melihat Allah, maka intropeksi ke dalam, lihatlah dahulu noda dan dosa yang terdapat pada diri anda, serta bangkitlah untuk mengobati dan memperbaikinya, karena itu-lah sebagai penghalang anda. Mengobatinya dengan bertaubat dari dosa serta memperbaikinya dengan tidak berbuat dosa dan giat melakukan kebaikan“.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya. Semua banungan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya”.
Nasehat Syaikh Ibnu Athoillah, “Seandainya Anda tidak dapat sampai / berjumpa kehadhirat Allah, sebelum Anda menghapuskan dosa-dosa kejahatan dan noda-noda keangkuhan yang melekat pada diri anda, tentulah anda tidak mungkin sampai kepada-Nya selamanya. Tetapi apabila Allah menghendaki agar anda dapat berjumpa denganNya , maka Allah akan menutupi sifat-sifatmu dengan sifat-sifat Kemahasucian-Nya , kekuranganmu dengan Kemahasempurnaan-Nya. Allah Ta’ala menerima engkau dengan apa yang Dia (Allah) karuniakan kepadamu, bukan karena amal perbuatanmu sendiri yang engkau hadapkan kepada-Nya.”
Manusia terhalang / terhijab melihat Rabb adalah karena dosa mereka. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati (ketiadaan cahaya), sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati. Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah (bermakrifat). Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Seandainya bukan karena setan menyelimuti jiwa anak cucu Adam, niscaya mereka menyaksikan malaikat di langit” (HR Ahmad).
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa kaum sufi adalah “mereka yang bergembira bersama Allah dalam setiap saat”
Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “ Pokok-pokok metode ajaran tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Nikmat melihat Rabb
22 September 2011 oleh mutiarazuhud
Kenikmatan selalu melihat Rabb
Dalam tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/21/rasulullah-hidup/ telah kami sampaikan bahwa Rasulullah walaupun secara dzahir telah wafat namun beliau tetap hidup sebagaimana para Syuhada dan orang-orang lain disisi Allah Azza wa Jalla sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada), (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al Baqarah [2]: 154 )
”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS Ali Imran [3]: 169)
Manusia yang hidup di sisi Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang yang istiqomah pada jalan yang lurus dan telah dianugerahi ni’mat atau mendapat rezeki yakni para Nabi, para Shiddiqin, para Syuhada dan orang-orang sholeh
“Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS Al Fatihah [1]:6 )
” (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka….” (QS Al Fatihah [1]:7 )
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Sekaligus mereka menanggapi tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/14/mendatangi-rasulullah/ dan http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/20/hilangkah-kisah-bertawassul/ yang memuat kisah Arab Badui yang memohon ampunan atas dosanya kepada Allah ta’ala dengan “mendatangi Rasulullah” dan memohon agar Rasulullah memohonkan ampunan untuknya.
Mereka menyampaikan bahwa kami telah menterjemahkan saja kata ‘hidup’ dan memahaminya dengan serampangan apa adanya.
Kemudian mereka sampaikan bahwa setelah manusia wafat tidak ada lagi amal sholeh, tidak ada lagi dapat bermunajat kepada Allah ta’ala. Termasuk mereka tidak meyakini akan kisah Rasulullah memohonkan ampunan kepada Allah untuk Arab Badui.
Mereka sampaikan sebagai dalil hadist yang diriwayatkan Imam Muslim
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah -yaitu Ibnu Sa’id- dan Ibnu Hujr mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Isma’il -yaitu Ibnu Ja’far- dari Al ‘Ala’ dari Ayahnya dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfa’at baginya dan anak shalih yang selalu mendoakannya.” (HR Muslim 3084) Link: http://www.indoquran.com/index.php?surano=26&ayatno=11&action=display&option=com_muslim
Pendapat atau pemahaman mereka terhadap hadits tersebut
“Hadits tersebut menjelaskan bahwa seseorang yang telah wafat sudah tidak dapat lagi beramal sholeh sebagaimana amal sholeh yang dilakukan oleh mereka-mereka yang masih hidup. Hadits tersebut melengkapi penjelasan tentang kondisi pasca kematian, baik terhadap para Syuhada ataupun bagi kaum muslimin secara keseluruhan. Hanya para Syuhada yg dinyatakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ayat-Nya bahwa mereka ‘hidup’, bagi beberapa golongan ayat. Dalam hal ini mereka yang telah wafat tidak dapat lagi bermunajat dan memohon ampunan dosa baik untuk diri pribadinya apalagi untuk orang lain. Mereka yg telah wafat hanya bersifat pasif mendulang pahala dari investasi amal shalehnya ketika ia masih hidup didunia dan pahala dari doa anak-anaknya yang shaleh. Dalam hal ini termasuk doa dari kaum muslimin yg masih hidup yang mendoakannya”.
Biasanya kami yang mengingatkan mereka untuk tidak “menterjemahkan saja” ayat-ayat mutasyabihat secara dzahir karena dapat menyebabkan kekufuran dalam i’tiqod (akidah) sebagaimana yang disampaikan oleh
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, betempat), ia kafir secara pasti.”
Namun dari apa yang mereka sampaikan tidak satupun menjelaskan makna lain dari “hidup” para Syuhada atau mereka berkeyakinan bahwa Rasulullah tidak layak “hidup” sebagaimana para Syuhada
Intinya mereka berpemahaman setelah manusia wafat tidak lagi ada amal perbuatan. Mereka belum memahami tentang apa yang terjadi dengan orang yang telah wafat dan apa bedanya orang-orang yang mulia di sisi Allah Azza wa Jalla dengan orang-orang pada umumnya.
Rasulullah di tampakkan keadaan para Nabi yang secara dzahir telah wafat.
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Laits. (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh telah mengabarkan kepada kami al-Laits dari Abu az-Zubair dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ditampakkan kepadaku para nabi, ternyata Musa adalah salah satu jenis laki-laki seperti laki-laki bani Syanu’ah, dan aku melihat Isa bin Maryam Alaihissalam, ternyata dia mirip dengan orang yang telah aku lihat memiliki kemiripan dengannya, Urwah bin Mas’ud. Dan aku melihat Ibrahim Alaihissalam, ternyata dia mirip dengan orang yang aku lihat memiliki kemiripan dengannya, yaitu sahabat kalian (maksudnya beliau sendiri). Dan aku melihat Jibril Alaihissalam, ternyata dia mirip dengan orang yang pernah aku lihat memiliki kemiripan dengannya, yaitu Dahyah. (HR Muslim 244) Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=2&ayatno=236&action=display&option=com_muslim
Beliau melanjutkan sabdanya: Jibril naik bersamaku hingga mendatangi langit kedua, lalu dia berkata kepada penjaganya, ‘Bukakanlah’. Maka penjaganya berkata sebagaimana penjaga langit dunia (pertama). Lalu dia membukanya. Anas bin Malik berkata, Lalu dia menyebutkan bahwa dia mendapati pada langit-langit tersebut Adam, Idris, Isa, Musa, dan Ibrahim -semoga keselamatan terlimpahkan kepada mereka semuanya- dan dia tidak menyebutkan secara pasti bagaimana kedudukan mereka, hanya saja dia menyebutkan bahwa beliau menjumpai Adam di langit dunia, dan Ibrahim di langit keenam. (HR Muslim 238) Link: http://www.indoquran.com/index.php?surano=2&ayatno=230&action=display&option=com_muslim
Para Sahabat ra menerangkan bahwa kita mendoakan orang-orang sholeh dilangit yakni hamba-hamba shalih yang secara dzahir sudah wafat namun mereka hidup di sisi Allah Azza wa Jalla ketika membaca “Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin”
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Jarir dari Manshur dari Abu Wa`il dari Abdullah radliallahu ‘anhu dia berkata; “Kami biasa membaca (shalawat); ‘Assalaamu ‘alallahi, assalaamu ‘alaa fulaan (Semoga keselamatan terlimpahkan kepada Allah, semoga keselamatan terlimpah kepada fulan).” Maka suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada kami: ‘Sesungguhnya Allah adalah Salam, apabila salah seorang dari kalian duduk dalam shalat (tahiyyat), hendaknya mengucapkan; ‘AT-TAHIYYATUT LILLAHI -hingga sabdanya- SHAALIHIIN, (penghormatan, rahmat dan kebaikan hanya milik Allah -hingga sabdanya- hamba-hamba Allah yang shalih). Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi, ‘ (lalu melanjutkan); ‘ASYHADU ALLAAILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU AN NAMUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUH (Aku bersaksi bahwa tiada Dzat yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya).’ Setelah itu ia boleh memilih pujian yang ia kehendaki.’ (HR Bukhari 5853) link: http://www.indoquran.com/index.php?surano=60&ayatno=25&action=display&option=com_bukhari
Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasan meluruskan kesalahpahaman-kesalahpahaman mereka tentang keadaan Rasulullah yang secara dzahir telah wafat dalam buku beliau yang berjudul Mafahim Yajibu an Tushahhhah (Pemahaman-Pemahaman yang Harus Diluruskan). Berikut kutipannya
*****awal kutipan*****
Berdasarkan keterangan yang terdapat dalam sebuah hadits dari beliau : حياتي خير لكم ومماتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , تعرض أعمالكم عليّ فإن وجدت خيرا حمدت الله و إن وجدت شرا استغفرت الله لكم. “Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.”
Hadits ini diriwayatkan oelh Al Hafidh Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi SAW. Al Haitsami menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits shahih dengan komentarnya : hadits diriwayatkan oleh Al Bazzaar dan para perawinya sesuai dengan kriteria hadits shahih, sebagaimana akan dijelaskan nanti.
Hadits di atas jelas menunjukkan bahwa di alam barzakh, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam memohonkan ampunan (istighfar ) untuk ummatnya. Istighfar adalah doa dan ummat beliau memperoleh manfaat dengannya.
Terdapat keterangan dalam sebuah hadits bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda : ما من أحد يسلّم عليّ إلا رد الله عليّ وروحي حتى أرد السلام “Tidak ada satu pun orang muslim yang memberi salam kepadaku kecuali Allah akan mengembalikan nyawaku hingga aku menjawab salamnya.” HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah RA. Imam Al Nawaawi berkata : Isnad hadits ini shahih.
Hadits ini jelas menerangkan bahwa Beliau Shallallahu alaihi wasallam menjawab terhadap orang yang memberinya salam. Salam adalah kedamaian yang berarti mendoakan mendapat kedamaian dan orang yang memberi salam mendapat manfaat dari doa beliau ini
Ummul mu’minin ‘Aisyah berkata, “Saya masuk ke dalam rumahku di mana Rasulullah dikubur di dalamnya dan saya melepas baju saya. Saya berkata mereka berdua adalah suami dan ayahku. Ketika Umar dikubur bersama mereka, saya tidak masuk ke rumah kecuali dengan busana tertutup rapat karena malu kepada ‘Umar”. (HR Ahmad).
Al Hafidh Al Haitsami menyatakan, “Para perawi atsar di atas itu sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih ( Majma’ul Zawaaid vol 8 hlm. 26 ). Al Hakim meriwayatkanya dalam Al Mustadrok dan mengatakan atsar ini shahih sesuai kriteria yang ditetapkan Bukhari dan Muslim. Adz Dzahabi sama sekali tidak mengkritiknya. ( Majma’ul Zawaid vol. 4 hal. 7 ).
‘Aisyah tidak melepaskan baju dengan tanpa tujuan, justru ia mengetahui bahwa Nabi dan kedua sahabatnya mengetahui siapakah yang orang yang berada didekat kuburan mereka.
*****akhir kutipan*****
Secara umum kita ketahui kematian adalah perpindahan dari Alam Dunia ke Alam Barzakh. Sedikit Informasi sekitar kejadian menuju Alam Barzakh atau dikenal dengan fitnah kubur, silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/07/fitnah-kubur/
Tentu diperlakukan berbeda antara orang-orang beriman dan orang-orang kafir.
Untuk orang-orang kafir, dari tulisan tersebut kami cuplikan
”…. dan kuburannya pun menjadi semakin sempit dan menghimpit badannya sehingga tulng-tulangnya berserakan.”
” Di tangan-Nya ada sebatang besi. Jika besi tersebut ditimpakan pada sebuah gunung, niscaya gunung tersebut akan hancur menjadi debu. Allah lantas mengembalikan orang tersebut seperti sediakala. Orang tersebut dipukul lagi dengan satu pukulan hingga menjerit, sementara jeritannya dapat didengar oleh semua makhluk selain jin dan manusia.”
Keadaan ini sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya
“….,’Keluarkanlah nyawamu’. Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadp ayat-ayatNya“. [Al-An’am : 93]
Untuk orang-orang beriman, dari tulisan tersebut kami cuplikan
“Jika memang hamba-Ku ini benar, maka hamparkanlah untuknya (permadani) dari surga, berilah ia pakaian dari surga, dan bukakanlah untuknya pintu yang menuju surga.” Kemudian ruh orang yang beriman dikembalikan ke jasadnya beserta bau wamgi-wangiannya, lalu diluaskan kuburannya sejauh mata memandang.”
“Ini adalah hari kebahagiaan Anda yang telah Allah janjikan”
Keadaan ini sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya
“Adapun jika dia (orang-orang mati) termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketentraman dan rezeki serta surga kenikmatan“. ( Al-Waaqi’ah [56]:88-89 )
Kedua perlakukan tersebut untuk manusia pada umumnya, sedangkan untuk manusia pilihan atau hamba-hamba Allah yang dicintaiNya tentu akan diperlukan khusus pula.
Imam al-Baihaqi telah membahas sepenggal kehidupan para nabi. Ia menyatakan dalam kitab Dalailun Nubuwwah: “Para nabi hidup di sisi Tuhan mereka seperti para syuhada.“
Hamba-hamba Allah yang dicintaiNya akan diperlakukan khusus dan mereka berkumpul di sisi Allah Azza wa Jalla, yang terdekat denganNya tentulah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
Al-Baihaqi mengeluarkan hadis dari Anas ra:
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya para nabi tidaklah ditinggalkan di dalam kubur mereka setelah empat puluh malam, akan tetapi mereka shalat (dzikrullah) di hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala sampai ditiupnya sangkakala.“
Kesimpulannya adalah orang-orang mulia di sisi Allah Azza wa Jalla setelah kematian memang mereka tidak lagi dibebani perkara syariat namun mereka tetap mengingat Allah (dzikrullah) sepanjang masa sampai ditiupnya sangkakala sebagai wujud kecintaan mereka kepada Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan sebagai kenikmatan yang mereka terima. Kenikmatan selalu melihat Rabb , kenikmatan yang baru akan dirasakan nanti oleh penduduk surga.
Tentang melihat Rabb diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/12/melihat-rabb/
Wassalam
Bukanlah mata itu yang buta
Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Maisarah dia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Tsabit al-Bunani dari Abdurrahman bin Abu Laila dari Shuhaib dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Bila penduduk surga telah masuk ke surga, maka Allah berfirman: ‘Apakah kalian ingin sesuatu yang perlu Aku tambahkan kepada kalian? ‘ Mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau telah membuat wajah-wajah kami putih? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka? ‘ Beliau bersabda: Lalu Allah membukakan hijab pembatas, lalu tidak ada satu pun yang dianugerahkan kepada mereka yang lebih dicintai daripada anugrah (dapat) memandang Rabb mereka. Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun dari Hammad bin Salamah dengan sanad ini, dan dia menambahkan, ‘Kemudian beliau membaca Firman Allah: ‘(Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya) ‘ (Qs.Yunus: 26) (HR Muslim) Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=2&ayatno=258&action=display&option=com_muslim
Dalam tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/12/melihat-rabb/ telah diuraikan bahwa melihat Rabb baik di dunia maupun oleh penduduk surga bukan dengan penglihatan mata kepala namun dengan penglihatan mata hati (ain bashiroh).
Proses melihat dengan penglihatan mata kepala terjadi ketika cahaya dipantulkan dari sebuah benda melewati lensa mata dan menimbulkan bayangan terbalik di retina yang berada di belakang otak. Setelah melewati proses kimiawi yang ditimbulkan oleh sel-sel kerucut dan batang retina, penglihatan ini pun berubah menjadi implus listrik. Implus ini kemudian dikirim melalui sambungan di dalam sistem syaraf ke belakang otak. Kemudian otak menerjemahkan aliran ini menjadi sebuah penglihatan tiga dimensi yang penuh makna.
Kita perhatikan bahwa “proses melihat terjadi ketika cahaya dipantulkan dari sebuah benda” dan Allah Azza wa Jalla bukanlah benda !
Sampai kapan pun manusia tidak akan melihat Rabb dengan kasat mata (mata kepala) yang terproyeksikan / tergambarkan ke dalam benak (otak) nya karena Allah Azza wa Jalla tidak serupa dengan apapun yang terproyeksikan / tergambarkan dalam benak (otak) manusia. “Allah laysa kamitslihi syai’un”, “Allah tidak sama dengan segala sesuatu” (QS Assyura [42]:11)
Firman Allah ta’ala menegaskan bahwa, yang artinya
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (QS Al An’am [6]:103)
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Pada akhir-akhir ini kesalahpahaman keyakinan (i’tiqod) bahwa penduduk surga melihat Rabb dengan mata kepala semakin meluas berdasarkan pemahaman mereka terhadap hadits pada awal tulisan ini.
Mereka berpendapat bahwa dalil penduduk surga melihat Rabb membenarkan keyakinan mereka bahwa Allah ta’ala bertempat di langit atau di atas ‘Arsy dan turun ke langit dunia pada setiap malam, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir
Sebenarnya, keyakinan ini terimbas oleh cerita-cerita tradisional bahwa ‘alam Tuhan’ itu berada di langit, seiring dengan ‘alam dewa-dewa’ keyakinan non muslim. Alam dewa dan alam Tuhan selalu dikaitkan dengan alam tinggi, yang dipersepsi berada di langit, dalam arti ruang yang sesungguhnya. Sehingga, kita sering mendengar cerita-cerita tentang ‘turunnya’ para dewa-dewi, bidadari, atau bahkan ‘Tuhan’ sendiri dari langit nun jauh di sana menuju ke Bumi.
Sebenarnya, konsep seperti ini bukan konsep Islam. Melainkan konsep keyakinan pagan yang justru diluruskan oleh datangnya Islam yang dibawa oleh para Nabi dan keluarga nabi Ibrahim alaihi salam – termasuk keturunan terakhirnya Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam
Keyakinan pagan adalah keyakinan yang menyembah dewa-dewi dan unsur-unsur alam. Di antaranya adalah keyakinan penyembah Matahari, Bintang, Bulan, penyembah api, penyembah pepohonan, gunung-gunung, dan lain sebagainya. Tanpa disadari, doktrin-doktrin keyakinan kuno ini meresap dalam pemahaman segelintir umat Islam dalam konsep keimanannya. Termasuk keimanan kepada Allah ta’ala
Ada di antara kita, yang menganggap Allah ta’ala adalah Tuhan yang bertempat di dalam Surga atau di alam akhirat atau di langit yang ke tujuh, di Sidratul Muntaha, atau berada di alam tinggi, di atas awan sana. Sebuah negeri dongeng jaman dahulu kala, yang tidak akan pernah anda temui ketika anda naik pesawat ruang angkasa sekalipun, baik dengan teknologi pesawat ruang angkasa pada masa kini maupun nanti. Karena itu, ada di antara umat Islam yang berpendapat, untuk bertemu Allah kita harus mengarungi jarak ke langit, ke luar angkasa sana. Termasuk ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Mi’raj. Beliau datang ke Sidratul Muntaha itu dipersepsi untuk bertemu Allah. Sebab, dalam persepsi mereka, Allah itu di langit, jauh dari kita.
Sungguh ini bukan konsep Al Qur’an. Ini bukan konsep Islam. Ini adalah konsep keyakinan pagan, karena di dalam Al Qur’an, Allah digambarkan sebagai Dzat Maha Besar yang tidak menempati ruang. Justru Dia meliputi ruang, sebesar apa pun ruang itu. Termasuk ruang alam semesta yang tidak diketahui tepinya hingga kini.
Termasuk ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melakukan Mi’raj, beliau bukan bertujuan untuk bertemu Allah di Sidratul Muntaha, karena Allah ta’ala memang bukan ‘tinggal’ di Sidratul Muntaha. Allah adalah Dzat yang digambarkan Al Qur’an ‘sangat dekat’ dengan kita. Bahkan lebih dekat daripada urat leher kita sendiri.
Allah ta’ala sendiri yang menyampaikan tentang diriNya bahwa “Aku adalah dekat”
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat“.( Al Baqarah [2]:186 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah [56]: 85 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [50] :16 )
“Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )
Di dalam berbagai ayat, justru Allah ta’ala digambarkan memenuhi seluruh ruang. Bahkan ruang itu sendiri tidak muat untuk mewadahi DzatNya yang Maha Besar.
Allah ta’ala berfirman dalam hadist Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a.: “Sesungguhnya langit dan bumi tidak akan/mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimanya.”
Kemana pun kita menghadap kita akan berhadapan dengan Dzat Allah itu.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS Al Baqarah [2]:115)
Salah satu kepahaman keyakinan pagan yang sangat melekat pada kepahaman segelintir umat Islam adalah tentang keberadaan surga. Kebanyakan kita mempersepsi surga sebagai suatu istana yang indah yang berada di atas langit dan jauh dari bumi. Sebagaimana konsep dewa-dewi dalam keyakinan pagan itu. Sampai-sampai ada juga yang berpendapat bahwa Allah ta’ala itu berada di surga. Yang ini adalah konsep keyakinan kaum Nasrani – berpendapat Tuhannya berada di Surga.
Pemahaman seperti kaum Nasrani tersebut pada hakikatnya dipengaruhi oleh kaum Yahudi yang mengaku sebagai “murid” Nabi Isa alaihi salam Kaum Yahudi yang hendak membunuh para Nabi termasuk Nabi Isa alaihi salam.
Kaum Yahudi yang pada saat ini dikenal sebagai kaum Zionis Yahudi adalah mereka yang mengikuti kembali keyakinan pada masa kerajaan Sulaiman , peninggalan mesir kuno yakni kitab thalmud sebuah kitab yang berasal dari para penyihir di zaman Mesir Kuno yang menganut ajaran Kaballah (menyembah Lucifer). Mereka berpaling dari kitab suci Taurat
Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah).” (QS Al Baqarah [2]: 101 )
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir).” (QS Al Baqarah [2]:102 )
al-Imam Abu Sa’id al-Mutawalli asy-Syafi’i (w 478 H) dalam kitab al-Ghunyah Fi Ushuliddin menuliskan sebagai berikut:
“Kaum Karramiyyah, Hasyawiyyah dan Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas. Bahkan sebagian dari kelompok-kelompok tersebut mengatakan bahwa Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy. Jelas mereka kaum yang sesat. Allah Maha Suci dari keyakinan kelompok-kelompok tersebut.
Dalil akal bahwa Allah Maha Suci dari tempat adalah karena apabila ia membutuhkan kepada tempat maka berarti tempat tersebut adalah qadim sebagaimana Allah Qadim. Atau sebaliknya, bila Allah membutuhkan tempat maka berarti Allah baharu sebagaimana tempat itu sendiri baharu. Dan kedua pendapat semacam ini adalah keyakinan kufur.
Kemudian bila Allah bertempat di atas arsy, seperti yang diyakini mereka, maka berarti tidak lepas dari tiga keadaan. Bisa sama besar dengan arsy, atau lebih kecil, dan atau lebih besar dari arsy. Dan semua pendapat semacam ini adalah kufur, karena telah menetapkan adanya ukuran, batasan dan bentuk bagi Allah.
Penjelasan ulama-ulama lainnya tentang kesalahpahaman-kesalahpahaman dalam i’tiqod telah dimuat dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/kesalahpahaman-itiqod/
Islam sebenarnya tidak pernah mengajarkan pemahaman seperti pemahaman kaum Nasrani. Akan tetapi, banyak di antara kita yang berpendapat bahwa untuk bisa bertemu Allah kita harus berada di surga. Selama masih di Bumi, pertemuan itu tidak akan pernah bisa terjadi.
Al Qur’an justru mengatakan kepada kita bahwa untuk bertemu Allah kita tidak perlu harus ke surga dulu. Semenjak hidup di dunia ini kita sudah bisa bertemu Allah dan melihatNya. Kemana pun kita menghadap kita akan bertemu dengan Allah kecuali memang manusia yang ingin berpaling dari Allah ta’ala
Di dalam shalat bertemu Allah. Di dalam dzikir bertemu Allah. Saat puasa bertemu Allah. Saat haji pun bertemu Allah. Bahkan dalam seluruh aktifitas kita sehari-hari kita bertemu Allah. Asalkan kita tahu caranya, seperti yang diajarkan oleh Al Qur’an, dan disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada kita.
Syaikh Ibnu Athoillah menyampaikan diawali dengan firman Allah Azza wa Jalla
وَهُوَ القَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الحَكِيْمُ الخَبِيْرُ
Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya
Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui (QS. Al-An’am 18)
الحَقُّ لَيْسَ بِمَحْجُوْبٍ وَإِنَّماَ المَحْجُوْبُ أَنْتَ عَنِ النَّظْرِ إِذْ لَوْحَجَبَهُ شَيْءٌ لَسَتَرَهُ ماَحَجَبَهُ وَلَوكاَنَ لَهُ ساَتِرٌ لَكاَنَ لِوُجُوْدِهِ حاَصِرٌ وَكُلُّ حاَصِرٍ
لِشَيْءٍ فَهُوَ لَهُ قاَهِرٌ
Allah tidak terhalang untuk dilihat, akan tetapi yang terhalang adalah anda untuk dapat melihat Allah, logikanya apabila Allah terhalang sesuatu untuk dilihat maka penghalang itu menutupi wujud Allah, apabila wujud Allah terhalang maka keberadaan Allah itu terbatas, dan setiap sesuatu yang terbatas niscaya ada sesuatu yang membatasi atau ada sesuatu yang menguasainya, ada yang menguasai Allah itu mustahil.
يَعْنِي أَنَّ الحِجاَبَ لاَ يَتَّصِفُ بِهِ الحَقُّ سُبْحاَنَهُ وَتَعاَلىَ ِلاسْتِحاَلَتِهِ فيِ حَقِّهِ
Yakni, bahwa penghalang tidak akan pernah terjadi menyertai Allah Subhanahu wa ta’ala Al-Haq Subhanallah, karena hal itu mustahil bagi Allah Subhanahu wa ta’ala.
وَإِنَّماَ المَحْجُوْبُ أَنْتَ أَيُّهاَ العَبْدُ بِصِفاَتِكَ النَّفْساَنِيَّةِ عَنِ النَّظْرِ إِلَيْهِ فَإِنْ رُمْتَ الوُصُوْلَ فاَبْحَثْ عَنْ عُيُوْبِ نَفْسِكَ وَعاَلَجَهاَ
Sesungguhnya yang terhalang adalah anda, hai kawan. Karena anda sebagai manusia menyandang sifat jasad, sehingga terhalang untuk dapat melihat Allah. Apabila anda ingin sampai melihat Allah, maka intropeksi ke dalam, lihatlah dahulu noda dan dosa yang terdapat pada diri anda, serta bangkitlah untuk mengobati dan memperbaikinya, karena itu-lah sebagai penghalang anda. Mengobatinya dengan bertaubat dari dosa serta memperbaikinya dengan tidak berbuat dosa dan giat melakukan kebaikan.
إِن الحِجاَبَ يَرْتَفِعُ عَنْكَ فَتَصِلُ إِلىَ النَّظْرِ إِلَيْهِ بِعَيْنِ بَصِيْرَتِكَ وَهُوَ مَقاَمُ الإِحْساَنِ الَّذِي يُعَبِرُوْنَ عَنْهُ بِمَقاَمِ المُشاَهَدَةِ
Pada akhirnya penghalang itu akan sirna, hilang dari anda sehingga sampai pada “Dapat Melihat Allah” dengan “Ain Bashiroh” (Pandangan mata hati) dan inilah yang disebut “Ihsan” yaitu beribadah kepada Allah seolah anda melihatNya, apabila anda tidak mampu melihatNya, sesungguhnya Allah melihat anda. Para Ulama Sufi menyebutnya Maqom Musyahadah artinya ruang kesakisan, “Aku besaksi tiada Tuhan selain Allah”.
Dari uraian syaikh Ibnu Athoillah di atas dapat kita simpulkan bahwa Manusia terhalang / terhijab melihat Rabb adalah karena dosa mereka. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati. Manusia melihat Rabb dengan penglihatan mata hati (ain bashiroh), melihat dengan hati nurani, cahaya hati atau lubuk hati yang paling dalam.
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Azza wa Jalla berfirman: ’Telah Kucipta seorang malaikat di dalam tubuh setiap anak keturunan Adam. Di dalam malaikat itu ada shadr. Di dalam shadr itu ada qalb. Di dalam qalb itu ada fu`aad. Di dalam fu`aad itu ada syagf. Di dalam syagf itu ada lubb. Di dalam lubb itu ada sirr. Dan di dalam sirr itu ada Aku.’
Hadits qudsi inilah yang menerangkan “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu’ , Siapa yang kenal kenal dirinya akan Mengenal Allah
Firman Allah Taala yang artinya
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri (QS. Fush Shilat [41]:53 )
Menurut Imam Sayyidina Ali r.a. qalb mempunyai lima nama,
Pertama, disebut shadr, karena ia merupakan tempat terbitnya cahaya Islam (nuuru-l-islaam). Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
‘Adakah sama dengan mereka yang dibukakan shadrnya untuk Islam…. (QS 39:22)’.
Kedua, disebut qalb, karena ia merupakan tempat terbitnya keimanan. Hal ini sebagaiamana firman-Nya,
‘Mereka itulah yang ditulis dalam hatinya terdapat keimanan. (QS 58:22)’
Ketiga disebut fu’aad karena ia merupakan tempat terbitnya ma’rifah. Hal ini sebagaimana Firman Allah Swt,
‘Fu’aad tidak pernah mendustai apa-apa yang dilihatnya’ (QS 53:11).
Keempat disebut lubb, karena ia merupakan tempat terbitnya tauhid. Hal ini sebagaimana firman-Nya,
‘Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang adalah ayat-ayat bagi ulil albaab (sang pemilik lubb)’ (QS 3:190).
Kelima, disebut syagf, karena it merupakan tempat terbitnya rasa saling menyayangi dan mencintai sesama makhluk. Hal ini sebagaimana firman-Nya,
’Sungguh ia (Zulaikha) telah dikuasai oleh rasa cinta yang membara….’ (QS 12:30)
Selain nama-nama yang telah disebutkan, hati pun disebut juga dengan nama habbah al-quluub. Disebut demikian, karena ia merupakan tempat terbitnya cahaya, sebagaimana yang diterangkan Allah dalam hadis qudsi-Nya, ’Tiada yang sanggup menampung-Ku, baik bumi maupun langit-Ku. Hanya hati hamba-Ku yang Mukmin yang dapat menampung-Ku.’
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)“. (QS Al Isra [17]: 72 )
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS Al Hajj [22]:46 )
Wasalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Mereka bersikukuh dengan kesalahpahaman bahwa Allah Azza wa Jalla bertempat di atas ‘Arsy dan turun ke langit dunia pada setiap malam, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir ada kaitannya dengan mereka salah memahami dalil-dalil tentang keadaan di akhirat/surga nanti seperti
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Bapakku dari Ibnu Syihab dari Atha’ bin Yazid al-Laitsi bahwa Abu Hurairah mengabarkan kepadanya, bahwa manusia berkata, Wahai Rasulullah! Apakah kami (bisa) melihat Rabb kami pada Hari Kiamat? Beliau pun balik bertanya: Apakah kalian akan kesulitan ketika melihat bulan di malam purnama yang tidak ada awan? Mereka menjawab, Tidak wahai Rasulullah. Beliau bertanya lagi: Apakah kalian akan kesulitan ketika melihat matahari di siang hari yang terang tanpa awan di bawahnya? Mereka menjawab, Tidak wahai Rasulullah. Lalu beliau bersabda: Sesungguhnya kalian bisa melihatNya seperti itu juga. (HR Muslim 267) Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=2&ayatno=259&action=display&option=com_muslim
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dari Jarir dari Ismail dari Qais bin Abu Hazim dari Jarir bin Abdullah dia berkata; Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di malam hari ke empat belas, beliau melihat bulan, kemudian bersabda: Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini. Kalian tidak akan kesulitan ketika melihatnya. (HR Bukhari 4473). Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=45&ayatno=360&action=display&option=com_bukhari
Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Musa telah menceritakan kepada kami ‘Ashim bin Yusuf Al Yarbu’i telah menceritakan kepada kami Abu Syihab dari Ismail bin Abu Khalid dari Qais bin Abu Hazim dari Jarir bin Abdullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kalian akan melihat Rabb kalian dengan mata telanjang.” (HR Bukhari 6883) Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=77&ayatno=61&action=display&option=com_bukhari
Mereka berkeyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla bertempat di atas ‘Arsy dan manusia kelak di akhirat nanti dapat melihat Rabb dengan mata kepala sebagaimana pemahaman mereka terhadap contoh ketiga dalil di atas bahwa manusia ketika itu melihat Rabb “dengan mata telanjang”, melihat Rabb sebagaimana “melihat bulan di saat purnama dan tidak berawan, tidak ada sesuatupun yang menghalangi penglihatan”
Proses melihat terjadi ketika cahaya dipantulkan dari sebuah benda melewati lensa mata dan menimbulkan bayangan terbalik di retina yang berada di belakang otak. Setelah melewati proses kimiawi yang ditimbulkan oleh sel-sel kerucut dan batang retina, penglihatan ini pun berubah menjadi implus listrik. Implus ini kemudian dikirim melalui sambungan di dalam sistem syaraf ke belakang otak. Kemudian otak menerjemahkan aliran ini menjadi sebuah penglihatan tiga dimensi yang penuh makna. Kita perhatikan bahwa “proses melihat terjadi ketika cahaya dipantulkan dari sebuah benda” dan Allah Azza wa Jalla bukanlah benda !
Sampai kapan pun manusia tidak akan melihat Rabb dengan kasat mata (mata kepala) yang terproyeksikan / tergambarkan ke dalam benak (otak) nya karena Allah Azza wa Jalla tidak serupa dengan apapun yang terproyeksikan / tergambarkan dalam benak (otak) manusia. “Allah laysa kamitslihi syai’un”, “Allah tidak sama dengan segala sesuatu” (QS Assyura [42]:11)
Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Dzu an-Nun al Mishri (W. 245 H) salah seorang murid terkemuka al Imam Malik menuturkan kaidah yang sangat bermanfaat dalam ilmu Tauhid: Maknanya: “Apapun yang terlintas (tergambarkan) dalam benak (otak) kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu“.
Perkataan ini dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al Fadll at-Tamimi dalam kitabnya I’tiqad al Imam al Mubajjal Ahmad ibn Hanbal dan diriwayatkan dari Dzu an-Nun al Mishri oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Dan ini adalah kaidah yang merupakan Ijma’ (konsensus) para ulama. Karena tidaklah dapat dibayangkan kecuali yang bergambar. Dan Allah adalah pencipta segala gambar dan bentuk, maka Ia tidak ada yang menyerupai-Nya.
Al Imam Asy-Syafi’i berkata: “Barang siapa yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya (Allah) hingga meyakini bahwa yang ia bayangkan dalam benak (otak) nya adalah Allah, maka dia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), kafir.”
Firman Allah ta’ala menegaskan bahwa, yang artinya
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (QS Al An’am [6]:103)
Allah ta’ala dapat dilihat dengan ruhani (ruhNya) yakni dengan hati
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”
Rasulullah bersabda: “Kalian tidak akan pernah melihat Rabb kalian hingga kalian mati.” [Abu Dawud no. 4320, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (Dhilaalul-Jannah) no. 428, dan Al-Laalika’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 848.]
Setiap manusia dapat melihat Rabb di dunia dan akhirat setelah mencapai kematian.
Apakah yang dimaksud dengan manusia masih di dunia namun mencapai kematian ?
Hal ini terkait dengan perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang lain yakni, “Muutu qabla an tamuutu”, “matilah sebelum mati”. Kita dapat mencapai kematian ketika di dunia adalah keadaan dimana ruhani (ruhNya) dapat sepenuhnya mengatasi jasmani. Ruhani yang terbebas dari jasmani , terbebas dari kukungan hawa nafsu. Hakikat mati adalah terbebasnya ruhani (ruhNya) dari jasmani atau jasad.
Mereka yang memperturutkan hawa nafsu adalah mereka yang berpaling dari Allah Azza wa Jalla atau mereka yang tidak melihat Rabb. Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26 )
“Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya” (QS An Nisaa’ [4]:27)
Satu-satunya cara agar kita dapat sampai (wushul) di hadapan Allah Azza wa Jalla dan melihatNya adalah dengan dzikrullah (mengingat Allah).
Sholat adalah dzikrullah (mengingat Allah) yang utama
Dengan sholat atau dzikrullah kita mi’raj ke hadapan Allah Azza wa Jalla
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda, bahwa Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin, “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. Yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah. “Naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu” yang dimakasud “mati”
Sholat , Puasa, Zakat dan dzikrullah lainnya yang menghantarkan (mi’raj) hingga sampai (wushul) ke hadhirat Allah Azza wa Jalla dan melihat Rabb. Puasa adalah latihan mengendalikan hawa nafsu , latihan ruhani “melepaskan” dari jasmani . Dengan puasa menghantarkan (mi’raj) hingga sampai (wushul) ke hadhirat Allah Azza wa Jalla dan melihat Rabb atau bertemu Tuhan.
“Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari).
Manusia terhalang / terhijab melihat Rabb adalah karena dosa mereka. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Mereka yang telah mencapai surga, seluruh dosa mereka sudah “diangkat” atau hijab untuk terhalang melihat Allah sudah “diangkat” sehingga mereka melihat Rabb.
Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Maisarah dia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Tsabit al-Bunani dari Abdurrahman bin Abu Laila dari Shuhaib dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Bila penduduk surga telah masuk ke surga, maka Allah berfirman: ‘Apakah kalian ingin sesuatu yang perlu Aku tambahkan kepada kalian? ‘ Mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau telah membuat wajah-wajah kami putih? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka? ‘ Beliau bersabda: Lalu Allah membukakan hijab pembatas, lalu tidak ada satu pun yang dianugerahkan kepada mereka yang lebih dicintai daripada anugrah (dapat) memandang Rabb mereka. (HR Muslim 266)
Kenapa melihat Rabb di dunia berbeda dengan ketika di akhirat yang dikiaskan seperti “melihat bulan di kala purnama yang tidak ada awan” atau “melihat dengan mata telanjang” yang maknanya melihat jelas tidak terhalang atau melihat tanpa kesulitan.
Sebagaimana yang kami sampaikan sebelumnya bahwa terhalang manusia melihat Rabb adalah karena dosa. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah. Manusia ketika di dunia tidak ada satupun yag luput dari dosa kecuali yang dikehendaki Allah. Mereka yang dikehendaki Allah itulah yang dapat melihat Rabb.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya”. (QS An Nuur 24:21)
Rasulullah bersabda yang artinya “Setiap anak Adam (manusia) mempunyai salah (dosa), dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang bertaubat.” [HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah]
Bagaimana cara kita memperoleh kurnia Allah dan rahmatNya sehingga termasuk manusia yang dikehendakiNya terbebas dari dosa sehingga tidak terhalang melihat Rabb ?
Sebagaimana yang kami sampaikan di atas, satu-satunya cara agar kita dapat sampai di hadapan Allah Azza wa Jalla dan melihatNya adalah dengan dzikrullah (mengingat Allah). Kita harus mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring yakni mencapai muslim yang ihsan atau muslim yang baik, muslim yang sholeh atau muslim yang berakhlak baik. Muslim yang berakhlak baik terhadap Allah Azza wa Jalla dan terhadap ciptaanNya yang lain. Muslim yang bersikap dan berbuat sesuai dengan cahayaNya atau petunjukNya. Sikap dan perbuatan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits. Jika mereka mereka akan mengambil sikap atau akan berbuat mereka mengembalikan kepada Allah ta’ala , mengembalikan kepada hati (jiwa) mereka yang telah diilhamkan oleh Allah Azza wa Jalla pilihan yang haq atau bathil dan mereka selalu mengikuti cahayaNya atau petunjukNya untuk selalu mememilih yang haq , jalan ketakwaan.
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan ” (pilihan haq atau bathil)(QS Al Balad [90]:10 )
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS As Syams [91]:8 ).
Hakikat manusia dengan pilihan telah kami uraikan dalam tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/03/05/hakikat-manusia/
Langkah-langkah dalam memperbaiki akhlak adalah membersihkan hati (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) yang selanjutnya beroleh kenyataan Tuhan (TAJALLI) atau melihat Rabb. Para Ulama Sufi menyebutnya maqom musyahadah artinya ruang kesakisan. Inilah keadaan bukan sekedar mengucapkan namun sebenar-benarnya menyaksikan bahwa, “tiada Tuhan selain Allah”. Mereka juga telah mencapai kasyaf (mukasyafah), terbukanya hijab atau tabir pemisah antara hamba dan Tuhan. Allah membukakan tabir bagi kekasih-Nya untuk melihat, mendengar, merasakan, dan mengetahui hal-hal ghaib.
Kata ghoib, menurut beberapa kamus arab, seperti lisaanul arab berasal dari kata ghoba (tidak tampak, tidak hadir) kebalikan dari kata hadhoro atau dhoharo (hadir atau nampak). Ghaib adalah sesuatu yang tidak tampak dengan panca indera seperti mata kita atau sesuatu yang tidak tampak secara kasat mata.
Rasulullah tentulah manusia yang paling utama dan mengetahui hal-hal ghaib. Firman Allah ta’ala yang artinya, “Tuhan Maha Mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak akan membukakan kegaibannya itu kepada seorang pun, kecuali kepada Rasul yang di kehendaki”. (QS. Al Jin [72]: 26-27)
Beliau ditampakkan keadaan para Nabi yang secara dzahir telah wafat.
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Laits. (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh telah mengabarkan kepada kami al-Laits dari Abu az-Zubair dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ditampakkan kepadaku para nabi, ternyata Musa adalah salah satu jenis laki-laki seperti laki-laki bani Syanu’ah, dan aku melihat Isa bin Maryam Alaihissalam, ternyata dia mirip dengan orang yang telah aku lihat memiliki kemiripan dengannya, Urwah bin Mas’ud. Dan aku melihat Ibrahim Alaihissalam, ternyata dia mirip dengan orang yang aku lihat memiliki kemiripan dengannya, yaitu sahabat kalian (maksudnya beliau sendiri). Dan aku melihat Jibril Alaihissalam, ternyata dia mirip dengan orang yang pernah aku lihat memiliki kemiripan dengannya, yaitu Dahyah. (HR Muslim 244) Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=2&ayatno=236&action=display&option=com_muslim
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengetahui berita tentang para sahabat. Kemudian beliau berdiri dan berpidato: ‘Ketahuilah bahwa sesungguhnya surga dan neraka itu telah ditampakkan kepadaku. Aku tidak pernah melihat kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Seandainya kalian dapat mengetahui apa yang aku ketahui, maka kalian pasti akan sedikit tertawa dan banyak menangis.’ (HR Muslim 4351) Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=44&ayatno=131&action=display&option=com_muslim
Para Imam Mazhab yang empat pun telah mengetahui hal-hal yang ghaib (tidak tampak)
Imam Malik ra pernah berkata, “Roh manusia itu sama saja bentuknya dengan jasad lahirnya.”
Bagi mereka yang kasyaf dapat melihat perjalanan bentuk ruh. Bentuk ruh tidak langsung sama dengan bentuk jasad lahirnya (manusia) namun tergantung perjalananan ruhaninya. Mereka yang memperturutkan hawa nafsu atau sifat binatang maka bentuk ruhnya akan seperti binatang. Mereka yang kasyaf dapat melihat ruh atau hati atau sirr al ghaib (rahasia/gerbang ghaib) manusia. Namun kasyaf atau melihat bukannya tanpa batas. Batasannya adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Allah Azza wa Jalla dalam firmanNya yang artinya
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS Luqman [31]:34)
Buya Hamka pun sudah dapat melihat “diri” nya yang terdiri dari jasmani dan ruhani. Buya Hamka yang kita kenal sangat berkompetensi dalam bidang syariat dan selalu berpegang pada dalil/hujjah yang tarjih (kuat) sebagaiman motto dari saudara-saudara kita kaum Muhammadiyah namun setelah menjalankan tharekat sudah dapat menyampaikan bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi “hampa” sebagaimana terurai dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/08/28/hampa/
Mereka yang kasyaf atau melihat Rabb adalah mereka yang dicintai Allah dan tertingginya/terbaiknya adalah menjadi wali Allah sebagaimana yang terurai dalam hadits qudsi
Dari Abu Huriroh rodhi Allahu ta’ala ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah ta’ala berfirman, barang siapa memusuhi wali-Ku maka aku izinkan untuk diperangi. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amal ibadah yang lebih aku cintai dari pada perkara yang Aku wajibkan. Hamba-Ku akan senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, Akulah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Akulah penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, Akulah kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku akan Aku berikan, jika dia meminta perlindungan pada-Ku, akan Aku lindungi.” (HR. Bukhari)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda: Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : Sesungguhnya para-wali-Ku itu dari hamba-Ku dan kesayangan-Ku dari hamba-Ku, yaitu orang-orang yang berdzikir dengan menyebut-Ku, dan Aku berdzikir dengan menyebut mereka.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda: “Maukah kalian saya beritahu orang yang terbaik di antara kalian?” mereka menjawab: “mau wahai Rasulullah” beliau bersabda: “ yaitu orang-orang yang bila kalian melihatnya, mereka itu selalu berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”
Mereka yang melihat Rabb adalah mereka yang selalu berdzikir (mengingat Allah), mereka yang bersikap dan berbuat selalu mengingat Allah (dzikrullah), mereka yang bersikap dan berbuat sesuai dengan cahayaNya atau petunjukNya. Mereka adalah kekasih Allah dan terbaiknya adalah menjadi wali Allah
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam: Sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Swt seorang dari shahabatnya berkata, siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka. Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya: Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
“Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.”Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Yunus [10]:62 )
Mereka tidak khawatir dan dan tidak (pula) mereka bersedih hati karena mereka melihat Rabb mereka hanya takut kepada Allah. Mereka yang ihsan. Mereka yang baik. Mereka yang sholeh.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11) Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=2&ayatno=3&action=display&option=com_muslim
Sekali lagi kami mengingatkan baik bagi diri kami pribadi maupun sudara-saudara muslim kami pada umumnya bahwa indikator pengikut Rasulullah atau indikator telah beragama dengan baik adalah berakhlak baik karena tujuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus Allah ta’ala adalah menjadikan muslim yang sholeh, muslim yang ihsan.
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Jadi dustalah mereka yang mengaku ittiba’ li rasulih atau mengikuti Salafush Sholeh namun mereka tidak berakhlak baik seperti mencela, menghujat, memperolok-olok saudara muslim sendiri.
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).
Mereka yang mencela saudara muslim sendiri adalah mereka yang tidak melihat Rabb atau minimal mereka tidak meyakini bahwa Allah ta’ala melihat perbuatan mereka. Mereka yang berpaling dari jalan Allah ta’ala karena mereka memperturutkan hawa nafsunya
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya “…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26 )
Wassalam
Sidrat al-Muntahā (bahasa Arab: سدرة المنتهى , Sidratul Muntaha) adalah sebuah pohon bidara yang menandai akhir dari langit/Surga ke tujuh, sebuah batas dimana makhluk tidak dapat melewatinya, menurut kepercayaan Islam. Dalam kepercayaan ajaran lain ada pula semacam kisah tentang Sidrat al-Muntahā, yang disebut sebagai “Pohon Kehidupan”.
Pada tanggal 27 Rajab selama Isra Mi’raj, hanya Muhammad yang bisa memasuki Sidrat al-Muntaha dan dalam perjalanan tersebut, Muhammad ditemani oleh Malaikat Jibril, dimana Allah memberikan perintah untuk Salat 5 waktu.
Dalam Agama Baha’i Sidrat al-Muntahā biasa disebut dengan “Sadratu’l-Muntahá” adalah sebuah kiasan untuk penjelmaan Tuhan.
Daftar isi
- 1 Etimologi
- 2 Wujud Sidrat al-Muntahā
- 3 Peristiwa di Sidratul Muntaha bagi Muhammad
- 4 Lihat pula
- 5 Referensi
- 6 Pranala luar
Etimologi
Sidrat al-Muntahā berasal dari kata sidrah dan muntaha. Sidrah adalah pohon Bidara, sedangkan muntaha berarti tempat berkesudahan, sebagaimana kata ini dipakai dalam ayat berikut:
“ | Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu). (An-Najm, 53:41-42) | ” |
Dengan demikian, secara bahasa Sidratul Muntaha berarti pohon Bidara tempat berkesudahan. Disebut demikian karena tempat ini tidak bisa dilewati lebih jauh lagi oleh manusia dan merupakan tempat diputuskannya segala urusan yang naik dari dunia di bawahnya maupun segala perkara yang turun dari atasnya. Istilah ini disebutkan sekali dalam Al-Qur’an, yaitu pada ayat:
“ | …(yaitu) di Sidratil Muntaha. (An-Najm, 53:14) | ” |
Wujud Sidrat al-Muntahā
Sidratul Muntaha digambarkan sebagai Pohon Bidara yang sangat besar, tumbuh mulai Langit Keenam hingga Langit Ketujuh. Dedaunannya sebesar telinga gajah dan buah-buahannya seperti bejana batu.[1]
Menurut Kitab As-Suluk, Sidrat al-Muntahā adalah sebuah pohon yang terdapat di bawah ‘Arsy, pohon tersebut memiliki daun yang sama banyaknya dengan sejumlah makhluk ciptaan Allah.[2]
Allah berfirman dalam surah An-Najm 16,
“ | Ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya (an-Najm, 53: 16) | ” |
Dikatakan bahwa yang menyelimutinya adalah permadani yang terbuat dari emas.
Jika Allah memutuskan sesuatu, maka “bersemilah” Sidratul Muntaha sehingga diliputi oleh sesuatu, yang menurut penafsiran Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu adalah “permadani emas”. Deskripsi tentang Sidratul Muntaha dalam hadits-hadits tentang Isra Mi’raj tersebut menurut sebagian ulama hanyalah berupa gambaran (metafora) sebatas yang dapat diungkapkan kata-kata.
Peristiwa di Sidratul Muntaha bagi Muhammad
Ketika Mi’raj, di sini Muhammad melihat banyak hal, seperti:
Melihat bentuk asli Malaikat Jibril
Dikatakan bahwa Muhammad telah melihat wujud asli dari Malaikat Jibril yang memiliki sayap sebanyak 600 sayap.[3]
“ | …dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (An-Najm 53:13) | ” |
Melihat cahaya Tuhan
Dikatakan pula bahwa Muhammad telah melihat Allah yang berupa cahaya atau hanya tertutup dengan cahaya.[4][5][6]
Untuk hal ini terdapat beda pendapat di kalangan ulama, apakah Nabi Muhammad pernah melihat Tuhannya? Jika pernah apakah beliau melihat-Nya dengan mata kepala atau mata hati? Masing-masing memiliki argumennya sendiri-sendiri. Di antara yang berpendapat bahwa beliau pernah melihat-Nya dengan mata hati antara lain al-Baihaqi, al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, dan Syaikh al-Albani dalam tahqiqnya terhadap Syarah Aqidah ath-Thahawiyah. Salah satu argumentasi mereka adalah hadits yang telah dikutip di atas. Jadi menurut riwayat yang shahih adalah Nabi Muhammad lihat hanyalah cahaya yang menghalangi antara dirinya dengan Allah.
Mendapatkan Perintah Salat
Di Sidratul Muntaha ini Nabi Muhammad mendapatkan perintah salat 5 waktu. Perintah melaksanakan salat tersebut pada awalnya adalah 50 kali setiap harinya, akan tetapi karena pertimbangan dan saran Nabi Musa serta permohonan Nabi Muhammad sendiri, serta kasih dan sayang Allah, jumlahnya menjadi hanya 5 kali saja. Di antara hadits mengenai hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.[7]
Dari Abdullah (bin Mas’ud), ia telah berkata: “Ketika Rasulullah diisrakan, beliau berakhir di Sidratul Muntaha (yang bermula) di langit keenam. Ke sanalah berakhir apa-apa yang naik dari bumi, lalu diputuskan di sana. Dan ke sana berakhir apa-apa yang turun dari atasnya, lalu diputuskan di sana.”
Ia berkata: “Kemudian Rasulullah diberi tiga hal: Diberi salat lima waktu dan diberi penutup Surah al-Baqarah serta diampuni dosa-dosa besar bagi siapapun dari umatnya yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun”.[8]
Lihat pula
Referensi
- ^ Dari Anas bin Malik, dari Malik bin Sha’sha’ah, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Diapun menyebutkan hadits Mi’raj, dan di dalamnya: “Kemudian aku dinaikkan ke Sidratul Muntaha”. Lalu Nabiyullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengisahkan: “Bahwasanya daunnya seperti telinga gajah dan bahwa buahnya seperti bejana batu”. Hadits telah dikeluarkan dalam ash-Shahihain dari hadits Ibnu Abi Arubah. Hadits riwayat al-Baihaqi (1304). Asal hadits ini ada pada riwayat al-Bukhari (3207) dan Muslim (164).
- ^ Kabil Akbar katanya: “Allah SWT telah menciptakan sebuah pohon di bawah Arsy yang mana daunnya sama banyak dengan bilangan makhluk yang Allah ciptakan. Jika seseorang itu telah diputuskan ajalnya, maka umurnya tinggal 40 hari dari hari yang diputuskan. Maka jatuhlah daun itu kepada Malaikat Maut, tahulah bahwa dia telah diperintahkan untuk mencabut nyawa orang yang tertulis pada daun tersebut.
- ^ Asy-Syaibani berkata: Aku menanyai Zirr bin Hubaisy tentang firman Allah {maka jadilah dia dekat dua ujung busur panah atau lebih dekat (an-Najm, 53: 9)}. Dia menjawab: “Telah mengabariku Ibnu Mas’ud bahwasanya Nabi telah melihat (bentuk asli) Jibril. Ia memiliki enam ratus sayap.” Hadits riwayat Muslim (174), Kitab Iman, Bab tentang Penyebutan Sidratul Muntaha.
- ^ Dari Abu Dzar, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah: “Apakah paduka melihat Tuhan paduka?”. Ia menjawab: “Hanya cahaya. Bagaimana mungkin aku dapat melihat Allah?” Hadits riwayat Muslim (178.1), Kitab al-Iman, Bab Tentang Sabdanya “Bahwasanya aku melihat-Nya sebagai cahaya” dan Tentang Sabdanya “Aku telah melihat cahaya”.
- ^ Dari Abdullah bin Syaqiq, ia telah bersabda: Aku bertanya kepada Abu Dzar: “Seandainya aku melihat Rasulullah, pasti aku akan menanyainya.” Lantas dia berkata: “Tentang sesuatu apa?” Aku akan menanyainya: “Apakah baginda melihat Tuhan baginda?” Abu Dzar berkata: “Aku telah menanyainya, kemudian beliau jawab: ‘Aku telah melihat cahaya’.” Hadits riwayat Muslim (178.2), Kitab al-Iman, Bab Tentang Sabdanya “Bahwasanya aku melihat-Nya sebagai cahaya” dan Tentang Sabdanya “Aku telah melihat cahaya”.
- ^ Syarh Nawawi tahqiq Khalil Ma’mun Syiha III/15 no.442 dan juga no. 443
- ^ Dari Ibnu Abbas, ia telah berkata: “Nabi kalian diperintah lima puluh kali salat (sehari semalam), kemudian beliau meminta keringanan Tuhan kalian agar menjadikannya lima kali salat.” Hadits riwayat Ibnu Majah (1400) dengan redaksi di atas, dan Ahmad (2884). Menurut al-Albani, hadits ini hasan lighairih.
- ^ HR Muslim (173) dengan redaksi di atas, at-Tirmidzi (3276), an-Nasai (451), dan Ahmad (3656 & 4001).
- KAMU DIANJURKAN KETIKA HIDUP KINI SUPAYA MEMPERHATIKAN CIPTAAN-NYA DAN AKAN DIPERLIHATKAN KEPADA KAMU DI AKHIRAT KELAK AKAN KESEMPURNAAN ZAT-NYA.
- ALLAH S.W.T MENGETAHUI AKAN KEADAAN KAMU YANG TIDAK SABAR MERINDUI UNTUK MELIHAT-NYA, MAKA DIPERLIHATKAN KEPADA KAMU KEASLIAN CIPTAAN-NYA.
- Hamba Allah s.w.t yang sampai kepada makam makrifat akan berhadapan dengan suasana kehairan-hairanan, di mana segala pertunjukan hilang, segala isyarat lenyap dan segala bahasa menjadi kelu. Allah s.w.t tidak dapat dilihat, tidak dapat diisyaratkan dan tidak dapat dibahasakan. Itulah zat Ilahiat Yang Maha Tinggi, tidak dapat disentuh oleh pandangan, ilmu atau makrifat. Para hamba yang mencintai-Nya akan menderita merindui-Nya. Walau bagaimana pun kerinduan namun, tidak ada cara untuk melihat Zat-Nya Yang Maha Sempurna. Tinggallah hamba dengan hatinya terbakar merindui Kekasih Yang Maha Tinggi, Maha Sempurna, tidak berkuasa dia mencapai-Nya. Hamba yang dalam keadaan begini terpisah jauh dari alam dan isinya. Hatinya kosong dari sekalian makhluk. Pandangannya tidak terlekat pada apa yang dipandang. Dia berada dalam satu suasana ‘di luar’ dari segala sesuatu. Dia berada pada zaman sebelum alam diciptakan, zaman yang tidak ada waktu dan masa, bahkan zaman itu sendiri tidak ada. Hatinya dikuasai oleh keabadian kerana sifat kemakhlukannya sudah hilang. Dia memandang kepada Qadak dan tidak terlihat lagi Qadar. Dia lupa kepada dirinya dan tidak tahu apakah zat dirinya. Dia merasakan telah memasuki satu alam ghaib dan terus menerus ghaib, maha ghaib sehingga dirinya hilang dalam keghaiban itu, bahkan ghaib itu juga hilang. Dirinya tidak boleh ditemui lagi dan dia tidak mengetahui siapakah dirinya yang berdiri di atas muka bumi. Banyak lagi perasaan yang menyelimuti hati seseorang tatkala berada dalam suasana kehairan-hairanan.
- Jika seseorang pernah merindui seorang gadis yang sangat dicintainya, ketahuilah bahawa kerinduan terhadap Allah s.w.t yang dicintai lebih hebat lagi membakar hati. Orang boleh berdiri tegak selama satu minggu tanpa berkelip matanya lantaran tidak tahan merindui Allah s.w.t, Kekasih sejati. Orang yang sedang merindui Allah s.w.t boleh masuk ke dalam api tanpa terbakar bulu romanya, boleh masuk ke dalam laut tanpa tenggelam. Peringkat ini dinamakan peringkat bahaya, kerana orang ramai yang memahami dan bersimpati dengan pemuda yang menderita kerana merindui gadis yang dicintainya, tidak mengerti rindu-dendam hati yang merindui Allah s.w.t. Tidak ada makhluk yang boleh mengubati hatinya. Tidak ada air yang boleh menghilangkan dahaganya. Kecintaan dan kerinduan yang melanda hatinya membebaskannya dari sekalian yang maujud, mengganggu hubungan kekeluargaan dan kemasyarakatan. Banyak terjadi fitnah terhadap dirinya. Jika dia berlarutan dalam keadaan begitu dia akan terpisah dari menjadi penduduk bumi dan tidak juga menjadi penduduk langit. Dia tidak memikul beban penduduk bumi dan tidak pula memikul beban penduduk langit. Penduduk bumi tenggelam dalam kerakusan terhadap perhiasan dunia dan memperhambakan diri kepada hawa nafsu. Penduduk langit asyik dengan memuji dan memuja Allah s.w.t, berzikir dan membesarkan Nama-Nya. Para pencinta Allah s.w.t bebas dari kedua-duanya dan dia masuk ke dalam makam Sir (Rahsia), rahsia antara Tuhan dengan hamba-Nya. Si hamba menjadi hamba Tuhan secara mutlak iaitu secara awal, akhir, zahir dan batin. Dia menanti warna celupan yang Allah s.w.t akan pakaikan kepadanya. Apabila Allah s.w.t telah mewarnai dirinya mengikut kehendak-Nya sendiri, si hamba itu dikembalikan kepada keinsanannya, menjadi hamba Rabbani yang pekerjaannya hanyalah menjalankan perintah Allah s.w.t yang mengenai dirinya dan juga orang lain. Hamba Rabbani melaksanakan perintah Allah s.w.t tanpa bertangguh dan tanpa timbang-tara. Setiap hukum dijalankan dengan tepat.
- Hamba yang kembali kepada keinsanan memiliki semula kesedaran individunya. Dia menyedari dirinya dan makhluk lainnya. Dia kembali memerhatikan alam dan isinya. Kali ini dia melihat ciptaan Tuhan dalam keadaannya yang asli. Pandangannya tidak lagi tertipu oleh kesan ‘adam terhadap alam. Apabila kesan ‘adam telah terhapus dari pandangan dapatlah dia melihat bahawa Allah s.w.t meliputi sekalian kejadian-Nya. Ke mana pun dihalakan pandangan di situlah Wajah Allah s.w.t. Dia melihat ketuhanan Allah s.w.t dalam segala perkara. Ini membuat hatinya terubat dan dia merasai kedamaian sekalipun tidak melihat Zat Allah s.w.t Yang Maha Sempurna. Alam maya ini menjadi kitab yang nyata (kitabul mubin) untuknya berhubung dengan Allah s.w.t, menjadi cermin yang memanjangkan bayangan Tuhan kepada hatinya. Dia tidak lagi tertanya-tanya di manakah Allah s.w.t kerana Dia tidak pernah berpisah darinya dan juga tidak berpisah dengan kejadian-Nya yang lain. Terlepaslah dia dari kekacauan kalbu yang dihadapi oleh ahli ibadat dan ahli zuhud yang diceritakan oleh Hikmat 125 yang lepas. Makam keteguhan ini adalah makam Sir (Rahsia hati) dan makam Sir inilah yang memperolehi sembahyang berkekalan (salat daim) kerana Sir tidak pernah berhenti dan tidak pernah berpaling dari menghadap Allah s.w.t. Makam ini hanya disediakan kepada hamba pilihan yang telah membuang segala kepentingan diri sendiri, reda dengan Allah s.w.t dan menjual dirinya kepada Allah s.w.t dengan harga sabar, reda, tawakal dan ikhlas. Allah s.w.t memakaikan kepadanya pakaian hamba kepada Maharaja sekalian kerajaan!
MENGAKTIFKAN INDERA KEENAM UNTUK MELIHAT ALLAH SWT
Dan barang siapa di dunia ini buta hatinya, maka di akhirat nanti juga akan buta, dan lebih sesat lagi jalannya.
(QS. Al-Israa’ [17]: 72)
Mendengar kata ‘indera keenam’ pasti yang terbayang dalam benak kita adalah orang-orang sakti yang memiliki ilmu kanuragan tinggi, sakti mandraguna, bisa melihat apa yang orang lain tidak bisa lihat, dan bisa merasakan apa yang orang lain tidak rasakan. Manusia sebenarnya memiliki enam indera. Namun yang kita tahu selama ini hanyalah lima indera saja atau yang biasa disebut ‘panca indera’. Fungsi dan mekanisme kerja indera keenam dan panca indera sangat berbeda.
Panca indera terdiri dari mata, telinga, hidung, lidah dan kulit. Mata, digunakan untuk melihat. Hanya dapat melihat sesuatu apabila ada cahaya. Secara fisika, benda dapat kita lihat karena benda tersebut memantulkan cahaya ke mata kita. Jika tidak ada pantulan cahaya, meskipun di depan kita ada suatu benda, benda tersebut tidak akan bisa kita lihat. Misalnya dalam kegelapan, kita bahkan tidak akan mampu melihat tangan kita sendiri. Maka bersyukurlah kepada Allah SWT karena diberikannya sinar atau cahaya.
Indera penglihatan ini memiliki keterbatasan. Ia hanya mampu melihat jika ada pantulan cahaya pada frekuensi 10 pangkat 14 Hz. Mata tidak bisa melihat benda yang terlalu jauh. Tidak bisa melihat benda yang terlampau kecil seperti sel-sel ataupun bakteri. Tidak bisa melihat benda yang ada dibalik tembok. Bahkan mata kita sering ‘tertipu’ dengan berbagai kejadian. Misalnya pada siang hari yang terik, dari kejauhan terlihat air yang mengeluarkan uap di atas jalan beraspal. Namun apabila kita mendekat ternyata yang kita lihat tidak benar adanya. Ini yang kita sebut fatamorgana. Tipuan lain adalah pembiasan benda lurus dalam air, sehingga benda tersebut kelihatan bengkok. Bintang yang kita lihat di langit sangat kecil ternyata sungguh sangat besar, dan lebih besar dari bumi yang kita tempati.
Penglihatan oleh mata kita sangat kondisional, seringkali tidak ‘menceritakan’ keadaan yang sesungguhnya pada otak kita. Bukti-bukti di atas memberikan gambaran bahwa indera mata kita mengalami distorsi alias penyimpangan yang sangat besar. Namun, mata inilah yang kita gunakan untuk melihat dan memahami dunia nyata yang ada di luar diri kita. Matapun tidak bisa melihat apa yang ada dalam diri kita dan yang ada dalam diri orang lain. Apa yang orang lain pikirkan dan rasakan tidak bisa dilihat oleh mata. Mata sungguh sangat terbatas.
Namun keterbatasan ini harus pula kita syukuri. Bayangkan saja apabila mata kita bisa melihat benda yang ukurannya mikroskopis seperti bakteri ataupun jamur. Maka kita tidak akan bisa makan dengan tenang dan nikmat, sebab semua makanan yang kita makan mengandung bakteri dan jamur yang bentuknya sangat menyeramkan. Satu menit saja kita menyimpan makanan dalam keadaan terbuka maka jamur dan bakteri sudah ada pada makanan tersebut. Atau seandainya mata kita tidak terbatas, maka kita akan bisa melihat setan-setan dan jin-jin yang berkeliaran di sekitar kita, dapat melihat orang di balik tembok, dapat melihat proses pencernaan yang terjadi dalam tubuh kita sendiri sehingga menjadi kotoran. Sungguh kehidupan kita akan sangat menyeramkan.
Indera selanjutnya adalah telinga. Ia merupakan organ tubuh yang digunakan untuk mendengarkan suara. Telinga hanya bisa mendengar suara pada frekuensi 20 s/d 20 ribu Hz. Suara yang memiliki frekuensi tersebut akan menggetarkan gendang telinga kita, untuk kemudian diteruskan ke otak oleh saraf-saraf pendengar. Hasil dari interpretasi otak, suara dapat ditandai dan dikerahui. Apabila suara getarannya dibawah 20 Hz maka suara tidak bisa didengar, dan apabila melebihi 20 ribu Hz maka suarapun tidak akan mampu didengar dan bahkan gendang telinga akan pecah alias rusak.
Pada intinya telinga kitapun memiliki keterbatasan layaknya mata. Allah SWT memberikan batasan pendengaran pada kita sebagai karunia dan rahmat yang harus pula kita syukuri. Bayangkan saja jika pendengaran kita tidak dibatasi, maka kita akan bisa mendengarkan suara-suara binatang malam, juga kita bisa mendengarkan suara jin sedang bercakap-cakap, dan lain sebagainya, maka hidup kitapun tidak akan tenang.
Indera yang ketiga adalah hidung. Indera ini digunakan untuk merasakan bau. Di dalam rongga hidung terdapat saraf-saraf yang akan menerima rangsangan bau yang masuk. Selanjutnya saraf menghantarkannya ke otak untuk diterjemahkan. Sebagaimana mata dan telinga, hidung juga memiliki keterbatasan kemampuan. Misalnya, apabila hidung kita menerima aroma makanan yang terlalu pedas maka kita akan bersin-bersin. Apabila hidung sering merasakan bau busuk maka kepekaannya terhadap bau busuk akan hilang. Misalnya kita tinggal di lingkungan yang banyak sampah berbau busuk. Awalnya kita amat terganggu dan tidak tahan dengan bau tersebut, namun lama kelamaan kita tidak akan merasakan bau busuk tersebut.
Indera keempat dan kelima adalah indera pengecap dan peraba, yakni lidah dan kulit. Lidah digunakan untuk mengecap rasa, sedangkan kulit untuk merasakan kasar, halus, panas, dingin, dan lain-lain. Kedua indera inipun memiliki keterbatasan dalam memahami fakta yang ada di luar dirinya. Kalau kulit kita dibiasakan dengan benda kasar terus dalam kurun waktu yang lama, maka kepekaan kulit kita untuk memahami benda yang halus juga akan berkurang. Begitu juga dengan kemampuan lidah kita. Dalam kondisi tertentu, misalnya kita terbiasa dengan makanan pedas, maka lidah tidak akan merasakan enaknya makanan yang tidak terasa pedas.
Dengan berbagai penjelasan di atas tidak diragukan lagi bahwa lima indera yang kita miliki semuanya serba terbatas, kondisional, dan seringkali tertipu oleh hal-hal yang sebenarnya jelas namun terinterpretasi secara tidak jelas. Sebenarnya manusia memiliki indera yang lebih hebat lagi dibandingkan dengan panca indera. Itulah indera keenam. Setiap orang memiliki indera keenam yang bisa berfungsi melihat, mendengar, merasakan, dan membau sekaligus. Indera tersebut yakni hati kita. Akan tetapi beberapa potensi fungsi hati di atas tidak pernah mampu kita maksimalkan. Kenapa? karena memang kita tidak pernah melatihnya.
Manusia terlahir sudah memiliki indera keenam yang berfungsi dengan baik. Karena itu seorang bayi dapat melihat ‘dunia dalamnya’. Ia menangis dan tertawa sendiri karena melihat ada ‘dunia lain’. Seorang anak pada masa balitanya bisa melihat dunia jin misalnya. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya waktu, kemampuan indera keenam tersebut menurun drastis. Sebabnya adalah orang tua kita tidak melatih indera keenam kita. Mereka lebih melatih panca indera kita untuk memahami dunia luar. Orangtua kita sangat risau apabila kita tidak bisa menggunakan panca indera kita dengan baik. Namun sebenarnya kemampuan penginderaan hati kita jauh lebih dahsyat.
Hati kita bisa merasakan, melihat, dan mendengar apa yang tidak dirasakan, dilihat, dan didengar oleh panca indera. Kita bisa ‘kenalan’ dengan Allah SWT hanya dengan cara mengaktifkan fungsi hati kita dengan baik. Kita bisa melihat Allah hanya dengan hati kita, bukan dengan mata. Kita bisa merasakan adanya Allah bukan dengan kulit kita, namun dengan hati. Allah SWT sudah mengingatkan kita dalam Alqur’an akan pentingnya menghidupkan hati, dalam Alqur’an surat Al-Israa’ [17] ayat 72 disebutkan:
“dan barang siapa di dunia ini buta hatinya, maka di akhirat nanti juga akan buta, dan lebih sesat lagi jalannya”.
Rasulullah SAW pernah mengingatkan para sahabat akan pentingnya mengedepankan fungsi hati sebagai raja bagi kehidupan. Apabila kita menjadikan akal kita sebagai raja dan hati menjadi pengawalnya, maka tunggulah kehancuran hidup kita. Hati kita akan tertutup dengan bercak hitam sehingga kita tidak mampu mengenal Allah. Akal menjadi raja untuk diri kita karena kita membiasakan diri menilai kebahagiaan hidup hanya melalui apa yang dirasakan di dunia ini saja. Yang dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dirasakan oleh lidah dan kulit, semuanya diinterpretasikan di otak (akal). Sehingga kitapun lebih memercayai rsio, logika dan nalar kita untuk mengukur kebahagiaan hidup. Pola ini akan membawa kita pada pola hidup yang mengandalkan akal dan mengesampingkan hati nurani. Banyak orang yang pintar dan cerdas dalam menguasai suatu ilmu namun kering akan ruhani ketuhanan. Mereka tidak mampu melihat sesuatu yang metafisik, sesuatu dibalik segala ciptaan yang tak terbatas. Mereka akhirnya juga tidak mampu mereguk nikmatnya ibadah dan tidak mampu merasakan kehadiran Allah SWT.
Berbeda halnya apabila hati kita yang menjadi raja bagi diri kita. Kita akan bisa merasakan kehadiran Allah SWT dalam hidup kita. Dalam kehidupan sosial, kita juga bisa merasakan apa yang orang lain rasakan (peka). Oleh karena itu jadikanlah hati sebagai raja bagi diri kita.
Orang yang tidak melatih hatinya saat hidup di dunia – sehingga hatinya tertutup – maka mereka akan dibangkitkan oleh Allah SWT di akhirat nanti dalam keadaan buta. Dalam surat Thahaa [20] ayat 124 disebutkan:
“Barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta”.
Lalu, bagaimanakah cara melatih hati kita untuk bisa ‘melihat’ Allah SWT? Mari kita menuntut ilmu demi mengharap ridha Allah SWT, bekerja karena Allah SWT, sholat, puasa, bersedekah, dzikir, do’a, dan semua bentuk ibadah adalah karena Allah SWT, dengan hati yang tulus dan ikhlas. Insya Allah kita akan bisa melihat Allah SWT di dunia ini dan juga di akhirat kelak. Wallahu a’alam bi showab.
Muhammad Nizaar
Pengurus Takmir Masjid Baitul Qohhar UII Cik Ditiro
Assalamu’alaykum Warahmatullah Wabarakatuh,
Afwan, ana ada pertanyaan yang mungkin bisa dicarikan dalil-dalilnya dari/sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah.
Mungkinkah jika kita nanti masuk surga akan bertemu dengan Allah Azza wa Jalla, Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Salam dan para sahabat-sahabat berserta para orang-orang yang taqwa, dan melihat mereka semua, ataukah adakah seperti level-level/tingkatan-tingkatan ketaqwaan agar dapat bertemu mereka (termasuk Allah Azza wa Jalla), jika levelnya tinggi maka bisa bertemu mereka kelak di surga dan jika level ketaqwaannya tidak tinggi/rendah maka tidak bertemu walaupun kita sudah masuk ke surga.
Afwan atas pertanyaan ini, ana hanya sekedar ingin menambah pengetahuan ana yang mana ana masih dhaif untuk hal ini.
Syukron, Jazzakallah Khairan.
Wassalamu’alaykum Warahmatullah Wabarakatuh.
Alhamdulillah
Melihat Allah merupakan kenikmatan yang tertinggi bagi penghuni jannah. Sedangkan dunia kita ini adalah bukan tempat kenikmatan, akan tetapi merupakan tempat bersusah payah, bersedih dan tempat pemberian beban (taklif) atau tempat usaha. Jadi Allah tidak bisa dilihat di dunia sekarang ini, akan tetapi di akhirat nanti orang-orang beriman akan melihatNya.
MELIHAT ALLAH DI AKHIRAT
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
http://www.almanhaj.or.id/content/363/slash/0
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : “Benarkah Allah bisa dilihat di akhirat nanti ? Apa dalilnya dan mana pendapat yang rajah (kuat) dalam masalah ini ?”
Jawaban.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, melihat Allah di akhirat nanti adalah pasti kebenarannya dan barangsiapa yang mengingkarinya berarti kafir. Orang-orang mukmin akan melihatNya pada hari kiamat dan ketika mereka berada di dalam jannah sebagaimana dikehendaki oleh Allah. Keyakinan seperti ini berdasarkan ijma’ Ahlus Sunnah. Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Mereka melihat RabbNya”. [Al-Qiyamah : 22-23]
Allah juga berfirman.
“Artinya : Bagi orang-orang yang berbuat ihsan, ada pahala yang terbaik dan tambahan”. [Yunus : 26]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan tambahan dengan kenikmatan melihat wajah Allah. Disebutkan pula dalam hadits bahwa orang-orang beriman akan melihat Rabb mereka pada hari kiamat dan ketika di dalam jannah.
Adapun dalam kehidupan dunia, maka tiada seorangpun yang bisa melihat Allah. Allah berfirman.
“Artinya : Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan”. [Al-An’aam : 103]
Allah pernah berfirman kepada Nabi Musa : ‘Lantaraanii’ (kamu tidak akan bisa melihat-Ku) [Al-A’raf : 143].
Disebutkan pula bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.
“Artinya : Ketahuilah bahwa tiada seorangpun yang akan bisa melihat Rabb-nya sehingga ia mati”.
Melihat Allah merupakan kenikmatan yang tertinggi bagi penghuni jannah. Sedangkan dunia kita ini adalah bukan tempat kenikmatan, akan tetapi merupakan tempat bersusah payah, bersedih dan tempat pemberian beban (taklif) atau tempat usaha. Jadi Allah tidak bisa dilihat di dunia sekarang ini, akan tetapi di akhirat nanti orang-orang beriman akan melihatNya.
Sedangkan orang-orang kafir, di akhiratpun nanti tetap tidak bisa melihat Allah, karena mereka dihalangi untuk melihatNya, Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya : Tidak demikian, namun sesungguhnya mereka pada hari (kiamat) itu benar-benar terhalang dari melihat Rabb mereka”. [Al-Muthaffifin : 15]
RU’YATULLAH (MELIHAT ALLAH PADA HARI KIAMAT)
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
http://www.almanhaj.or.id/content/2403/slash/0
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwasanya kaum Muslimin akan melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari Kiamat secara jelas dengan mata kepala mereka sebagaimana melihat matahari dengan terang, tidak terhalang oleh awan sebagaimana mereka melihat bulan di malam bulan purnama. Mereka tidak berdesak-desakan dalam melihat-Nya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian, sebagaimana kalian melihat bulan pada malam bulan purnama, kalian tidak terhalang (tidak berdesak-desakan) ketika melihat-Nya. Dan jika kalian sanggup untuk tidak dikalahkan (oleh syaithan) untuk melakukan shalat sebelum Matahari terbit (shalat Subuh) dan sebelum terbenamnya (shalat ‘Ashar), maka lakukanlah.”[1]
Kaum Mukminin akan melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala di padang Mahsyar, kemudian akan melihat-Nya lagi setelah memasuki Surga, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.[2]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nya mereka melihat.” [Al-Qiyaamah: 22-23]
Melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan kenikmatan yang paling dicintai bagi penghuni Surga.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya.” [Yunus: 26]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan lafazh “jiyadah” (tambahan), pada ayat di atas dengan kenikmatan dalam melihat wajah Allah, sebagaimana diriwayatkan:
Dari Shuhaib Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila ahli Surga telah masuk ke Surga, Allah berkata: ‘Apakah kalian ingin tambahan sesuatu dari-Ku?’ Kata mereka: ‘Bukankah Engkau telah memutihkan wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam Surga dan menyelamatkan kami dari api Neraka?’ Lalu Allah membuka hijab-Nya, maka tidak ada pemberian yang paling mereka cintai melainkan melihat wajah Allah Azza wa Jalla. Kemudian Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini: ‘Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya.’” [Yunus: 26] [3]
Adapun di dalam kehidupan dunia, maka tidak ada seorang pun yang dapat melihat Allah, sebagaimana firman-Nya
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dia-lah Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” [Al-An’aam: 103]
Allah Subhanahu wa Ta’ala pernah berfirman kepada Nabi Musa Alaihissalam
“Kamu sekali-kali tidak dapat melihat-Ku.” [Al-A’raaf: 143]
Demikian juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun yang akan bisa melihat Rabb-nya hingga ia meninggal dunia”[4]
Juga pernyataan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata.
“Barangsiapa menyangka bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabb-nya, maka orang itu telah melakukan kebohongan yang besar atas Nama Allah.”[5]
Adapun orang-orang kafir, mereka tidak akan bisa melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala selama-lamanya, begitu juga di akhirat nanti, sebagaimana firman-Nya:
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka.” [Al-Mu-thaffifin: 15]
Ayat ini dijadikan dalil oleh Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan lainnya bahwa ahli Surga akan melihat wajah Allah Jalla Jala Luhu. Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata.
“Tatkala Allah menghijab (menghalangi) orang kafir dari melihat Allah dalam keadaan murka, maka ayat ini sebagai dalil bahwa wali-wali Allah (kaum Mukminin) akan melihat Allah dalam keadaan ridha.”[6]
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang ru’-yatullaah (melihat Allah pada hari Kiamat), maka beliau rahimahullah menjawab.
“Hadits-haditsnya shahih, kita mengimani dan mengakuinya, dan setiap hadits yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad yang shahih, kita mengimani dan mengakuinya.”[7]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]
_________
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 554) dan Muslim (no. 633 (211)), dari Sahabat Jarir bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘anhu. Lafazh “tudhommuuna” bermakna tidak terhalang oleh awan, bisa juga dengan lafazh “tudhommuuna”ó yang bermakna tidak berdesak-desakan. Lihat Fat-hul Baari (II/33).
[2]. Lihat Syarah Lum’atul I’tiqaad (hal. 87), oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
[3]. HR. Muslim (no. 181), at-Tirmidzi (no. 2552 dan 3105), Ibnu Majah (no. 187), Ahmad (IV/332-333), Ibnu Abi ‘Ashim (no. 472), dari Shuhaib Radhiyallahu ‘anhu dan ini adalah lafazh Muslim.
[4]. HR. Muslim (no. 2930 (95)), Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 2044), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma
[5]. HR. Muslim (no. 177 (287)). Lihat juga masalah ini dalam Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal 188-198) takhrij Syaikh al-Albani, dan Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah (VI/509-512).
Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Nabi j melihat Allah dengan hati-nya. Pendapat ini berdasarkan riwayat dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.
[6]. Lihat Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (III/560, no. 883), Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 191), takhrij Syaikh al-Albani, dan Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah (VI/499).
[7]. Lihat Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (III/562 no. 889).
Disalin dari assunnah@yahoogroups.com
Terhalang melihat Allah swt
19 Juli 2010 oleh mutiarazuhud
Kita menyembah Allah swt sebaiknya dapat memandang (melihat) Allah swt atau kalau belum mampu kita wajib yakin bahwa Allah swt melihat kita, agar amal (perbuatan) kita sampai (wushul) ke hadhirat Allah swt bukan kepada selainNya. Yang dimaksud dengan memandang (melihat) Allah swt disini adalah dengan mata hati (bashirah). Sebagaimana riwayat berikut ini,
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.
Contoh sederhana akan hadits ini, jika kita mendirikan Sholat , sholat sudah mengikuti Al-Qur’an dan Hadits (Fikih), sholat dilakukan diniatkan karena Allah swt (Ushuluddin) , namun memandang (melihat) selainNya (Tasawuf), misalkan timbul di hati memandang (melihat) manusia agar dianggap sebagai muslim yang sholeh. Sehingga sholatnya lalai. Maka celakalah !
Ini sebuah contoh yang memuat seluruh pokok-pokok ajaran agama Islam, Islam (rukun Islam/ Kitab Fikih), Iman (rukun Iman, kitab Ushuluddin), Ihsan (akhlak, kitab Tasawuf).
Rasulullah saw berkata, “Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda.”
Imam Qusyairi mengatakan
“Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.
Secara sederhana kita bisa kita tangkap makna perkataan Imam Qusyairi,
sesuatu hadir dalam hati ===> selalu sadar dan ingat ==> seakan-akan senantiasa melihat dan meyaksikanNya
Dengan selalu sadar dan ingat kepada Allah swt (mengingat Allah), seorang muslim dapat mencapai tingkatan Ihsan (muhsin), ”seolah-olah melihat-Nya”.
Jadi “seolah-olah melihatNya” timbul dari akhlakul karimah = keadaan sadar (kesadaran) atau perilaku/perbuatan secara sadar dan mengingat Allah.
Penuhilah hati kita dengan selalu mengingat Allah, kita akan mencapai muslim yang Ihsan (muhsin), “seolah-olah melihat-Nya”.
Sebagaimana yang dikisahkan seorang pemuda dengan kekasih wanita nya. Di mana pemuda itu setiap akan makan, mandi, tidur dan perbuatan lainnya selalu mengingat sang kekasih dan hatinya dipenuhi kekasihnya atau kekasihnya selalu hadir di hati pemuda itu, maka pemuda itu akan ”seolah-olah melihat kekasihnya”. Pemuda tersebut “seolah-olah” menjadi hamba sang kekasih.
Begitu pula bagi seorang muslim, yang mengingat Allah setiap melakukan perbuatan seperti ketika makan, mandi, tidur, mengadakan perjalanan dan perbuatan yang lain, muslim yang selalu mengingat Allah, sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi akan mencapai tingkatan ihsan, “seolah-olah melihatNya”. Muslim yang menjadi hamba Allah.
Mengingat Allah setiap melakukan perbuatan ====>> doa sebelum makan, tidur, berjalan, berwudhu, dll. Minimal dengan
Bismillahirohmanirohim
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang”
Dalam Hadits Rasulullah saw bersabda, “Setiap perbuatan, jika tidak dimulai dengan “Bismillah” (menyebut nama Allah) maka (pekerjaan tersebut) akan terputus (dari keberkahan Allah)”.
Perbuatan (amal) yang tidak dilakukan dengan sadar dan mengingat Allah akan terputus atau tidak sampai (wushul) ke hadhirat Allah, perbuatan (amal) yang sia-sia.
Amal walaupun dengan Ilmu namun tanpa Akhlak maka akan sia-sia.
Contoh sederhana lainnya, di dunia maya(internet) kita menulis (AMAL) dalam forum diskusi , milis, jaringan sosial, email, dengan dukungan ILMU yang kita ketahui namun disampaikan dengan AKHLAK yang buruk (terhalang memandang Allah) maka kita dapat celaka.
Lalu, ada yang bertanya, bahwa dia sudah menulis dengan berbagai sindiran, hujatan, olok-olok, fitnah, dengan kemarahan, namun dia yakin bahwa dia dalam kebenaran karena dia yakin Allah setuju, dikarenakan Allah swt tidak memberikan teguran,hukuman/balasan.
Kita harus yakin bahwa al-Haq (kebenaran) tidak akan bercampur dengan kebathilan.
Kebenaran tidak disampaikan dengan hujatan, olok-olok, fitnah maupun kemarahan.
Ingatlah, bisa saja Allah swt mengundur teguran/hukuman/balasan kepada waktu nanti di Akhirat, maka ini adalah sebenar-benarnya kerugian.
Jika Allah swt mencintai hambaNya , bisa Dia menegur seketika itu juga, agar hambaNya mempunyai waktu untuk meminta ampunanNya. Teguran langsung dari Allah swt dapat menunjukkan kedekatan hambaNya kepada Allah swt.
Lalu kenapa kita terhalang melihatNya ?
- Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
- Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
- Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Sebagaimana firman Allah swt yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita sehingga tidak dapat memandang Allah swt ?
Di zaman modern ini, sebagian ulama hanya terfokus mengajarkan tentang Islam (rukun Islam / Kitab Fikih), Iman (rukun Iman / Kitab Ushuluddin) namun sedikit yang mengajarkan tentang Ihsan (akhlak / Kitab Tasawuf).
Bahkan sebagian ulama anti mendalami/mengajarkan kitab Tasawuf hanya karena istilah Tasawuf atau memaknai tasawuf dengan keliru, atau melihat kepada orang/kaum yang keliru mendalami Tasawuf dalam Islam.
Sehingga kita dapat temukan sebagian muslim yang tahu tentang sholat (ilmu) , menjalankan sholat dengan rajin (amal) namun terhalang memandang Allah (akhlak) sehingga mereka berani melakukan perbuatan korupsi, zina, setengah bugil atau bugil di depan kamera, memimpin dengan zalim, memperkaya diri sendiri dan kelompok, dll.
Oleh karenanya para ulama harus mendalami dan mengajarkan seluruh pokok-pokok ajaran agama Islam, termasuk tentang Ihsan (akhlak / kitab Tasawuf).
Kelirulah jika terpengaruh himbauan sebagian ulama untuk modernisasi Agama, atau terpengaruh ulama yang mengaku sebagai pembaharu (mujaddid), karena mereka hanya fokus mendalami dan mengajarkan kitab fikih dan kitab ushuluddin saja dengan meninggalkan kitab Tasawuf yang menguraikan tentang akhlak, tazkiyatun nafs, ma’rifatullah dan lain-lain.
Sehingga dengan mengabaikan salah satu pokok ajaran agama Islam, yakni tentang Ihsan maka sesungguhnya mereka secara tidak disadari mengupayakan pendangkalan ajaran agama Islam. Mereka menamai kitab Tasawuf sebagai kitab klasik atau kitab tradisionil atau kolot yang bagi mereka layak untuk dilupakan karena zaman sudah modern.
Dalam soal kegamaan, soal syariat, soal ibadah, soal i’tiqad (aqidah), soal hakikat, soal ma’rifat maka kita menolak sekuat-kuatnya akan modernisasi. Agama adalah dari Allah swt dan RasulNya, kita wajib menerima bagaimana adanya, sebagai yang diajarkan Rasulullah saw.
Allah swt telah memberikan petunjuk bahwa kita dalam pengajaran harus mengajarkan tentang akhlak (tentang Ihsan) agar terbuka mata hati orang yang akan kita ajarkan, sebagaimana firmanNya yang artinya,
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta (mata hatinya) dari kesesatannya. Dan kamu tidak dapat memperdengarkan (petunjuk Tuhan) melainkan kepada orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, mereka itulah orang-orang yang berserah diri (kepada Kami).” (QS Ar ruum 30 : 53)
“Maka apakah kamu dapat menjadikan orang yang pekak bisa mendengar atau (dapatkah) kamu memberi petunjuk kepada orang yang buta (hatinya) dan kepada orang yang tetap dalam kesesatan yang nyata?” (QS As Zukhruf 43:40)
Alhamdulillah, adanya kesadaran dari pemerintah melalui melalui Kementerian Pendidikan Nasional yang sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari SD-Perguruan Tinggi .
Namun pendidikan karakter bukanlah pendekatan melalui filsafat, psikologi, motivasi, menurut prasangka manusia atau hubungan antar manusia semata, yang terbaik adalah pendekatan melalui pendidikan akhlakul karimah, menghubungkan kembali manusia dengan Allah, mendidik manusia untuk dapat menghilangkan hijabnya dengan Allah sehingga dapat merasakan kedekatan atau kebersamaan dengan Allah yang memotivasi untuk mentaati perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Solusi pendidikan agama yang harus diselenggarakan pemerintah adalah kembali mengajarkan apa yang diajarkan ulama-ulama kita terdahulu yang mengajarkan kitab-kitab klasik atau kitab-kitab Tasawuf.
Silahkan baca juga tulisan tentang pendidikan dan akhlak pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/
Melihat Rabb dengan hati
8 Januari 2013 oleh mutiarazuhud
Melihat Rabb dengan hati
Allah ta’ala dekat di hati, jauh di mata
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat“.( Al Baqarah [2]:186 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [50]:16 )
“Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah [56]: 85 )
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (QS Al An’am [6]:103)
Dalam hadis qudsi-Nya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a. Alah ta’ala berfirman: “Sesungguhnya langit dan bumi tidak akan mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimanya.”
Dalam sebuah hadit Qudsi Allah Azza wa Jalla berfirman: ’Telah Kucipta seorang malaikat di dalam tubuh setiap anak keturunan Adam. Di dalam malaikat itu ada shadr. Di dalam shadr itu ada qalb. Di dalam qalb itu ada fu`aad. Di dalam fu`aad itu ada syagf. Di dalam syagf itu ada lubb. Di dalam lubb itu ada sirr. Dan di dalam sirr itu ada Aku.”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah”
Hati orang beriman yang menjadi wadah dari nikmat-nikmat Allah yakni nikmat cahayaNya atau nikmat ilmuNya
Jasad adalah wadah bagi bathin, bathin adalah jasad bagi ruhani, ruhani adalah wadah bagi hati, hati adalah wadah bagi akal qalbu, akal qalbu adalah wadah bagi sirr al ghaib atau wadah dari nikmat-nikmat Allah, nikmat cahayaNya, nikmat ilmuNya tanpa batas.
Muslim yang dikaruniakan nikmat Allah adalah muslim yang dekat dengan Allah yakni minimal muslim yang sholeh
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Muslim yang terbaik bukan nabi yang mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) adalah shiddiqin, muslim yang membenarkan dan menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat. Bermacam-macam tingkatan shiddiqin sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah
Muslim yang dekat dengan Allah sehingga menjadi kekasih Allah (Wali Allah) dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala“ Seorang dari sahabatnya berkata, “siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka“. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya: “Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.” Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya“. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS Yunus [10]:62)
Kesholehan timbul bagi mereka yang selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang Allah dengan hatinya (ain bashiroh), sehingga setiap mereka akan bersikap atau berbuat maka mereka mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar.
Jika belum dapat melihat Allah dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifat maka yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Jadi jika seorang muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya maka dia tidak akan membiarkan sampah bukan pada tempatnya karena muslim tersebut memandang Allah dengan hatinya atau karena muslim tersebut selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla
Jika seorang muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya maka dia bekerja dengan tekun, profesional, menghargai waktu dalam menepati janji, tidak bermalas-malasan, tidak bermewah-mewahan atau tidak boros dan tidak melakukan hal buruk lainnya karena muslim tersebut memandang Allah dengan hatinya atau karena muslim tersebut selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla
Jika seorang muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya maka jika dia seorang pelajar atau mahasiswa maka dia tidak akan melakukan perkelahian atau tawuran antar siswa atau antar mahasiswa karena mereka memandang Allah dengan hatinya atau karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla.
Jika seorang muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya maka jika dia seorang pejabat maka dia akan melaksanakan jabatannya dengan amanah, jujur, adil, profesional dan tidak akan melakukan korupsi karena muslim tersebut memandang Allah dengan hatinya atau karena muslim tersebut selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla.
Kehidupan Islami terbentuk karena kaum muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya sehingga jika bersikap dan melakukan perbuatan maka akan bersikap dan melakukan perbuatan yang dicintaiNya karena kaum muslim memandang Allah dengan hatinya atau karena kaum muslim selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla.
Muslim yang bermakrifat atau muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)“
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolongan“
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya”.
Tidak semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya ketika di dunia
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar. Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada” (QS Al Hajj [22]:46 )
“Pada hari itu tidak berguna lagi harta dan anak-anak, kecuali yang kembali kepada Allah dengan hati yang lurus.” (QS. Asy-Syu’araa: 88)
Untuk dapat melihat Allah dengan hati adalah memulainya dengan taubat, memperbaiki akhlak, membersihkan hati (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) yang selanjutnya beroleh kenyataan Tuhan (TAJALLI) atau melihat Rabb dengan hati (bermakrifat).
Ketika seorang muslim telah melihat Allah dengan hatinya maka dia akan bergembira menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Mereka dapat melihat Ar Rahmaan Ar Rahiim dibalk laranganNya. Mereka menjalankan perintahNya atau perkara syariat sebagai makanan atau kebutuhan ruhNya dalam rangka wujud syukur kepada Allah ta’ala.
Dari Anas Ra, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “….kesenanganku dijadikan dalam shalat”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sangat menikmati ibadah, bahkan beliau pernah berdiri dalam sholat malam sampai kedua kakinya bengkak. ‘Aisyah pernah bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau lakukan hal ini, bukankah Allah telah memberikan ampunan kepadamu atas dosa-dosa yang telah berlalu dan yang akan datang?” Beliau menjawab: “afala akuuna ‘abadan syakuuraa” , “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”
Oleh karenanya ulama tasawuf mengungkapkan bahwa “perkara syariat bukanlah beban” . Namun sebagian orang memahaminya bahwa jika telah menjalankan tasawuf maka tidak perlu lagi menjalankan perkara syariat.
Berkata Imam Abu Yazid al Busthami yang artinya, “Kalau kamu melihat seseorang yang diberi keramat sampai ia terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya, kecuali kalau ia melaksanakan suruhan agama dan menghentikan larangan agama dan membayarkan sekalian kewajiban syari’at”
Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.” Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)” Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “Pokok-pokok metode ajaran tasawuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat), maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 47]
Mereka yang menjalankan tasawuf atau mereka yang memperjalankan diri kepada Allah diistilahkan oleh Imam Syafi’i ra dalam nasehat beliau di atas adalah mereka yang merasakan “kelezatan takwa”. Mereka yang mendapatkan kenikmatan bertemu dengan Tuhan
Mereka yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai “Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin“, “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kalian apabila sholat maka sesungguhnya ia sedang bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti bagaimana bermunajat dengan Tuhan”
Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya sholat itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu’ yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45).
Syaikh Abdul Qadir Jailani mengatakan bahwa para Wali Allah ketika mereka berdzikir dan yang utama adalah ketika mereka sholat maka mereka melintasi alam secara cepat dari alam nasut (alam mulk), alam malakut, alam jabarut, alam lasut sehingga mereka mengetahui apa yang dimakasud ‘Arsy , Kursi, Sidratul Muntaha.
Di dalam shalat bertemu Allah. Di dalam dzikir bertemu Allah. Saat puasa bertemu Allah. Saat haji pun bertemu Allah. Bahkan dalam seluruh aktifitas kita sehari-hari kita bertemu Allah. Asalkan kita tahu caranya, seperti yang diajarkan oleh Al Qur’an, dan disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Rasulullah bersabda “Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari).
Rasulullah bersabda “Buatlah perut-perutmu lapar dan qalbu-qalbumu haus dan badan-badanmu telanjang, mudah-mudah an qalbu kalian bisa melihat Allah di dunia ini“
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, ”Pakailah pakaian yang baru, hiduplah dengan terpuji (mulia), dan matilah dalam keadaan mati syahid” (HR.Ibnu Majah)
Pahamlah kita kenapa kaum muslim ketika selesai menjalankan ibadah puasa Ramadhan kembali dalam keadaan suci bersih, kembali fitri dengan kiasan “berbaju baru” yakni kemenangan menjaga hawa nafsu, mensucikan jiwa, berakhlak baik dan beradab mulia.
Rasulullah bersabda: “Kalian tidak akan pernah melihat Rabb kalian hingga kalian mati.” [Abu Dawud no. 4320, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (Dhilaalul-Jannah) no. 428, dan Al-Laalika’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 848.]
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menasehatkani “Muutu qabla an tamuutu” yang artinya “matilah sebelum mati”
Nasehat Rasulullah tersebut sarat dengan makna. Mati pada hakikatnya adalah terbebasnya ruh (ruhani) dari jasad (jasmani). Jadi upayakanlah dalam kehidupan ini ruh (ruhani) kita tidak terkukung oleh jasmani atau tidak terkukung oleh hawa nafsu. Upayakanlah ruh (ruhani) kita mengendalikan hawa nafsu bukan hawa nafsu yang mengendalikan ruh (ruhani) kita.
Dua dimensi jiwa manusia senantiasa saling menyaingi, mempengaruhi dan berperang.
Kemungkinan jiwa positif manusia menguasai dirinya selalu terbuka, seperti yang dialami Habil. Dan jiwa negatifpun tak tertutup kemungkinan untuk mengontrol diri manusia, seperti yang terjadi pada Qobil.
Tataplah sosok seorang Mush’ab bin Umair ra yang hidup di masa Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam. Ia putera seorang konglomerat Makkah. Namanya menjadi buah bibir masyarakat, terutama kaum mudanya. Sebelum masuk Islam ia dikenal dalam lingkaran pergaulan jet set. Namun, suatu hari mereka tak lagi melihat sosoknya. Mereka kaget ketika mendengarnya sudah menjadi pribadi lain.
Benar, ia sudah bersentuhan dengan dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan hidup dalam kemanisan iman dan kedamaian risalahnya. Sehingga cobaan beratpun ia terima dengan senyuman dan kesabaran. Kehidupan glamour ia lepaskan. Bahkan dialah yang terpilih sebagai juru dakwah kepada penduduk Madinah.
Disisi lain , tengoklah pribadi Musailamah Al-Khadzdzab. Setelah mengikuti kafilah dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, jiwa negatifnya masih menonjol, ketamakan akan kedudukan dan kehormatan membawanya pada pengakuan diri sebagai nabi palsu. Akhirnya ia mati terbunuh dalam kondisi tak beriman di tangan Wahsyi dalam suatu peperangan.
Manusia tentu saja memiliki harapan agar jiwa positifnya bisa menguasai dan membimbing dirinya. Sehingga ia bisa berjalan pada garis-garis yang benar dan haq. Akan tetapi seringkali harapan ini tak kunjung tercapai, bahkan bisa jadi justru kondisi sebaliknya yang muncul. Ia terperosok ke dalam kubangan kebatilan.
Disinilah betapa besar peranan lingkungan yang mengelilingi diri manusia baik keluarga kawan, tetangga, guru kerabat kerja, bacaan, penglihatan, pendengaran, makanan, minuman, ataupun lainnya. Semua itu memberikan andil dan pengaruh dalam mewarnai jiwa manusia.
Islam , sebagai Din yang haq, memberikan tuntunan ke pada manusia agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya pengarahan, pemeliharaan , tazkiyah atau pembersihan jiwa dan sebagai tindakan preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwanya.
Disamping itu, diperlukan pendalaman terhadap tuntunan dan ajaran Islam serta peningkatan pengalamnnya. Evaluasi diri dan introspeksi harian terhadap perjalanan hidupnya, tak kalah pentingnya dalam tazkiyah jiwa. Manakala jalan ini ditempuh dan jiwanya menjadi bersih dan suci, maka ia termasuk orang yang beruntung dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebaliknya , apabila jiwanya terkotori oeh berbagai polusi haram dan kebatilan, maka ia termasuk orang yang merugi menurut kriteria Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Dan demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mesucikan jiwa itu. Dan merugilah orang yang mengotorinya”(QS. Asy Syams [91] : 7-10).
Dua suasana jiwa yang berbeda itu akan tampak refleksinya masing-masing perilaku keseharian manusia, baik dalam hibungannya dengan Allah, lingkungan maupun dirinya.
Jiwa yang suci akan memancarkan perilaku yang suci pula, mencintai Alah dan Rasul-Nya dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Sedangkan jiwa yang kotor akan melahirkan kemungkaran dan kerusakan, adalah benar bahwa Allah tidak melihat penampilan lahir seseorang, tetapi yang dilihat adalah hatinya, sebagaimana disebutkan dalam satu hadits. Tetapi ini dimaksudkan sebagai penekanan akan pentingnya peranan niat bagi sebuah amal, bukan untuk menafikan amal lahiriah.
Sebuah amal ibadah akan diterima Allah manakala ada kesejajaran antara perilau lahiriah dan batiniah, disamping sesuai dengan tuntunan Din. Lebih dari itu, secara lahiriah, manusia bisa saja tampak beribadah kepada Allah. Dengan khusyu’ ia melakukan ruku’ dan sujud kepada-Nya. Namun jiwanya belum tunduk ruku dan sujud kepada Allah Yang Maha Besar dan Perkasa , kepada tuntunan dan ajaran-Nya.
Tazkiyah jiwa merupakan suatu pekerjaan yang sungguh berat dan tidak gampang. Ia memerlukan kesungguhan, ketabahan dan kontinuitas. Sebagaimana amal baik lainnya, tazkiyah adalah bagai membangun sebuah gedung, disana banyak hal yang harus dikerahkan dan dikorbakan. Sedangkan pengotoran jiwa, seperti amal buruk lainnya, adalah semisal merobohkan bangunan, ia lebih mudah dan gampang serta tak banyak menguras tenaga.
“Jalan menuju surga di rintangi dengan berbagai kesulitan. Sedangkan jalan menuju neraka ditaburi dengan rangsangan hawa nafsu”, demikian sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
Tazkiyah jiwa ini menjadi lebih berat lagi ketika manusia hidup dalam era informatika dan globalisasi dalam kemaksiatan dan dosa. Dimana kreasi manusia begitu canggih dan signifikan. Mansusia seakan tak berdaya mengikuti irama dan gelombangnya.
Sebenarnya Islam memiliki sikap yang akrab dan tidak menolak sains dan tekhnologi, sementara sains dan tekhnologi tersebut tidak bertentangan dan merusak lima hal prinsip (ad – dkaruriyat al khams); Din , jiwa manusia, harta, generasi dan kehormatan. Sehingga tidak ada paradoksal antara jiwa positif dan bersih serta nilai-nilai kebaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman.
Pengalaman tuntunan dan akhlak Islami, meski tanpa pemerkosaan dalam penafsirannya, tidak pernah bertentangan dengan alam sekitar. Lantaran keduanya lahir dari satu sumber, Allah Subhanahu wa Ta’ala, Pencipta alam semesta dan segala isinya.
Salah faham terhadap konsep ini akan mengakibatkan kerancuan pada langgam kehidupan manusia.maka yang tampak adalah bukit hingar bingar dan menonjolnya sarana pengotoran jiwa manusia. Akhirnya, nilai nilai positif dan kebenaran seringkali tampak transparan dan terdengar sayup-sayup. Benarlah apa yang menjadi prediksi junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
“Orang yang sabar dalam berpegang dengan Din-nya semisal orang yang memegang bara api”.
Mereka acapkali mengalami banyak kesulitan dalam mengamalkan Din-nya. Sehingga mereka merasa asing dalam keramaian. Namun demikian, tidaklah berarti mereka boleh bersikap pesimis dalam hidup. Bahkan sebaliknya, mereka harus merasa optimis. Sebab dalam situasi seperti ini, merekalah sebenarnya orang yang meraih kemenangan dalam pandangan Islam.
“Islam mulai datang dalam keterasingan dan akan kembali dalam keterasingan pula sebagaimana mulanya. Maka berbahagialah orang – orang yang terasing”. (Al Hadist).
Dalam fenomena seperti ini, tak tahu entah dimana posisi kita. Yang jelas, manusia senantiasa dianjurkan oleh Allah agar meningkatkan kualitas dan posisi dirinya di hadapan Nya. Dan Allah tak pernah menolak setiap hamba yang benar-benar ingin kembali kepada jalan-Nya.
Bahkan lebih dari itu, manakala hamba Nya datang dengan berjalan, maka Ia akan menjemputnya dengan berlari. Sungguh Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Pengampun. Kita berharap, semoga kita termasuk orang-orang yang mau mendengar panggilan-Nya yang memiliki jiwa muthmainnah, jiwa yang tenang. Sehingga kita akhirnya berhak meraih panggilan kasih sayang –Nya.
“Hai jiwa yang tenang . Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas dan diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam surga-Ku”.(QS.Al Fajr [89] : 27-30)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Melihat Allah
19 November 2012 oleh mutiarazuhud
Melihat Allah
Ru’yah menurut bahasa berarti, ”Annazar bil aini au bil-qalbi” , “melihat dengan mata atau dengan hati“.
Ru’yatullah berarti melihat Allah dengan penglihatan mata atau penglihatan hati.
Sedangkan di dunia telah deijelaskan dalam firmanNya yang artinya
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (QS Al An’am [6]:103)
Di dunia, Allah dapat dilihat dengan hati (ain bashiroh) dalam arti kehadiranNya yang tampak karena kita selalu sadar dan ingat kepadaNya
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)“
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolongan“
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya”.
Tidak semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya ketika di dunia
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Malaikat juga makhluk yang tidak dapat dilihat dengan mata kepala kecuali menampilkannya dalam bentuk tertentu namun malaikat juga dapat dilihat dengan pandangan hati
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Hafsh dari Abdul Malik dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas dia berkata, “Beliau telah melihat dengan mata hatinya.” (HR Muslim 257)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Seandainya bukan karena dosa yang menutupi kalbu Bani Adam, niscaya mereka menyaksikan malaikat di langit” (HR Ahmad dari Abi Hurairah)
Oleh karenanya ketika penduduk surga dalam keadaan tidak berdosa maka mereka dapat melihat Allah tidak terhalang sama sekali, kemudahannya bagaikan melihat bulan ketika purnama yang tidak ada awan
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Bapakku dari Ibnu Syihab dari Atha’ bin Yazid al-Laitsi bahwa Abu Hurairah mengabarkan kepadanya, bahwa manusia berkata, Wahai Rasulullah! Apakah kami (bisa) melihat Rabb kami pada Hari Kiamat? Beliau pun balik bertanya: Apakah kalian akan mendapatkan kesulitan ketika melihat bulan di malam purnama yang tidak ada awan? Mereka menjawab, Tidak wahai Rasulullah. Beliau bertanya lagi: Apakah kalian akan mendapatkan kesulitan ketika melihat matahari di siang hari yang terang tanpa awan di bawahnya? Mereka menjawab, Tidak wahai Rasulullah. Lalu beliau bersabda: Sesungguhnya kalian bisa melihatNya seperti itu juga. (HR Muslim 267)
“Allah berfirman dalam Hadits Qudsi kepada Nabi Musa : ‘ Hai Musa, engkau sekali-kali tidak akan dapat melihat-Ku . Sungguh makhluq hidup pasti mati jika melihat-Ku, yang kering pasti mengering kerontang, yang basah pasti akan bertaburan. Yang dapat melihat-Ku hanyalah para penghuni surga yang tidak akan mati pandangannya dan tidak akan hancur binasa tubuhnya’.” (Hadits Qudsi riwayat Al-Hakim dari Ibnu Abbas r.a.)
Apakah yang harus dilakukan agar kita dapat melihat Allah dengan hati ?
Berikut kutipan wawancara dengan Dr. Sri Mulyati, MA (Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) selengkapnya dapat ditemukan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/09/24/komunitas-spiritual-kota/
***** awal kutipan *****
Trend artis, selebritis, pejabat, dan eksekutif ikut komunitas spiritual kota itu gejala apa?
Alhamdulillah kalau mereka bisa bertaubat, istighfar, karena Allah maha pengampun. Itu kan taubat dalam urut-urutan makamah, zuhud, warak. Kita menilai itu baik, mudah-mudahan begitu.
Sebenarnya cara sufi itu ada berapa tahapan?
Saya kira tahapan pertama yang harus dilewati adalah Takhalli, mengosongkan diri dari segala yang tidak baik, apakah kita bisa? Baru nanti kita bisa sampai pada apa yang disebut Tahalli, harus benar-benar mengisi kebaikan. Apakah kita juga bisa? Berikutnya adalah Tajalli, benar-benar mengetahui rahasia Tuhan. Dan ini adalah bentuk manifestasi dari rahasia-rahasia yang diperlihatkan kepada hamba-Nya. Boleh jadi mereka sudah Takhalli tapi sudah ditunjukkan oleh Allah kepada yang ia kehendaki, dalam teori sunni kan begitu.
Ada juga wirid dan dzikir yang marak selama ini?
Tidak mesti apa yang dia lakukan itu, dalam golongan sufi. Kalau kita pahami secara konvensional tarekat adalah suatu bagian dari tasawuf, dalam konteks ini adalah muktabarah dan ghairu muktabarah. Yang muktabarah jelas silsilahnya sampai kepada Rasulullah, amaliahnya ini, praktik sehari-harinya itu sesuai dengan syari’ah yang begitu. Adapun misalnya orang beramal baca surat ikhlas 1000 kali, itu gak apa-apa, itu amaliyah fadlail saja. Jadi tidak mesti harus digolongkan ke sufi. Masalahnya karena dalam kajian tasawuf, wabil khusus tarekah, itu memang ada rambu-rambunya. Jadi kalau misalnya tidak ada kriteria muktabarah, ya tidak otomatis masuk dalam tasawuf. Tarikah bukan, sufi bukan, apalagi tidak ada mursyid dan tidak ada silsilah, jadi yang begini ini masuk grup akhlak saja, grup moral, tidak apa-apa dari pada grup Narkoba, naudubilla…. Dan sejauh tidak ada kaitannya dengan mursyid, maka tidak ada kaitannya dengan tarekat dan sejauh tidak ada murid tarekat, ya grup moral saja dan itu bagus. Seperti misalnya ada grup dzikir, kan lebih baik zikir dari pada ngobrol yang tidak ada manfaatnya. Kita harus punya pandangan yang positif. Alhamdulillah masih banyak orang yang mengingat Allah. Kalau orang pandangannya negatif bagaimana? Seperti dzikir jahar, ada yang bertanya apakah Tuhan tuli? Dia tidak tahu riwayatnya. Rasullulah mambaiat Ali berdzikir dengan jahar. Nabi mengajarkannya, sebab itulah kemudian dijadikan referensi dzikir jahar atau dengan suara keras.
***** akhir kutipan *****
Kesimpulannya untuk dapat melihat Allah dengan hati adalah memulainya dengan taubat, memperbaiki akhlak, membersihkan hati (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) yang selanjutnya beroleh kenyataan Tuhan (TAJALLI) atau melihat Rabb dengan hati (bermakrifat).
Ketika seorang muslim telah melihat Allah dengan hatinya maka dia akan bergembira menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Mereka dapat melihat Ar Rahmaan Ar Rahiim dibalk laranganNya. Mereka menjalankan perintahNya atau perkara syariat sebagai makanan atau keburutuhan ruhNya dalam rangka wujud syukur kepada Allah ta’ala.
Dari Anas Ra, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “….kesenanganku dijadikan dalam shalat”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sangat menikmati ibadah, bahkan beliau pernah berdiri dalam sholat malam sampai kedua kakinya bengkak. ‘Aisyah pernah bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau lakukan hal ini, bukankah Allah telah memberikan ampunan kepadamu atas dosa-dosa yang telah berlalu dan yang akan datang?” Beliau menjawab: “afala akuuna ‘abadan syakuuraa” , “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”
Oleh karenanya ulama tasawuf mengungkapkan bahwa “perkara syariat bukanlah beban” . Namun sebagian orang memahaminya bahwa jika telah menjalankan tasawuf maka tidak perlu lagi menjalankan perkara syariat.
Berkata Imam Abu Yazid al Busthami yang artinya, “Kalau kamu melihat seseorang yang diberi keramat sampai ia terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya, kecuali kalau ia melaksanakan suruhan agama dan menghentikan larangan agama dan membayarkan sekalian kewajiban syari’at”
Mereka yang menjalankan tasawuf atau mereka yang memperjalankan diri kepada Allah diistilahkan oleh Imam Syafi’i ra adalah mereka yang merasakan “kelezatan takwa”. Mereka yang mendapatkan kenikmatan bertemu dengan Tuhan
Mereka yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai “Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin“, “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kalian apabila sholat maka sesungguhnya ia sedang bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti bagaimana bermunajat dengan Tuhan”
Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya sembahyang (Sholat) itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu’ yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45).
Di dalam shalat bertemu Allah. Di dalam dzikir bertemu Allah. Saat puasa bertemu Allah. Saat haji pun bertemu Allah. Bahkan dalam seluruh aktifitas kita sehari-hari kita bertemu Allah. Asalkan kita tahu caranya, seperti yang diajarkan oleh Al Qur’an, dan disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Rasulullah bersabda “Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari).
Rasulullah bersabda ““Buatlah perut-perutmu lapar dan qalbu-qalbumu haus dan badan-badanmu telanjang, mudah-mudah an qalbu kalian bisa melihat Allah di dunia ini (HR Bukhari).
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, ”Pakailah pakaian yang baru, hiduplah dengan terpuji (mulia), dan matilah dalam keadaan mati syahid” (HR.Ibnu Majah)
Pahamlah kita kenapa kaum muslim ketika selesai menjalankan ibadah puasa Ramadhan kembali dalam keadaan suci bersih, kembali fitri dengan kiasan “berbaju baru” yakni kemenangan menjaga hawa nafsu, mensucikan jiwa, berakhlak baik dan beradab mulia.
Rasulullah bersabda: “Kalian tidak akan pernah melihat Rabb kalian hingga kalian mati.” [Abu Dawud no. 4320, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (Dhilaalul-Jannah) no. 428, dan Al-Laalika’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 848.]
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menasehatkani “Muutu qabla an tamuutu” yang artinya “matilah sebelum mati”
Nasehat Rasulullah tersebut sarat dengan makna. Mati pada hakikatnya adalah terbebasnya ruh (ruhani) dari jasad (jasmani). Jadi upayakanlah dalam kehidupan ini ruh (ruhani) kita tidak terkukung oleh jasmani atau tidak terkukung oleh hawa nafsu. Upayakanlah ruh (ruhani) kita mengendalikan hawa nafsu bukan hawa nafsu yang mengendalikan ruh (ruhani) kita.
Berikut ulasan dari seorang teman akan nasehat dari Rasulullah di atas
***** awal kutipan *****
“Sebelum anda meninggal dunia, cobalah mematikan diri anda sejenak.
Tutuplah kedua mata anda dan bayangkan jenazah anda sedang berada di atas keranda mayat diiringi oleh para pengantar jenazah. Keadaan bagaimana yang anda inginkan setelah anda mati, maka jadilah seperti yang anda inginkan di saat anda hidup sekarang ini.
Perbaikilah kesalahan anda, perbaikilah tingkah laku anda, bertaubatlah di atas segala perbuatan maksiat anda, bukalah lembaran baru kehidupan anda dengan perjalanan hidup dan budi pekerti yang baik.
Cucilah hati anda dari kedengkian dan bersihkanlah dari pengkhianatan. Kelak anda akan mengingat apa yang telah anda lakukan karena makhluk-makhluk ibarat pena Allah ta’ala dan seluruh manusia adalah saksi Allah ta’ala di bumiNya.
Jika mereka bersaksi dengan memuji anda, maka itu adalah khabar baik buat anda dan kesaksian ini diterima di sisi Allah yang Maha Esa. Namun jika mereka bersaksi dengan menyebutkan keburukan anda, maka anda sangat merugi di atas apa yang sedang menanti anda“
*****akhir kutipan ****
Hakikat tauhid
12 Desember 2011 oleh mutiarazuhud
Hakikat tauhid dan nasehat seorang murid kepada gurunya
Mereka mengaku bahwa dakwah mereka adalah dakwah memurnikan tauhid dari syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat atau disingkat TBC
Apakah tauhid ?
Tauhid secara umum adalah lawan dari syirik. Syirik adalah perbuatan menyekutukan Allah Azza wa Jalla dan orangnya dinamakan orang kafir
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Maukah aku kabarkan kepada kalian dosa yang paling besar (tiga kali)? mereka menjawab : ya, wahai Rasulullah ! beliau bersabda : menyekutukan Allah“ [muttafaq ‘alaih, Al Bukhari hadits nomer : 2511]
Setiap dosa kemungkinan diampuni oleh Allah Subhanahu wata’ala, kecuali dosa syirik, ia memerlukan taubat secara khusus, Allah berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya“ [An Nisa : 48]
Tauhid secara umum maknanya adalah tidak menyekutukan Allah Azza wa Jalla atau mereka bertauhid (mereka beriman) adalah mereka mengakui tiada tuhan selain Allah Azza wa Jalla.
Sebagian orang yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah mengedepankan “kebebasan” mengatakan bahwa Iblis mengakui tiada tuhan selain Allah bahkan dijuluki “bapak tauhid” karena tidak mau sujud kepada selain Allah.
Hakikat kafir atau menyekutukan Allah atau mereka yang melakukan perbuatan syirik adalah mereka yang tidak mengakui ke -Maha Kuasa – an Allah Azza wa Jalla
Iblis dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla karena mereka tidak mengakui ke -Maha Kuasa -an Allah Azza wa Jalla dengan tidak mentaati kewajibanNya berupa perintah untuk sujud kepada manusia (Nabi Adam a.s).
Orang Islam yang bersujud (sholat) menghadap Ka’bah, tidak berarti dia menyembah Ka’bah, akan tetapi dia sebenarnya sedang bersujud dan menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menghadap ke Ka’bah perwujudan menjalankan perintahNya atau mengakui ke Maha Kuasa an Allah Azza wa Jalla. Begitu juga para malaikat sujud kepada manusia (Nabi Adam a.s) perwujudan melaksanakan perintahNya atau mengakui ke Maha Kuasa an Allah Azza wa Jalla.
Kaum Yahudi dan Kaum Nasrani walaupun sebagain kecil mereka beriman kepada Allah namun tetap dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla dan dinyatakan sebagai orang-orang yang sesat karena mereka tidak mengakui ke-Maha Kuasa-an Allah Azza wa Jalla dengan tidak mentaati kewajibanNya berupa perintah untuk bersyahadat.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu“. ( QS Ali Imran [3]:81 )
Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. berkata: ‘Setiap kali Allah subhanahu wa ta’ala mengutus seorang nabi, mulai dari Nabi Adam sampai seterusnya, maka kepada nabi-nabi itu Allah subhanahu wa ta’ala menuntut janji setia mereka bahwa jika nanti Rasulallah shallallahu alaihi wasallam. diutus, mereka akan beriman padanya, membelanya dan mengambil janji setia dari kaumnya untuk melakukan hal yang sama’.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?” Katakanlah: “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya?” Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan. (QS Al Baqarah [2]:140 )
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “ Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.”
Hadits yang diriwayatkan Sufyan bin Uyainah dengan sanadnya dari Adi bin Hatim. Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Abu Dzar, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang yang dimurkai“, beliau bersabda, ‘Kaum Yahudi.’ Saya bertanya tentang orang-orang yang sesat, beliau bersabda, “Kaum Nasrani.“
Firman Allah ta’ala yang artinya,
Katakanlah:”Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu“. (QS Al Maa’idah [5]:68 )
“Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka..” (QS.Ali Imran [3] : 110)
Ibadah sendiri berarti mentaati segala perintahNya dan menjauhi segala larangan-Nya, sebagaimana seseorang yang sedang melaksanakan ibadah haji, dia diperintahkan untuk mencium hajar aswad dan melempar jumrah, amalan-amalan ini disebut ibadah karena melaksanakan perintah Allah.
PerintahNya dan laranganNya oleh para pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat dirumuskan kedalam 5 hukum perkara yakni Wajib (fardhu), Sunnah (mandub), haram, makruh, mubah yang dikenal dengan istilah beristinbat (menetapkan hukum perkara)
Orang kafir pada hakikatnya adalah mereka yang tidak mengakui ke Maha Kuasa an Allah Azza wa Jalla yakni mereka yang tidak mentaati kewajibanNya / perintahNya (ditinggalkan berdosa) , tidak menjauhi laranganNya (dikerjakan berdosa) dan tidak menjauhi apa yang diharamkanNya (dikerjakan berdosa).
Hal ini sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa orang yang meninggalkan sholat adalah orang kafir. Pada hakikatnya kafir karena tidak mengakui ke Maha Kuasa an Allah Azza wa Jalla dengan tidak mentaati perintahNya berupa kewajibanNya (ditinggalkan berdosa).
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya perbedaan antara seorang pria mukmin dan kafir adalah meninggalkan sholat” . (H.R. Muslim)
Rasulullah bersabda, “Perjanjian yang mengikat antara kami dan mereka adalah sholat. Maka barangsiapa yang meninggalkannya, maka sungguh dia telah menjadi kafir”. (H.R. Tirmidzi)
Ahli bid’ah pun termasuk orang kafir , mereka yang melakukan perbuatan syirik, mereka yang tidak mau mengakui ke-Maha Kuasa-an Allah Azza wa Jalla karena mereka mengubah-ubah apa yang telah ditetapkanNya
Perkara yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla meliputi kewajibanNya / perintahNya (ditinggalkan berdosa), laranganNya (dikerjakan berdosa) dan segala perkara yang telah diharamkanNya (dikerjakan berdosa)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas/larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Ahli bid’ah adalah mereka yang mengada-ada atau membuat perkara baru (bid’ah) sehingga mengubah-ubah apa yang telah ditetapkanNya
Ahli bid’ah adalah mereka yang membuat perkara baru atau mengada-ada yang bukan kewajiban menjadi kewajiban (ditinggalkan berdosa) atau sebaliknya, tidak diharamkan menjadi haram (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya dan tidak dilarang menjadi dilarang (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya.
Rasulullah mencontohkan kita untuk menghindari perkara baru dalam kewajiban (jika ditinggalkan berdosa). Rasulullah meninggalkan sholat tarawih berjama’ah dalam beberapa malam agar kita tidak berkeyakinan bahwa sholawat tarawih adalah kewajiban (ditinggalkan berdosa) selama bulan Ramadhan.
Rasulullah bersabda, “Aku khawatir bila shalat malam (tarawih) itu ditetapkan sebagai kewajiban atas kalian.” (HR Bukhari 687). Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=10&ayatno=120&action=display&option=com_bukhari
Bid’ah hasanah , jika yang melakukan sholat tarawih berjamaah sebulan penuh berkeyakinan bahwa itu adalah amal kebaikan selama bulan ramadhan walaupun Rasulullah tidak mencontohkan/melakukannya sebulan penuh.
Bid’ah dholalah, jika mereka berkeyakinan bahwa sholat tarawih berjamaah sebulan penuh adalah kewajibanNya atau perintahNya (ditinggalkan berdosa) karena sholat tarawih sebulan penuh tidak pernah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai kewajiban (ditinggalkan berdosa). Yang ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai kewajiban (ditinggalkan berdosa) yang harus dikerjakan sebulan penuh pada bulan Ramadhan adalah berpuasa.
Begitu juga kita dapat ambil pelajaran dari apa yang terjadi dengan kaum Nasrani
‘Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah –pada waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam– setelah dia mendengar ayat yang artinya, “Mereka menjadikan orang–orang alimnya, dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan selain Allah, dan mereka (juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam. Padahal, mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.“ (QS at Taubah [9] : 31) , kemudian ia berkata: “Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu“. Maka jawab Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Bid’ah dholalah adalah perbuatan syirik karena penyembahan kepada selain Allah.
Bid’ah dholalah adalah perbuatan yang tidak ada ampunannya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
إِنَّ اللهَ حَجَبَ اَلتَّوْبَةَ عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ
“Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua ahli bid’ah”. [Ash-Shahihah No. 1620]
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
Mereka yang melampaui batas adalah mereka yang sombong yakni mereka yang menuhankan akal pikirannya, menuhankan hawa nafsunya.
Akal pikiran berbeda dengan Akal Qalbu (hati).
Akal Pikiran / logika adalah bersandar pada kemampuan sendiri atau kerja otak.
Akal Qalbu / hati adalah mengikuti cahayaNya atau petunjukNya yang diilhamkan keseluruh Qalbu / jiwa setiap manusia.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10 )
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS As Syams [91]:8 )
Wabishah bin Ma’bad r.a. berkata: Saya datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam., beliau bersabda, “Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebaikan?” Saya menjawab, “Benar.”Beliau bersabda, “Mintalah fatwa kepada hatimu sendiri. Kebaikan adalah apa-apa yang menenteramkan jiwa dan hati, sedangkan dosa adalah apa-apa yang mengusik jiwa dan meragukan hati, meskipun orang-orang memberi fatwa yang mem-benarkanmu.” Ini adalah hadits yang kami riwayatkan dari dua imam, yaitu Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Ad-Darami dengan sanad hasan
Iblis menolak sujud kepada manusia (Nabi Adam a.s), karena dia merasa lebih baik dari manusia. Dia menganggap bahwa unsur api, lebih baik daripada unsur tanah. Sebenarnya kalau saja Iblis mau jujur, mestinya dia merasa malu, karena pada waktu dia menolak untuk sujud kepada manusia, disitu terdapat makhluk yang lebih tinggi derajatnya yaitu malaikat, karena mereka diciptakan dari cahaya. Walaupun begitu mereka mau bersujud ketika diperintah Allah Azza wa Jalla, seharusnya yang lebih rendah derajatnya ikut sujud juga. Akan tetapi begitulah Iblis, dia sombong dan menolak untuk sujud.
Rasa takabbur dan sombong merupakan sifat yang sangat tercela. Pertama kali yang mempunyai sifat ini adalah Iblis. Seseorang yang mempunya sifat seperti ini akan dijauhkan dari surga .
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Tidak masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat sebiji sawi dari perasaan sombong”
Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah bersabda: “Keagungan adalah sarungKU dan kesombongan adalah pakaianKU. Barangsiapa merebutnya (dari AKU) maka AKU menyiksanya.” (HR. Muslim)
Dosa pertama kali yang dilakukan makhluk adalah rasa sombong, tamak dan iri .
Berkata Qatadah : “Iblis merasa iri dengan Adam, karena dia diberikan kemuliaan oleh Allah subhanahu wa’ta’ala, maka ia berkata : “Saya tercipta dari api, sedangkan dia dari tanah”, kemudian munculah dosa pertama kali yaitu rasa sombong. Setelah itu muncul rasa tamak, sehingga Adam memakan dari pohon ‘ yang terlarang ‘ , kemudian rasa iri, ketika anak Adam iri dengan saudaranya.
Ibnu Abbas ra mengatakan juga : “Jika seseorang terjerat di dalam kesombongan, maka jangan banyak diharap. Sebaliknya jika ia terjerat di dalam kemaksiatan, kemungkinan masih bisa diharapkan untuk bertaubat”
Kesombongan kaum Yahudi karena memandang bahwa mereka adalah umat pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka merasa diistimewakan dan dilebihkan atas seluruh umat pada zaman yaitu semasa Nabi Musa ‘alaihissalam. Selengkapnya telah kami uraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/10/kesombongan/
Orang yang merasa berilmu banyak, merasa berkompentesi berijtihad dan tidak mau mengakui pemahaman/pendapat pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang Empat, tidak mau mengakui pemahaman/pendapat para jumhur ulama yang bermazhab atau mereka merasa lebih Ahlus Sunnah dibandingkan muslim yang bermazhab boleh jadi mereka yang terjerumus dalam kesombongan.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Selengkapnya telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/04/semakin-jauh-darinya/
Al-Hâfizh adz-Dzahabi adalah murid dari Ibn Taimiyah. Walaupun dalam banyak hal adz-Dzahabi mengikuti faham-faham Ibn Taimiyah, –terutama dalam masalah akidah–, namun ia sadar bahwa ia sendiri, dan gurunya tersebut, serta orang-orang yang menjadi pengikut gurunya ini telah menjadi bulan-bulanan mayoritas umat Islam dari kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah pengikut madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Kondisi ini disampaikan oleh adz-Dzahabi kepada Ibn Taimiyah untuk mengingatkannya agar ia berhenti dari menyerukan faham-faham ekstrimnya, serta berhenti dari kebiasaan mencaci-maki para ulama saleh terdahulu. Untuk ini kemudian adz-Dzahabi menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat kepada Ibn Taimiyah, sekaligus hal ini sebagai “pengakuan” dari seorang murid terhadap kesesatan gurunya sendiri. Risalah pertama berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab, dan risalah kedua berjudul an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah.
Dalam risalah Bayân Zghl al-‘Ilm, adz-Dzahabi menuliskan ungkapan yang diperuntukan bagi Ibn Taimiyah sebagai berikut [Secara lengkap dikutip oleh asy-Syaikh Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, lihat kitab j. 2, h. 9 ]:
“Hindarkanlah olehmu rasa takabur dan sombong dengan ilmumu. Alangkah bahagianya dirimu jika engkau selamat dari ilmumu sendiri karena engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari musuhmu atau engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari dirimu sendiri. Demi Allah, kedua mataku ini tidak pernah mendapati orang yang lebih luas ilmunya, dan yang lebih kuat kecerdasannya dari seorang yang bernama Ibn Taimiyah. Keistimewaannya ini ditambah lagi dengan sikap zuhudnya dalam makanan, dalam pakaian, dan terhadap perempuan. Kemudian ditambah lagi dengan konsistensinya dalam membela kebenaran dan berjihad sedapat mungkin walau dalam keadaan apapun. Sungguh saya telah lelah dalam menimbang dan mengamati sifat-sifatnya (Ibn Taimiyah) ini hingga saya merasa bosan dalam waktu yang sangat panjang. Dan ternyata saya medapatinya mengapa ia dikucilkan oleh para penduduk Mesir dan Syam (sekarang Siria, lebanon, Yordania, dan Palestina) hingga mereka membencinya, menghinanya, mendustakannya, dan bahkan mengkafirkannya, adalah tidak lain karena dia adalah seorang yang takabur, sombong, rakus terhadap kehormatan dalam derajat keilmuan, dan karena sikap dengkinya terhadap para ulama terkemuka. Anda lihat sendiri, alangkah besar bencana yang ditimbulkan oleh sikap “ke-aku-an” dan sikap kecintaan terhadap kehormatan semacam ini!”.
Berikut nasehat adz-Dzahabi terhadap Ibn Taimiyah yang ia tuliskan dalam risalah an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah, secara lengkap dalam terjemahannya sebagai berikut [Teks lebih lengkap dengan aslinya lihat an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah dalam dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, j. 2, h. 9-11]:
*****awal kutipan*****
“Segala puji bagi Allah di atas kehinaanku ini. Ya Allah berikanlah rahmat bagi diriku, ampunilah diriku atas segala kecerobohanku, peliharalah imanku di dalam diriku.
Oh… Alangkah sengsaranya diriku karena aku sedikit sekali memiliki sifat sedih!!
Oh… Alangkah disayangkan ajaran-ajaran Rasulullah dan orang-orang yang berpegang teguh dengannya telah banyak pergi!!
Oh… Alangkah rindunya diriku kepada saudara-saudara sesama mukmin yang dapat membantuku dalam menangis!!
Oh… Alangkah sedih karena telah hilang orang-orang (saleh) yang merupakan pelita-pelita ilmu, orang-orang yang memiliki sifat-sifat takwa, dan orang-orang yang merupakan gudang-gudang bagi segala kebaikan!!
Oh… Alangkah sedih atas semakin langkanya dirham (mata uang) yang halal dan semakin langkanya teman-teman yang lemah lembut yang menentramkan. Alangkah beruntungnya seorang yang disibukan dengan memperbaiki aibnya sendiri dari pada ia mencari-cari aib orang lain. Dan alangkah celakanya seorang disibukan dengan mencari-cari aib orang lain dari pada ia memperbaiki aibnya sendiri.
Sampai kapan engkau (Wahai Ibn Taimiyah) akan terus memperhatikan kotoran kecil di dalam mata saudara-saudaramu, sementara engkau melupakan cacat besar yang nyata-nyata berada di dalam matamu sendiri?!
Sampai kapan engkau akan selalu memuji dirimu sendiri, memuji-muji pikiran-pikiranmu sendiri, atau hanya memuji-muji ungkapan-ungkapanmu sendiri?! Engkau selalu mencaci-maki para ulama dan mencari-cari aib orang lain, padahal engkau tahu bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menyebut-menyebut orang-orang yang telah mati di antara kalian kecuali dengan sebutan yang baik, karena sesungguhnya mereka telah menyelesaikan apa yang telah mereka perbuat”.
Benar, saya sadar bahwa bisa saja engkau dalam membela dirimu sendiri akan berkata kepadaku: “Sesungguhnya aib itu ada pada diri mereka sendiri, mereka sama sekali tidak pernah merasakan kebenaran ajaran Islam, mereka betul-betul tidak mengetahui kebenaran apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad, memerangi mereka adalah jihad”. Padahal, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sangat mengerti terhadap segala macam kebaikan, yang apa bila kebaikan-kebaikan tersebut dilakukan maka seorang manusia akan menjadi sangat beruntung. Dan sungguh, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal (tidak mengerjakan) kebodohan-kebodohan (kesesatan-kesesatan) yang sama sekali tidak memberikan manfa’at kepada diri mereka. Dan sesungguhnya (Sabda Rasulullah); “Di antara tanda-tanda baiknya keislaman seseorang adalah apa bila ia meninggalkan sesuatu yang tidak memberikan manfa’at bagi dirinya”. (HR. at-Tirmidzi)
Hai Bung…! (Ibn Taimiyah), demi Allah, berhentilah, janganlah terus mencaci maki kami. Benar, engkau adalah seorang yang pandai memutar argumen dan tajam lidah, engkau tidak pernah mau diam dan tidak tidur. Waspadalah engkau, jangan sampai engkau terjerumus dalam berbagai kesesatan dalam agama. Sungguh, Nabimu (Nabi Muhammad) sangat membenci dan mencaci perkara-perkara [yang ekstrim]. Nabimu melarang kita untuk banyak bertanya ini dan itu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya sesuatu yang paling ditakutkan yang aku khawatirkan atas umatku adalah seorang munafik yang tajam lidahnya”. (HR. Ahmad)
Jika banyak bicara tanpa dalil dalam masalah hukum halal dan haram adalah perkara yang akan menjadikan hati itu sangat keras, maka terlebih lagi jika banyak bicara dalam ungkapan-ungkapan [kelompok yang sesat, seperti] kaum al-Yunusiyyah, dan kaum filsafat, maka sudah sangat jelas bahwa itu akan menjadikan hati itu buta.
Demi Allah, kita ini telah menjadi bahan tertawaan di hadapan banyak makhluk Allah. Maka sampai kapan engkau akan terus berbicara hanya mengungkap kekufuran-kekufuran kaum filsafat supaya kita bisa membantah mereka dengan logika kita??
Hai Bung…! Padahal engkau sendiri telah menelan berbagai macam racun kaum filsafat berkali-kali. Sungguh, racun-racun itu telah telah membekas dan menggumpal pada tubuhmu, hingga menjadi bertumpuk pada badanmu.
Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya diisi dengan tilâwah dan tadabbur, majelis yang isinya menghadirkan rasa takut kepada Allah karena mengingt-Nya, majelis yang isinya diam dalam berfikir.
Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya disebutkan tentang orang-orang saleh, karena sesungguhnya, ketika orang-orang saleh tersebut disebut-sebut namanya maka akan turun rahmat Allah. Bukan sebaliknya, jika orang-orang saleh itu disebut-sebut namanya maka mereka dihinakan, dilecehkan, dan dilaknat.
Pedang al-Hajjaj (Ibn Yusuf ats-Tsaqafi) dan lidah Ibn Hazm adalah laksana dua saudara kandung, yang kedua-duanya engkau satukan menjadi satu kesatuan di dalam dirimu. (Engkau berkata): “Jauhkan kami dari membicarakan tentang “Bid’ah al-Khamîs”, atau tentang “Akl al-Hubûb”, tetapi berbicaralah dengan kami tentang berbagai bid’ah yang kami anggap sebagai sumber kesesatan”. (Engkau berkata); Bahwa apa yang kita bicarakan adalah murni sebagai bagian dari sunnah dan merupakan dasar tauhid, barangsiapa tidak mengetahuinya maka dia seorang yang kafir atau seperti keledai, dan siapa yang tidak mengkafirkan orang semacam itu maka ia juga telah kafir, bahkan kekufurannya lebih buruk dari pada kekufuran Fir’aun. (Engkau berkata); Bahwa orang-orang Nasrani sama seperti kita. Demi Allah, [ajaran engkau ini] telah menjadikan banyak hati dalam keraguan. Seandainya engkau menyelamatkan imanmu dengan dua kalimat syahadat maka engkau adalah orang yang akan mendapat kebahagiaan di akhirat.
Oh… Alangkah sialnya orang yang menjadi pengikutmu, karena ia telah mempersiapkan dirinya sendiri untuk masuk dalam kesesatan (az-Zandaqah) dan kekufuran, terlebih lagi jika yang menjadi pengikutmu tersebut adalah seorang yang lemah dalam ilmu dan agamanya, pemalas, dan bersyahwat besar, namun ia membelamu mati-matian dengan tangan dan lidahnya. Padahal hakekatnya orang semacam ini, dengan segala apa yang ia perbuatan dan apa yang ada di hatinya, adalah musuhmu sendiri. Dan tahukah engkau (wahai Ibn Taimiyah), bahwa mayoritas pengikutmu tidak lain kecuali orang-orang yang “terikat” (orang-orang bodoh) dan lemah akal?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah orang pendusta yang berakal tolol?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah aneh yang serampangan, dan tukang membuat makar?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah seorang yang [terlihat] ahli ibadah dan saleh, namun sebenarnya dia adalah seorang yang tidak paham apapun?! Kalau engkau tidak percaya kepadaku maka periksalah orang-orang yang menjadi pengikutmu tersebut, timbanglah mereka dengan adil…!
Wahai Muslim (yang dimaksud Ibn Taimiyah), adakah layak engkau mendahulukan syahwat keledaimu yang selalu memuji-muji dirimu sendiri?! Sampai kapan engkau akan tetap menemani sifat itu, dan berapa banyak lagi orang-orang saleh yang akan engkau musuhi?! Sampai kapan engkau akan tetap hanya membenarkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang baik yang akan engkau lecehkan?!
Sampai kapan engkau hanya akan mengagungkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang yang akan engkau kecilkan (hinakan)?!
Sampai kapan engkau akan terus bersahabat dengan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang zuhud yang akan engkau perangi?!
Sampai kapan engkau hanya akan memuji-muji pernyataan-pernyataan dirimu sendiri dengan berbagai cara, yang demi Allah engkau sendiri tidak pernah memuji hadits-hadits dalam dua kitab shahih (Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim) dengan caramu tersebut?!
Oh… Seandainya hadits-hadits dalam dua kitab shahih tersebut selamat dari keritikmu…! Tetapi sebalikanya, dengan semaumu engkau sering merubah hadits-hadits tersebut, engkau mengatakan ini dla’if, ini tidak benar, atau engkau berkata yang ini harus ditakwil, dan ini harus diingkari.
Tidakkah sekarang ini saatnya bagimu untuk merasa takut?! Bukankah saatnya bagimu sekarang untuk bertaubat dan kembali (kepada Allah)?! Bukankah engkau sekarang sudah dalam umur 70an tahun, dan kematian telah dekat?! Tentu, demi Allah, aku mungkin mengira bahwa engkau tidak akan pernah ingat kematian, sebaliknya engkau akan mencaci-maki seorang yang ingat akan mati! Aku juga mengira bahwa mungkin engkau tidak akan menerima ucapanku dan mendengarkan nesehatku ini, sebaliknya engkau akan tetap memiliki keinginan besar untuk membantah lembaran ini dengan tulisan berjilid-jilid, dan engkau akan merinci bagiku berbagai rincian bahasan. Engkau akan tetap selalu membela diri dan merasa menang, sehingga aku sendiri akan berkata kepadaku: “Sekarang, sudah cukup, diamlah…!”.
Jika penilaian terhadap dirimu dari diri saya seperti ini, padahal saya sangat menyangi dan mencintaimu, maka bagaimana penilaian para musuhmu terhadap dirimu?! Padahal para musuhmu, demi Allah, mereka adalah orang-orang saleh, orang-orang cerdas, orang-orang terkemuka, sementara para pembelamu adalah orang-orang fasik, para pendusta, orang-orang tolol, dan para pengangguran yang tidak berilmu.
Aku sangat ridla jika engkau mencaci-maki diriku dengan terang-terangan, namun diam-diam engkau mengambil manfaat dari nasehatku ini. “Sungguh Allah telah memberikan rahmat kepada seseorang, jika ada orang lain yang menghadiahkan (memperlihatkan) kepadanya akan aib-aibnya”. Karena memang saya adalah manusia banyak dosa. Alangkah celakanya saya jika saya tidak bertaubat. Alangkah celaka saya jika aib-aibku dibukakan oleh Allah yang maha mengetahui segala hal yang ghaib. Obatnya bagiku tiada lain kecuali ampunan dari Allah, taufik-Nya, dan hidayah-Nya.
Segala puji hanya milik Allah, Shalawat dan salam semoga terlimpah atas tuan kita Muhammad, penutup para Nabi, atas keluarganya, dan para sahabatnya sekalian.
*****akhir kutipan*****
Sebenarnya ada informasi dan saksi yang menyampaikan bahwa ulama Ibnu Taimiyyah sebelum wafat telah sempat bertobat dari kesalahpahaman-kesalahpahamannya namun sayangnya informasi ini tidak tersampaikan dengan baik sehingga kesalahpahaman-kesalahpahaman beliau tetap diikuti oleh ulama-ulama lainnya seperti ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang hidup setelah 350 tahun lebih wafatnya ulama Ibnu Taimiyyah. Sebagaimana contoh yang diriwayatkan dalam tulisan pada http://arisandi.com/?p=964 berikut kutipannya
***awal kutipan****
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Beliau adalah mujaddid besar abad ke 7 Hijriyah yang sangat terkenal.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat(salinan) Ibnu Taimiyah. Khususnya dalam aspek ketauhidan, seakan-akan semua yang diidam-idamkan oleh Ibnu Taimiyah semasa hidupnya yang penuh ranjau dan tekanan dari pihak berkuasa, semuanya telah ditebus dengan kejayaan Ibnu `Abdul Wahab yang hidup pada abad ke 12 Hijriyah itu.
Setelah beberapa lama menetap di Mekah dan Madinah, kemudian beliau berpindah ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih lama, sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehinya, terutaman di bidang hadith danmusthalahnya, fiqh dan usul fiqhnya, gramatika (ilmu qawa’id) dan tidak ketinggalan pula lughatnya semua.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan.
****akhir kutipan*****
Padahal ulama-ulama terdahulu telah memperingatkan agar menghindari kitab-kitab ulama Ibnu Taimiyyah karena pemahamannya telah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang Empat, sebagaimana yang disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf maupun pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/12/07/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/
Begitu juga ulama-ulama negeri kita telah memperingatkan kita untuk meninggalkan pemahaman Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya seperti contohnya Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Menurut Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, ulama-ulama seperti ulama Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qoyyim al Jauziah dan Muhammad bin Abdul Wahhab telah keluar daripada pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah dan dan menyalahi pemahaman para pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab. Antara lain tulisannya ialah ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ dan lain-lain
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Files:
http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/12/nasehat-adzahabi-utk-taimiyah-1.jpg
http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/12/nasehat-adzahabi-utk-taimiyah-2.jpg
http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/12/nasehat-adzahabi-utk-taimiyah-3.jpg
http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/12/nasehat-adzahabi-utk-taimiyah-4.jpg
« Tharikat
Kenali diri
4 November 2010 oleh mutiarazuhud
Mengenal diri itu adalah “anak kunci” untuk Mengenal Allah sebagaimana yang telah disampaikan oleh para ulama yang sholeh sejak dahulu kala.
MAN ‘ARAFA NAFSAHU FAQAD ‘ARAFA RABBAHU
(Siapa yang kenal kenal dirinya akan Mengenal Allah)
Firman Allah Taala :
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fush Shilat [41]:53 )
Tidak ada hal yang melebihi diri sendiri. Jika anda tidak kenal diri sendiri, bagaimana anda hendak tahu hal-hal yang lain? Yang dimaksudkan dengan Mengenal Diri itu bukanlah mengenal bentuk lahir anda, tubuh, muka, kaki, tangan dan lain-lain anggota anda itu. karena mengenal semua hal itu tidak akan membawa kita mengenal Alloh. Dan bukan pula mengenal perilaku dalam diri anda yaitu bila anda lapar anda makan, bila dahaga anda minum, bila marah anda memukul dan sebagainya. Jika anda bermaksud demikian, maka binatang itu sama juga dengan anda. Yang dimaksudkan sebenarnya mengenal diri itu ialah:
Apakah yang ada dalam diri anda itu?
Dari mana anda datang? Kemana anda pergi? Apakah tujuan anda berada dalam dunia fana ini? Apakah sebenarnya bagian dan apakah sebenarnya derita?
Sebagian daripada sifat-sifat anda adalah bercorak kebinatangan. Sebagian pula bersifat Iblis dan sebagian pula bersifat Malaikat. Anda hendaklah tahu sifat yang mana perlu ada, dan yang tidak perlu. Jika anda tidak tahu, maka tidaklah anda tahu di mana letaknya kebahagiaan anda itu.
Kerja binatang ialah makan, tidur dan berkelahi. Jika anda hendak jadi binatang, buatlah itu saja. Iblis dan syaitan itu sibuk hendak menyesatkan manusia, pandai menipu dan berpura-pura. Kalau anda hendak menurut mereka itu, lakukan sebagaimana kerja-kerja mereka itu. Malaikat sibuk dengan memikir dan memandang Keindahan Ilahi. Mereka bebas dari sifat-sifat kebinatangan.
Jika anda ingin bersifat dengan sifat KeMalaikatan, maka berusahalah menuju asal anda itu agar dapat anda mengenali dan menuju pada Alloh Yang Maha Tinggi dan bebas dari belenggu hawa nafsu. Sebaiknya hendaklah anda tahu kenapa anda dilengkapi dengan sifat-sifat kebintangan itu.
Adakah sifat-sifat kebinatangan itu akan menaklukkan anda atau adakah anda menakluki mereka?. Dan dalam perjalanan anda ke atas martabat yang tinggi itu, anda akan gunakan mereka sebagai tunggangan dan sebagai senjata.
Langkah pertama untuk mengenal diri ialah mengenal bahwa anda itu terdiri dari bentuk yang zhohir, yaitu tubuh ; dan hal yang batin yaitu hati atau Ruh . Yang dimaksudkan dengan “HATI” itu bukanlah daging yang terletak dalam sebelah kiri tubuh.
Yang dimaksudkan dengan “HATI” itu ialah satu hal yang dapat menggunakan semua kekuatan, yang lain itu hanyalah sebagai alat dan kaki tangannya saja. Pada hakikat hati itu bukan termasuk dalam bidang Alam Nyata(Alam Ijsam) tetapi adalah termasuk dalam Alam Ghaib. Ia datang ke Alam Nyata ini ibarat pengembara yang melawat negeri asing untuk tujuan berniaga dan akhirnya kembali akan kembali juga ke negeri asalnya. Mengenal hal seperti inilah dan sifat-sifat itulah yang menjadi “Anak Kunci” untuk mengenal Alloh.
ISLAM yang telah Allah redhakan untuk menjadi agama kita, dan disampaikan melalui utusan-Nya Nabi Muhammad SAW merupakan satu syariat yang mencakup persoalan hidup lahir dan batin. Syariat lahir disebut syariat. Syariat batin disebut hakikat. Hal itu sangat sesuai dengan struktur kejadian manusia itu sendiri yang merupakan kombinasi antara jasad lahir dan jasad batin.
Jasad lahir adalah semua anggota tubuh kita yang nampak dengan mata. Sedangkan jasad batin adalah jasad gaib yang menggerakkan seluruh anggota lahir. Jasad batin dapat merasa, mengingat, memikirkan, mengetahui, memahami segala sesuatu yang terjadi di dalam diri kita masing-masing. Allah SWT menetapkan bahwa syariat lahir untuk diamalkan oleh jasad lahir sedangkan syariat batin untuk diamalkan oleh jasad batin yaitu ruh.
Sesuai dengan keadaan lahir batin kita yang saling berkaitan erat tanpa terpisah-pisah maka begitu pula amalan lahir dan batin wajib dilaksanakan secara serentak di setiap waktu dan keadaan. Kalau kita membeda-bedakan atau menolak salah satu dari amalan itu, maka kita tidak mungkin menjadi hamba Allah yang sebenarnya sebab Islam memandang syariat itu sebagai kulit, sedangkan hakikat itu adalah intipati.
Kedua-duanya sama-sama penting dan saling memerlukan, ibarat kulit dan isi pada buah-buahan. Keduanya mesti ada untuk kesempurnaan wujud buah itu sendiri. Tanpa kulit, isi tidak selamat malah isi tidak mungkin ada kalau kulit tidak ada. Sebaliknya tanpa isi, kulit jadi tidak berarti apa-apa. Sebab buah yang dimakan adalah isinya bukan kulitnya.
Begitu juga hubungan syariat dan hakikat. Keduanya mesti diterima dan diamalkan serentak. Keduanya saling mengisi dan memerlukan. Kalau kita bersyariat saja (artinya berkulit saja tanpa isi), itu tidak membawa arti apa-apa di sisi Allah.
Sabda Rasulullah SAW:
Terjemahannya : “Allah tidak memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu.” (Riwayat : Muslim)
Sebaliknya kalau kita berhakikat saja (isi tanpa kulit), maka tidak ada jaminan keselamatan dari Allah SWT. Hakikat itu akan mudah rusak, dan kita sama sekali tidak akan memperoleh apa-apa, bahkan agama Islam yang kita anut akan rusak tanpa kita sadari.
Berkata Imam Malik Rahimahullahu Taala:
Terjemahannya : “Barangsiapa berfiqih (syariat) dan tidak bertasawuf maka ia jadi fasik. Barangsiapayang bertasawuf (hakikat) tanpa fiqih maka ia adalah kafir zindik.”
Artinya kita mesti mengamalkan keduanya sekaligus, yaitu syariat dan hakikat. Kalau kita pilih salah satu, kita tidak akan selamat. Kalau kita bersyariat saja tanpa dilindungi oleh hakikat, kita akan menjadi fasik. Dan kalau kita berhakikat saja tanpa dikawal oleh syariat, maka hakikat itu akan mudah rusak sehingga kita jatuh kafir zindik (kafir tanpa sadar).
Begitulah pentingnya syariat dan hakikat. Tetapi bila kedua-duanya ada, maka hakikatlah yang lebih utama.
Seperti dalam sabda Rasulullah SAW:
Terjemahannya : Allah tidak memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu. (Riwayat : Muslim)
Hadis itu tidak bermaksud bahwa syariat tidak penting. Bahkan syariat juga adalah hukum-hukum fardhu yang wajib diamalkan oleh seluruh umat Islam. Hanya saja dalam keadaan keduanya (syariat dan hakikat) itu sama-sama diamalkan, Allah memberi keutamaan pada amalan hakikat. Perbandingannya seperti antara kulit dan isi buah. Kedua-duanya sama penting, tetapi manusia memberi keutamaan pada isi sebab bisa dimakan.
Begitulah peranan hakikat. Peranannya menentukan berakhlak atau tidaknya seorang manusia kepada Allah dan kepada sesama manusia. Orang yang kuat amalan batinnya atau tinggi pencapaian tasawufnya adalah orang yang hatinya selalu dekat dengan Allah. Ia senantiasa merasakan kebesaran Allah, dibandingkan dirinya yang maha lemah dan senantiasa memerlukan pertolongan Allah. Ia sangat beradab dengan Allah dan dapat mengorbankan dunia untuk Tuhannya. Ia juga mampu mengasihi semua manusia, bersedia susah untuk manusia dan akan menyelamatkan manusia dari tipuan dunia, nafsu dan syaitan.
Sebaliknya orang yang lemah dalam amalan batin adalah orang yang hatinya jauh dan terpisah dari Allah. Ia tidak takut dengan Allah, tidak malu, tidak harap, dan tidak cinta kepada Allah. Ia tidak redha dan tidak sabar, kurang beradab dengan Allah, penuh hasad dengki, sombong, bakhil, dendam dan pemarah. Ia akan menjadi seorang pencinta dunia yang bekerja keras hanya untuk dunianya. Orang seperti itu selalu dibelenggu oleh kecintaan kepada dunia hingga takut berjuang dan berjihad untuk agama Allah serta untuk kehidupan akhirat yang kekal abadi.
Orang yang tidak berhakikat, sekalipun melakukan ibadah shalat, puasa, dan banyak membaca Al Quran serta gigih berjuang adalah orang yang kurang berakhlak dengan Allah dan kurang berakhlak dengan manusia.
Kurangnya amalan batin dapat menyebabkan orang-orang yang tidak berhakikat itu biasanya mati dalam dosa yang tidak sadar. Mungkin dosa karena buruk sangka dengan Allah, putus asa dengan ketentuan Allah, tidak redha dengan takdir Allah atau dosa karena merasa bahwa amalannya lah yang akan menyelamatkan dirinya dari neraka Allah.
Rasa riya’, ujub atau merasa diri bersih itu pun adalah dosa batin. Dosa batin, tak seorang pun yang dapat melihatnya, bahkan diri sendiri pun tidak dapat merasakannya. Hanya orang yang mempunyai basirah (pandangan hati yang tembus) saja yang dapat mengetahuinya.
Nanti, bila Allah bukakan segala kesalahan (dosa-dosa batin itu) di akhirat, barulah manusia akan terkejut dan tersentak.
Ulama tasawuf berkata:
“Biarlah sedikit amalan beserta rasa takut pada Allah, karena itu lebih baik daripada banyak amalan tetapi tidak ada rasa takut dengan Allah. Lebih baik orang yang merasa berdosa dan bersalah dengan Allah daripada orang yang banyak amalan tetapi tidak rasa berdosa pada Allah bahkan dia merasa telah cukup dengan amalan itu.”
Firman Allah :
Terjemahannya : Hari kiamat ialah hari dimana harta dan anak-anak tidak dapat memberi manfaat, kecuali mereka yang menghadap Allah membawa hati yang selamat sejahtera.(Asy Syuara: 88-89)
Hati yang selamat sejahtera ialah hati orang bertaqwa yang berisi iman, yakin, ikhlas, redha, sabar, syukur, tawakal, takut, harap dan lain-lain rasa hati dengan Allah SWT. Hati yang senantiasa merasa sehat dalam kesakitan, kaya dalam kemiskinan, ramai dalam kesendirian, lapang dalam kesempitan dan terhibur dalam kesusahan. Ia bersikap redha dengan apa saja pemberian Tuhan-Nya.
Untuk memperoleh hati yang seperti itu, kita mesti bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu untuk melakukan amalan lahir dan batin (syariat dan hakikat). Kedua-duanya akan saling mengawal untuk mengangkat kita ke taraf taqwa.
Syariat dan hakikat akan mendidik dan memimpin kita menjadi seorang insan kamil yang mampu memenuhi keinginan dan keperluan fitrah murni manusia secara suci lagi mulia. Orang seperti itulah yang Allah maksudkan sebagai golongan As Siddiqin atau golongan Al ‘Arifin. Sifat mereka Allah uraikan dalam Surah Al Furqaan ayat 63-74:
Terjemahannya : “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang (hamba-hamba yang baik) itu ialah mereka yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan mereka yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (orang-orang yang melakukan shalat tahajjud di malam hari semata-mata karena Allah). Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab jahannam dari kami. Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal.” Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) bakhil, dan adalah (perbelanjaan itu) pertengahan. Dan mereka juga tidak mengharap (menyembah) yang lain di samping Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (orang Islam) kecuali yang dibenarkan syarak (pembunuh, penzina, murtad) dan tidak juga berzina. Barang siapa yang melakukan yang demikian itu niscaya dia akan menerima pembalasan dosanya. (Yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina. Kecuali mereka yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal soleh, kejahatan mereka Allah gantikan dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal soleh maka sesungguhnya mereka bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka tidak menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. Dan orang-orang yang sering berdoa, “Ya Tuhan kami anugerahkanlah kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
Merekalah orang-orang bertaqwa yang akan memperoleh ketenangan hidup di dunia dan di akhirat. Mereka adalah tempat untuk kita mempelajari dan mencontoh kehidupan yang aman dan bahagia. Suasana seperti itu pernah terjadi, yaitu dalam kehidupan salafussoleh. Mereka telah menjalani suatu kehidupan, di mana mereka menerima dan mengamalkan sepenuhnya kehendak syariat dan hakikat. Hasilnya, mereka (para salafussoleh) menjadi orang-orang yang bahagia dan membahagiakan orang lain.
Sejarah 15 abad yang silam memberitahu kepada kita bahwa 3/4 dunia menjadi tenang, aman dan damai di bawah pemerintahan mereka. Kawan maupun lawan merasa selamat berada di dalam kekuasaan mereka. Demikianlah satu kenyataan yang membuktikan bahwa sekiranya manusia patuh menjalani syariat lahir dan batin, maka selamat dan berbahagialah mereka di dunia dan di akhirat.
Allah berfirman :
Terjemahannya : “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan amal soleh di antara kamu bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dia akan menegakkan bagi mereka agama yang telah diredhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang ingkar sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang fasik.” (QS An Nur [24] : 55 ) .
Sumber : berbagai sumber antara lain http://www.gagakmas.org/kenali/kenalidiri.html
Perbaguslah hubungan dengan Allah
Wahai Tuhanku
Aku bukan orang yang pantas tinggal di surga-Mu
Tetapi aku juga tak sanggup di neraka-Mu
Anugerahi aku kemampuan kembali pada-Mu
Dan ampuni dosa-dosaku
Pengakuan di atas mempunyai makna bahwa kita dapat masuk surga bukan karena semata-mata amal kita namun karena anugerahNya, karuniaNya dan ampunanNya.
Kita paham bahwa seseorang tidak bisa dipastikan masuk surga walaupun ia telah melakukan amalan-amalan yang baik.[ibadahnya nampak ikhlas, dan ketaatannya demikian tinggi] dan jalan kehidupannya pantas untuk diteladani- kecuali jika diijinkan oleh Allah, sebagai keutamaan yang diberikan kepadanya. Maka dengan keutamaan dan karunia-Nya itu ia masuk surga.
Karena amal baik yang ia lakukan tidaklah dapat dilakukan dengan mudah kecuali karena kemudahan/pertolongan dari Allah. Jika Allah tidak memberi kemudahan / pertolongan niscaya ia tidak dapat melakukannya. Dan jika Allah tidak mengarunianya hidayah niscaya ia tidak mendapat hidayah selama-lamanya, [meskipun ia telah berupaya keras].
Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala:”...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
Allah juga berfirman memberitakan tentang penduduk surga:”..Dan mereka berkata: “segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini, dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk..” (QS Al-A’raaf:43).
Ahli ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadah mereka, memandang pengetahuan bahasa Arab mereka, memandang ilmu dan pemahaman agama mereka.
Lalu bagaimana upaya kita agar mendapatkan kemudahan atau pertolongan dari Allah ?
Perbaguslah hubungan kita dengan Allah.
Bagaiamana kita dapat melangsungkan hubungan dengan Allah ?
- Kenalilah Allah (ma’rifatullah).
- Akhlak yang baik dihadapan Allah atau akhlakul karimah yakni keadaan sadar (kesadaran) atau perilaku secara sadar dan mengingat Allah.
- Berinteraksilah dengan Allah, berinteraksi melalui firman-firmanNya, baca, pahami dan jalankanlah petunjukNya, sebagai contoh ketahuilah dan lakukanlah apa yang Allah cintai dari hambaNya, dan hindari apa yang Allah tidak sukai seperti,
- – Allah mencintai muslim yang bertobat
- – Allah mencintai muslim yang mensucikan dirinya
- – Allah menyukai muslim yang bersih
- – Allah menyukai muslim yang bertaqwa
- – Allah menyukai muslim yang bertawakal kepadaNya
- – Allah mencintai muslim yang berbuat baik.
- – Allah mencintai muslim yang zuhud di dunia.
- – Allah mencintai muslim yang sabar
- – Allah mencintai muslim yang menepati janji
- – Alah mencintai muslim yang berlaku adil
- – Allah mencintai muslim bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min
- – Allah mencintai muslim yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir
- – Allah mencintai muslim yang berjihad dijalan Allah.
- – Allah mencintai muslim yang berperang dijalan Allah dalam barisan yang teratur.
- – Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong , membanggakan diri.
- – Allah tidak menyukai orang-orang kafir
- – Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
- – Allah tidak menyukai orang-orang yang ingkar
- – Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim
- – Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
- – Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan
- – Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat
- – Allah tidak menyukai orang-orang yang bergelimang dosa
- – Allak tidak menyukai ucapan yang buruk kecuali orang yang teraniaya.
Marilah dengan ibadah puasa Ramadhan, kita dapat merasakan pertemuan dengan Allah sehingga kesempatan yang baik bagi kita untuk dapat memperbagus hubungan dengan Allah.
“Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari).
Bagaimana dengan puasa kita dapat merasakan pertemuan dengan Allah ?
Silahkan baca tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/05/hakikat-puasa/
Wassalam
Keselamatan Dunia Akhirat
9 Agustus 2010 oleh mutiarazuhud
Berangkat dari banyaknya permasalahan yang terjadi pada zaman modern ini, pada negeri ini, sesungguhnya pokok permasalahan ada pada masalah akhlak. Apa yang kita dapat ambil pelajaran dari perilaku penguasa, pengusaha, artis, pekerja, orang-orang tua, generasi muda, mahasiswa, pelajar atau rakyat pada umumnya bermasalah karena akhlak mereka. Mereka yang dzalim, korupsi, kolusi, mafia kasus/hukum, berzina, pornografi, narkotika, miras, berkelahi/kerusuhan, gaya hidup berlebihan, rakus dan cinta dunia dan perbuatan buruk lainnya pada dasarnya timbul dari akhlak yang buruk. Mereka melakukan kerusakan di muka bumi.
Untuk itu kita perlu mensosialisasikan tentang akhlakul karimah.
Akhlakul karimah adalah keadaan sadar (kesadaran) atau perilaku/perbuatan secara sadar dan mengingat Allah (zikrullah).
Selain sosialisasi , wajib kita memasukkan tentang akhlakul karimah kedalam sistem pendidikan agar dihasilkan sumber daya manusia yang berakhlakul karimah.
Dalam tulisan kali ini, Insyaallah saya mencoba menguraikan tentang akhlakul karimah.
Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat
Kita, muslim sudah paham dan sering mengucapkan doa keselamatan dunia dan akhirat berdasarkan firman Allah yang artinya,
“Dan di antara mereka ada orang yang bendo’a: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” (QS Al Baqarah [2] : 201 )
Selain berdoa kita diwajibkan mengiringinya dengan ikhtiar atau upaya.
Apakah ikhtiar atau upaya kita menuju keselamatan dunia dan akhirat ?
Kuncinya adalah berupaya menjadi hamba-hamba Allah yang sholeh (‘ibaadillaahish shoolihiin), mukmin yang sholeh, mukmin yang berakhlakul karimah, mukmin yang terbaik, mukmin yang ihsan atau muhsin, Mukmin yang seolah-olah melihatNya atau miminal mukmin yang yakin bahwa Allah melihat kita.
Kunci keselamatan dunia dan akhirat berdasarkan doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mi’raj dan menghadap Allah Subhaanahu wa Ta‘ala.
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam membaca, “Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin” yang artinya “Keselamatan semoga bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”. Do’a yang selalu kita baca pula setiap sholat.
Pokok-pokok ajaran dalam agama Islam adalah
Islam (rukun Islam / fikih),
Iman (rukun Iman / Usuluddin/I’tiqad),
Ihsan (akhlak / tasawuf)
Berdasarkan pokok-pokok ajaran dalam agama Islam maka tingkatan manusia sebagai berikut:
Muslim (muslimin) => Mukmin (mukminin) => Muhsin (muhsinin)
Tingkatan pertama (paling rendah) dalam tingkatan muhsin (muhsinin) adalah “selalu merasa dilihat Allah”. Sampai disini belum muncul akhlakul karimah.
Barulah ketika merasakan seolah-olah melihat Allah (tingkatan kedua) akan muncul akhlak tersebut sehingga mencapai muslim yang sholeh sebagaimana yang telah dicapai pula oleh Salafush sholeh atau “‘ibaadillaahish shoolihiin” , hamba-hamba Allah yang sholeh
Dzikir jahar dan dzikir khofi dapat kita lakukan dalam upaya untuk selalu mengingat Allah yang merupakan sebuah latihan untuk memunculkan akhlakul karimah karena selalu merasa dilihat Allah.
Rumusan sederhananya,
“Seolah-olah melihatNya” = Akhlakul karimah = Keadaan sadar (kesadaran) atau perilaku/perbuatan secara sadar dan mengingat Allah.
Oleh karenanya dalam Al-Qur’an selalu diingatkan untuk orang-orang mukmin untuk meningkatkan diri untuk mencapai tingkatan muhsin (muhsinin) dengan contoh keadaan sadar (kesadaran) atau perilaku/perbuatan secara sadar dan mengingat Allah yakni, sabar, shalat dan zakat
“Hai orang-orang yang beriman (mukmin), jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar“. ( QS al Baqarah [2] : 153 )”
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati“. (QS al Baqarah [2]: 277 )
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)“. (QS al Maaidah [5] : 55 )
Sabar adalah contoh keadaan sadar (kesadaran) dan mengingat Allah dalam hubungannya dengan Allah dan Manusia.
Sholat adalah contoh perbuatan yang dilakukan secara sadar dan mengingat Allah dalam hubungannya dengan Allah
Zakat adalah contoh perbuatan yang dilakukan secara sadar dan mengingat Allah dalam hubungannya antar manusia.
Melihat hasil dari keyakinan
Untuk menjelaskan tentang ‘Seolah-olah melihatNya”, marilah kita ambil hikmah dari cerita anak dan ayah yang berjalan dalam kegelapan malam.
Syaikh ibnu Athoillah mengatakan “Orang yang ikut mengatur bersama Allah adalah seperti anak yang pergi bersama ayahnya. Keduanya berjalan di malam hari. Karena menyayangi anaknya, sang ayah senantiasa mengawasi dan memperhatikannya tanpa diketahui sang anak. Anak itu tidak bisa melihat ayahnya karena malam yang teramat gelap. Ia meresahkan keadaan dirinya dan tidak tahu apa yang harus diperbuat. Ketika cahaya bulan menyinari dan ia melihat ayahnya dekat kepadanya, keresahannya sirna. Ia tahu ayahnya begitu dekat dengannya. Kini ia merasa tidak perlu ikut mengurus dirinya karena segala sesuatu telah diperhatikan oleh ayahnya. Seperti itulah orang mengatur untuk dirinya. Ia melakukannya karena berada dalam kegelapan – terputus dari Allah. Ia tidak merasakan kedekatan Allah. Andaikata bulan tauhid atau mentari makrifat menyinarinya, tentu ia melihat Tuhan begitu dekat, sehingga ia malu untuk mengatur dirinya dan merasa cukup dengan pengaturan Allah”.
Anak itu melihat ayahnya, setelah lepas dari kegelapan malam karena cahaya bulan ===> timbul keyakinan ===> keresahannya sirna, anak itu yakin bahwa ayahnya begitu dekat, anak itu merasa (yakin) tidak perlu mengurus dirinya karena segala sesuatu telah diperhatikan oleh ayahnya, anak itu yakin bahwa ayahnya mengawasi (melihat) dirinya.
Intinya, Anak itu melihat ayahnya ===> maka timbul keyakinan.
Sedangkan kita terhadap Allah kebalikan dari hal ini.
Dari keyakinan yang ada ===> maka timbul (mendapatkan karuniaNya) seolah-olah melihatNya.
Keyakinan bahwa Allah melihat/mengawasi kita. Berdasarkan firman Allah yang artinya,
“Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS al Hujurat [49]:18 )
Keyakinan bahwa Allah mengurus kita. Berdasarkan firman Allah yang artinya,
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya” (QS Ali Imran [3]:2 )
Keyakinan bahwa Allah itu dekat. Berdasarkan firman Allah yang artinya,
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah [56] : 85 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [50] : 16 )
Berdasarkan keyakinan-keyakinan diatas dan keyakinan yang lainnya maka kita dapat merasakan seolah-olah melihatNya, mengalami kebersamaan dengan Allah (Billah) , bertemu dengan Allah di dunia.
Selanjutnya kita berupaya menjaga dan memelihara keyakinan-keyakinan (iman) tersebut sampai akhirat kelak dimana pertemuan dengan Allah sesungguhnya dengan wajah berseri-seri.
Firman Allah yang artinya,
“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS Al Qiyaamah [75] : 22-23 )
Upaya menjaga dan memelihara keyakinan-keyakinan (iman) itulah yang disebut dengan taqwa kepada Allah, sedangkan kunci taqwa adalah akhlakul karimah = Keadaan sadar (kesadaran) atau perilaku yang sadar dan mengingat Allah. Kata Taqwa merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yang artinya adalah memelihara atau menjaga
Akhlakul karimah, mengingat Allah (zikrullah) inilah yang memotivasi kita untuk menjadi muslim yang sholeh (‘ibaadillaahish shoolihiin), memotivasi kita mentaati perintahNya dan menjauhi laranganNya sehingga kita dapat menjadi orang-orang yang mulia di sisi Allah, pada shaf-shaf terdepan dan terdekat dengan Allah, dekat dengan Tauladan kita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Nabi dan Rasul Allah, para Salafush Sholeh, para muslim pilihan Allah.
Terlintas di benak.
“Seolah-olah melihatNya” , kata “melihat” ini sebaiknya tidak dimaknai secara dzahir sehingga mengharapkan akan terlintas, terbentuk, tergambar dalam benak.
Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Dzu an-Nun al Mishri (W. 245 H) salah seorang murid terkemuka al Imam Malik menuturkan kaidah yang sangat bermanfaat dalam ilmu Tauhid:
Maknanya: “Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu“. Perkataan ini dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al Fadll at-Tamimi dalam kitabnya I’tiqad al Imam al Mubajjal Ahmad ibn Hanbal dan diriwayatkan dari Dzu an-Nun al Mishri oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Dan ini adalah kaidah yang merupakan Ijma’ (konsensus) para ulama. Karena tidaklah dapat dibayangkan kecuali yang bergambar. Dan Allah adalah pencipta segala gambar dan bentuk, maka Ia tidak ada yang menyerupai-Nya.
Al Imam asy-Syafi’i -semoga Allah meridlainya– berkata: “Barang siapa yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya (Allah) hingga meyakini bahwa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allah, maka dia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), kafir.
Dan jika dia berhenti pada keyakinan bahwa tidak ada tuhan (yang mengaturnya) maka dia adalah mu’aththil -atheis- (orang yang meniadakan Allah).
Dan jika berhenti pada keyakinan bahwa pasti ada pencipta yang menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahwa dia tidak akan bisa membayangkan-Nya maka dialah muwahhid (orang yang mentauhidkan Allah); muslim”. (Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dan lainnya)
Melihat dibalik ciptaanNya
“Seolah-olah melihatNya”, mata kepala kita melihat benda/makhluk atau ciptaanNya tapi akal dan qalbu / mata hati (bashirah) melihat siapa Pencipta semuanya.
Mata hati (bashirah) melihat Allah di balik semuanya.
Begitulah seolah-olah melihat Allah.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Al Imam asy-Syafi’i -semoga Allah meridlainya–
“Jika berhenti pada keyakinan bahwa pasti ada pencipta yang menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahwa dia tidak akan bisa membayangkan-Nya maka dialah muwahhid (orang yang mentauhidkan Allah); muslim“
Seolah-olah melihatNya termasuk ulil albab (orang-orang berakal), sebagaimana firman Allah yang artinya
“yakni, orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka“. (QS Ali Imran : 191).
Muslim yang dapat merasakan seolah-olah melihatNya, dalam kehidupannya akan dapat “bercengkerama” atau berinteraksi dengan Allah, berinteraksi melalui firman-firmanNya. Muslim yang akan menikmati apa-apa yang telah diputuskan atau dipilihkan Allah untuk kita
Keniikmatan ini sesuai dengan nasehat (diwan) Al Imam asy-Syafi’i -semoga Allah meridlainya– bahwa
“Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf / akhlakul karimah, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan / kenikmatan takwa” Jadi untuk mendapatkan kenikmatan taqwa maka kita harus menjalankan tasawuf. Ingat menjalankan tasawuf, bukan memahami tasawuf karena tasawuf adalah keadaan, perilaku atau perbuatan.
Intinya kita wajib menjaga dan memelihara keadaan sadar (kesadaran) atau perilaku yang sadar dan mengingat Allah.
Muslim yang sholeh, muslim yang Ihsan, muslim yang seolah-olah melihatNya dalam menjalankan kehidupan di dunia tidak akan khawatir dan bersedih hati karena dapat merasakan bahwa Allah bersama kita (Billah), sebagaimana firman Allah yang artinya,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS al Baqarah [2]: 277 )
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS Ar Ra’d [13] : 28 )
“Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir” (QS at Taubah [9]: 26 ).
“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu’min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS al Fath [48] : 26)
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS Al Baqarah [2]: 153)
“….Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al Ankabut [29] : 45 )
Allah beserta orang-orang beriman (mukmin) yang sabar (akhlakul karimah) yang bisa menjadikan sholat sebagai mengingat Allah.
Muslim ====> Mukmin ==== > Mukmin yang sabar = Muhsin = Muslim yang Sholeh (‘ibaadillaahish shoolihiin) = Hamba-hamba Allah yang menuju keselamatan dunia maupun Akhirat
Mengingat Allah
10 Juli 2010 oleh mutiarazuhud
Revolusi akhlak bagi muslim di negeri kita dengan solusi selalu mengingat Allah
Kita sebagai muslim yang mengadakan “perjalanan” di alam dunia, secara tidak disadari menggantungkan cita-cita maupun tujuan hidup yang umumnya hubud dunya, cinta dunia.
Padahal Allah, telah memperingatkan kita dalam firmanNya, yang artinya
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, maka Kami penuhi balasan pekerjaan-pekerjaannya di dunia dan mereka tidak akan dirugikan sedikitpun. Tetapi di akhirat tidak ada bagi mereka bagian selain neraka. Dan sia-sialah apa-apa yang mereka perbuat di dunia dan batallah apa-apa yang mereka amalkan”. (QS. Hud : 15-16)
Sebaiknya kita sebagai muslim harus berupaya atau bercita-cita menjadi muslim yang terbaik. Inilah perwujudan apa yang disunnahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yakni menjadi muslim yang Ihsan (muhsin). Ihsan adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti “kesempurnaan” atau “terbaik.”
Sewaktu Jibril bertanya-jawab dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di depan para sahabat, Ihsan maksudnya adalah ”seolah-olah kita melihat-Nya walaupun kita tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat kita”
Keadaan muslim yang Ihsan , “seolah-olah melihatNya” akan memotivasi kita untuk melaksanakan perintahNya, menjauhi laranganNya.
Muslim yang “seolah-olah melihatNya”, akan menjauhi laranganNya seperti, sombong, riya, ujub, bohong, korupsi, mafia kasus/hukum, membuka aurat di depan orang yang tidak berhak, pornografi atau pornoaksi, zina, narkoba, riba dll. Inilah solusi untuk revolusi akhlak bagi muslim di negeri kita ini.
Bagaimanakah kita mewujudkan “seolah-olah melihatNya” atau bertemu Allah atau dekat dengan Allah atau bersama Allah (billah) ?
Imam Qusyairi mengatakan
“Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.
Dengan selalu sadar dan ingat kepada Allah (mengingat Allah), seorang muslim dapat mencapai tingkatan Ihsan, ”seolah-olah melihat-Nya”.
Penuhilah hati kita dengan selalu mengingat Allah, kita akan mencapai muslim yang Ihsan (muhsin), “seolah-olah melihat-Nya”.
Sebagaimana yang dikisahkan seorang pemuda dengan kekasih wanita nya. Di mana pemuda itu setiap akan makan, mandi, tidur dan perbuatan lainnya selalu mengingat sang kekasih dan hatinya dipenuhi kekasihnya atau kekasihnya selalu hadir di hati pemuda itu, maka pemuda itu akan ”seolah-olah melihat kekasihnya”. Pemuda tersebut “seolah-olah” menjadi hamba sang kekasih.
Begitu pula bagi seorang muslim, yang mengingat Allah setiap melakukan perbuatan seperti ketika makan, mandi, tidur, mengadakan perjalanan dan perbuatan yang lain, muslim yang selalu mengingat Allah, sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi akan mencapai tingkatan ihsan, “seolah-olah melihatNya”. Muslim yang menjadi hamba Allah.
Agar kehidupan kita di alam dunia ini selalu mengingat Allah maka seluruh perbuatan kita di alam dunia harus dengan sadar dan selalu mengingat Allah. Semua perbuatan muslim di alam dunia harus karena Allah (lillah) dan bersama atau dengan pertolongan Allah (billah).
Ini sekaligus bantahan bagi kaum sekuler yang memisahkan urusan dunia dengan urusan dengan Tuhan atau agama. Sehingga kelirulah bagi muslim yang mengatakan Agama Islam : Yes, Partai Islam : No.
Apapun perbuatan, profesi, organisasi, institusi, lembaga, partai politik, jama’ah minal muslimin, harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits. Para pendiri negeri inipun menyadari bahwa pendirian atau kemerdekaan negara adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Oleh karenanya kelirulah manusia yang merasa hidup seorang diri dan segala sesuatu merupakan adalah upaya manusia sendiri sehingga lupa mengingat Allah. Sehingga ada yang merasa gagal dalam upaya dan hidupnya serta merasa seorang diri menjalankan kehidupannya, akhirnya mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara bunuh diri.
Padahal Allah, setelah menciptakan Manusia, Dia tidak membiarkan ciptaanNya begitu saja. Dia mengurusi manusia dengan ke Maha Pemurah dan Maha Penyayang Nya. Sungguh seorang manusia dalam perjalanannya di alam dunia tidaklah seorang diri, kita selalu dekat dengan Allah, hanya kita menghijabi diri dari Allah. Salah satu hijabnya adalah ego diri atau kesombongan diri.
Firman Allah yang artinya,
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur” (QS al Baqarah 2 : 255) .
Katakanlah: “Siapakah yang dapat memelihara kamu di waktu malam dan siang hari dari (azab Allah) Yang Maha Pemurah?” Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang berpaling dari mengingati Tuhan mereka. (QS al Anbiyaa 21:42)
“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi ? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya)” (QS. An Naml 27 : 62)
Berikut sebagian langkah-langkah kita sebagai muslim agar dalam perjalanan di alam dunia, seluruh waktunya dalam kesadaran dan selalu mengingat Allah.
- Tobat
Salah satu yang menghijabi manusia dari kedekatan atau bersama Allah (billah) adalah dosa. Segeralah mengingat Allah dengan bertobat yang sesungguhnya.
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui” (QS Ali Imran 3 : 135)
Allah dengan tegas menyatakan dalam ayat diatas bahwa salah satu ciri orang yang bertaqwa kepada Allah yaitu mereka yang apabila melakukan kesalahan, mereka kemudian mengingat Allah serta bertaubat atas segala kesalahan yang dilakukannya dan tidak akan meneruskan atau mengulangi kesalahan.
Mengingat manusia adalah tempat salah dan lupa maka Allah dengan sifat Rahman dan RahimNya senantiasa membuka pintu taubat dan ampunanNya sampai kelak matahari terbit dari arah barat saat dimana kiamat kubra akan terjadi.
Nabi Muhammad SAW menjelaskan akan hal itu dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim yang artinya: “ Sesungguhnya Allah taala membentangkan tanganNya pada waktu malam untuk menerima taubat orang yang berdosa pada waktu siang, dan Ia membentangkan tanganNya pada waktu siang untuk menerima taubat orang yang berdosa pada waktu malam, sehingga matahari terbit dari arah barat (sampai kiamat).” ( H.R. Muslim )
- Akhlakul karimah
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Dalam Bahasa Arab kata akhlak (akhlaq) diartikan sebagai tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan agama.
Akhlak atau etika islami merupakan tema penting yang seringkali dibahas dalam kajian tazkiyatunnufus (pensucian diri), akhlak juga merupakan salah satu poin penting yang karenanya diturunkan Rasul pilihan, Nabi akhir zaman Muhammad Saw. “sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak”.
Akhlak Islami merupakan sifat kepribadian yang sangat dianjurkan oleh agama yang hanif ini, dan menyerukan kepada segenap kaum muslimin untuk menghiasi diri mereka dengannya.
Akhlak adalah manifestasi batin seorang muslim yang mana pada hari akhir nanti akan ditampakkan segala hakikatnya. Sebagaimana pada diri manusia ada sisi jasmani yang dhohir, yang merupakan postur tubuh manusia itu sendiri manusia juga memiliki kerangka rohaniyahnya yang jika ditempa dengan baik dan dirawat maka akan menghasilkan bentuknya yang indah sebagaimana jasmani kita yang sering kita rawat dengan telitinya. Tetapi Allah hanya menilai bentuk rohaniyah dari seorang hamba-Nya saja, “seseunggunhnya Allah Swt tidak melihat kepada bentuk tubuh kalian melainkan pada hati kalian”.
Akhlakul karimah merupakan akhlak muslim yang selalu dalam kesadaran dan mengingat Allah antara lain, menahan amarah, pemaaf, berprasangka baik, jujur, amanah, sabar, ikhlas, qanaah, wara’, tawadhu, dll
Alhamdulillah, adanya kesadaran dari pemerintah melalui melalui Kementerian Pendidikan Nasional yang sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari SD-Perguruan Tinggi . Namun pendidikan karakter bukanlah pendekatan melalui filsafat, psikologi, motivasi, menurut prasangka manusia atau hubungan antar manusia semata, yang terbaik adalah pendekatan melalui pendidikan akhlakul karimah, menghubungkan kembali manusia dengan Allah, mendidik manusia untuk dapat menghilangkan hijabnya dengan Allah sehingga dapat merasakan kedekatan atau kebersamaan dengan Allah yang memotivasi untuk mentaati perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Silahkan baca juga tulisan tentang pendidikan dan akhlak pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/
- Dzikir dan Doa
Dzikir jahar dan dzikir khofi kita lakukan dalam upaya untuk selalu mengingat Allah yang merupakan sebuah latihan untuk memunculkan akhlakul karimah karena selalu merasa dilihat Allah sampai meningkat kepada keadaan seolah-olah melihatNya.
4 Sholat wajib dan Sholat Sunnah, waktu terhubung kita dengan Allah pada waktu-waktu yang telah ditentukan..
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku.” (QS Thaha 20: 14)
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al Ankabut 29: 45)
Nabi Muhammad Saw bersabda, bahwa Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin , “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. Yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah.
Selengkapnya bacalah tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/20…sholat-khusyu/
- Puasa, biasakanlah puasa senin-kamis atau yang lainnya, sehingga “keadaan” sedang berpuasa menambah waktu kita terhubung dengan Allah. Bukan sekedar menahan lapar dan haus saja.
“Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari)
Begitu juga selalu menjaga wudhu atau selalu dalam keadaan berwudhu, menambah waktu kita terhubung dengan Allah.
- Zuhudlah di dunia, menambahah waktu kita terhubung dengan Allah, bahkan bisa dikatakan sepanjang kehidupan di alam dunia.
Selengkapnya, silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/30/zuhudlah-di-dunia/
Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya).
Jika Allah mencintai kita maka sebagaimana sabda Rasulullah SAW, dalam sebuah hadits qudsi, bahwa Allah SWT, berfirman:
“Apabila Aku (Allah) mencintai seorang hamba, maka pendengarannya adalah pendengaran untuk-Ku, penglihatannya adalah penglihatan-Ku, tangannya (kekuasaannya) adalah kekuasaan-Ku, perjalanan kakinya adalah perjalanan untuk-Ku”
Imam Ahmad berkata, “Zuhud ada tiga macam:
- Pertama, meninggalkan perkara haram, dan ini adalah zuhudnya orang awam.
- Kedua, meninggalkan perkara halal yang tidak berguna, dan ini adalah zuhudnya orang khas / khusus.
- Ketiga, meninggalkan perkara yang menyibukkan seorang hamba sehingga melupakan Allah (lupa mengingat Allah), dan ini adalah zuhudnya orang-orang arif.”
Kita harus menjadi seorang arif adalah orang yang menyibukkan dirinya dengan Allah dan hanya melakukan perbuatan jika Allah yang berkenan dan bukan karena keinginan kita sendiri. Dengan zuhud di dunia , kita dapat mencapai keadaan manusia yang terhubung sampai (wushul) kehadhirat Allah.
Silahkan baca juga tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/20…adhirat-allah/
Wassalam
Di manakah posisi/derajat kita di sisi Allah saat kini ?
Firman Allah yang artinya,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.”(QS. Al-Hujurat: 13)
Sebagian kita memahami “di sisi” Allah adalah semata-mata kejadian kelak di akhirat nanti. Namun sesungguhnya posisi/derajat manusia di sisi Allah berlangsung ketika kehidupan di dunia.
Ada sebagian muslim “berani” melakukan perbuatan yang dilarang Allah, sesungguhnya karena tidak merasakan “di sisi” Allah. Padahal Allah Maha Mengetahui, Maha Melihat dan Maha Mendengar.
Sedangkan ada sebagian muslim karena posisi/derajat nya lebih mulia “di sisi” Allah maka Allah berikan jalan keluar dan Allah berikan rezeki dari arah yang tidak disangka dan Allah mencukupkan (keperluan)nya
Sesuai dengan firman Allah yang artinya,
“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaaq [65]: 2-3).
Benarlah, manusia di sisi Allah ketika kehidupan di dunia bahkan dimulai sejak manusia diciptakan.
Menurut para ahli Tasawuf, hakikat manusia dibagi menjadi dua bangunan utama, yaitu bangunan jasmani dan rohani. Bangunan jasmani manusia diciptakan melalui enam proses kejadian yaitu:
- Sari pati tanah
- Nuftah
- Segumpal darah
- Segumpal daging
- Pertumbuhan tulang-belulang
- Pembungkusan tulang-belulang
Sebagaimana firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dari sari pati tanah. Kami jadikan sari pati tanah itu air mani yang ditempatkan dengan kokoh di tempat yang teguh. Kemudian air mani itu kami jadiukan segumpal darah, dari segumpal darah itu, Kami jadikan segumpal daging, Kami jadikan pula tulang-belulang, kemudian tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging (QS Al Mu-minun (23): 12-14)
Setelah melalui enam tahap proses tersebut maka jasmani manusia boleh dikatakan sebagai makhluk yang sempurna apabila dipandang dari sudut jasmaniah, tetapi apabila dipandang dari sudut Rohaniah, manusia yang belum ditiupkan Roh-Ku belumlah dapat disebut manusia sempurna. Oleh karenanya itu, pada proses kejadian yang ketujuh, Allah meniupkan sebagian Roh-Nya kepada jasmani manusia. Pada saat itulah manusia tersebut bisa dikatakan sebagai manusia yang sempurna baik jasmani maupun rohani.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka jika Aku telah menyempyurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya Roh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama. (QS Al Hijr (15):28-30)
Dimaksud dengan sujud di sini bukan menyembah, tetapi sebagai penghormatan.
“Kemudian Dia menyempurnakan penciptaannya dan Dia tiupkan padanya sebagian dari Roh-Nya dan Dia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa, tapi sedikit sekali kamu bersyukur” (QS As Sajadah (32):9)
Menurut tinjauan ahli Tasawuf, di bagian kepala manusia terdapat tujuh buah lubang (pintu) sebagai sumber rasa inderawi, yaitu,
- Dua lubang telinga sebagai sumber (alat) pendengaran.
- Satu lubang mulut sebagai sumber (alat) pengucapan dan pengecapan
- Dua lubang mata sebagai sumber (alat) penglihatan
- Dua lubang hidung sebagai sumber (alat) pernapasan.
Ketujuh buah lubang (pintu) yang ada di kepala manusia tersebut secara simbolis diinformasikan Allah dalam al-Qur’an dengan istilah “tujuh buah jalan” yang ada di atas badan manusia.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas (badan) kamu tujuh buah jalan dan kami tidaklah lengah terhadap ciptaan Kami” (QS Al-Mu’minun (23):17)
Tujuh lubang ini disebut juga sebagai “pembuka”, karena dengan tujuh lubang inilah, manusia berhasil membuka segala rahasia pengetahuan, baik yang bersifat lahir maupun batin.
Proses terjadinya aktifitas alat inderawi tersebut yang terwujudkan dalam bentuk pendengaran, pengucapan atau pengecapan, penglihatan dan pernapasan inilah yang disebut kiasan “tujuh buah jalan” yang dapat memberi petunjuk karena dengan adanya empat inderawi tersebut maka manusia mendapatkan pengetahuan tentang masalah apapun yang sedang dipelajarinya.
Pada tubuh manusia, total keseluruhan terdapat sepuluh lubang inderawi, yaitu tujuh di kepala dan tiga lubang dibagian badan yaitu lubang pusar, lubang anus dan lubang kemaluan. Khusus untuk lubang pusar sudah tidak berfungsi sejak manusia dilahirkan. Sehingga yang berfungsi secara maksimal adalah Sembilan lubang yang ada pada tubuh manusia.
Apabila dikaitkan dengan keadaan bayi dalam kandungan maka dapat terlihat bahwa Sembilan lubang yang ada pada tubuh bayi tidaklah berfungsi, hal ini dikarenakan seorang bayi dalam kandungan berada di dalam air ketuban (omnium water). Sehingga seorang bayi dalam kandungan tidak melakukan aktifitas inderawi secara sempurna. Dengan kata lain seorang bayi tidak makan dan tidak minum atau berbicara dengan mulut, tidak bernapas dengan hidung, tidak melihat dengan mata, tidak mendengar dengan telinga, dan tidak buang air besar atau kecil melalui anus atau kemaluan. Tetapi bayi tersebut mendapatkan semua kebutuhan jasmaninya melalui saluran plasenta yang menghubungkan antara pusar bayi dengan dinding rahim ibu.
Dalam kandungan, seorang bayi juga tidak berpikir dikarenakan fungsi otaknya belum sempurna, tetapi kemampuan rohani bayi telah hidup sempurna. Peristiwa ini dialami oleh seorang bayi selama kurang lebih sembilan bulan. Dalam bahasa Tasawuf, keadaan ini disebut dengan peristiwa dimana seorang bayi berada dalam Janah yang berada di bawah telapak kaki ibu selama Sembilan bulan.
Sayangnya setelah bayi itu tumbuh dewasa, dia tidak dapat mengingat perjalanannya ketika berada dalam kandungan rahim ibunya. Oleh karena itu Islam mengajarkan agar setiap umatnya kembali menjadi seperti bayi dalam kandungan,agar dirinya dapat kembali menemui Allah.
“Dan sesungguhnya kamu kembali menghadap Kami dengan sendirian seperti kamu Kami ciptakan pada awal mula kejadian. Dan pada saat itu kamu tinggalkan dibelakangmu apa yang telah Kami anugerahkan kepadamu ….” (QS Al An’am 6: 94)
“Mereka dihadapkan kepada Tuhanmu dengan berbaris, Kemudian Allah berfirman: “ Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sebagaimana Kami telah menciptakan kamu pada awal mula kejadian, bahkan kamu menyangka bahwa Kami tiada menetapkan janji bagi kamu” (QS Al Kahfi 18:48).
Sejak bayi dalam kandungan yang bersih dan suci telah keadaan “menemui” Allah.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172)
Setelah anak manusia terlahir ke dunia, keluarga adalah lingkungan pertama yang dikenal oleh anak. Ibu dan ayah adalah manusia-manusia dewasa kepada siapa anak belajar kata-kata yang pertama. Khususnya kepada Ibu, anak belajar kasih sayang. Kepada ayah, anak belajar tanggung jawab dan kepemimpinan. Bagaimana sikap ibu dan ayah kepada anak, sikap ayah kepada ibu dan sebaliknya ibu kepada ayah, adalah pola interaksi yang pertama dipelajari anak.
Dengan telinga dan matanya, anak belajar menyerap fakta dan informasi. Semakin banyak yang terekam, itulah yang paling mudah ditirunya. Bagaikan kertas putih bersih, orang tuanya yang akan memberinya coretan dan warna yang pertama.
Betapapun sederhananya pola pendidikan dalam sebuah keluarga, tetap-lah sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian anak. Keluarga merupakan awal bagi pertumbuhan pola pikir dan perasaan anak.
Di dalam Islam, sistem pendidikan dalam keluarga menjadi penentu masa depan anak. Apakah anak akan menjadi shaleh, baik, santun, penyayang atau kurang ajar, kasar, bengis, semuanya tergantung pada tangan-tangan pertama yang mendidiknya, yakni orang tuanya.
Dalam sebuah hadits, menurut kesaksian Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “Setiap bayi dilahirkan di atas fitrah (mentauhidkan Allah), kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, atau seorang Nasrani atau seorang Majusi.” (HR. Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Yang dimaksud adalah anak-anak yang baru dilahirkan memiliki fitrah yang bersih dan suci, yaitu beriman kepada Allah SWT. Orang tua memiliki peran dalam mengarahkan fitrah anak. Apakah akan tetap bersih, murni dan bersinar? Ataukah cahayanya akan memudar, bahkan hilang.
Lalu bagaimana arah tujuan pendidikan anak berdasarkan Islam
Kalau mengacu kepada al Qur’an, maka al Qur’an memberi tuntunan bagaimana seharusnya tujuan pendidikan anak.
Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS al Furqaan 25: 74)
…“Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami terraasuk orang-orang yang bersyukur”” (QS. Al A’raf 7: 189)
…“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” (QS. Ali Imran: 110)
Ini sebenarnya inti dari kurikulum pendidikan anak: (1) menjadikan anak-anak kita sebagai penyenang hati / penyejuk mata dan orang-orang bertaqwa (2) Menjadikan anak-anak kita sebagai anak-anak yang shaleh (3) Menjadikan anak-anak kita sebagai umat terbaik yang akan mengemban dakwah Islam, dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar
Kemudian setelah anak dewasa dan mampu dengan bekal pengetahuan dan pendidikan yang didapatnya mereka akan mengarungi kehidupan dengan petunjuk Al-Qur’an dan Hadist.
Dengan kemampuan merekalah mengikuti petunjuk Al-Qur’an dan Hadist, mengupayakan posisi/derajat di sisi Allah. Sebagian mereka yang dianugerahi Allah ilmu pengetahuan mendapatkan posisi/derajat yang lebih baik sebagaimana firman Allah yang artinya,
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Al Mujaadilah 58: 11)
Upaya kitamendapatkan posisi/derajat yang lebih baik di sisi Allah, salah satunya dengan mengendalikan hawa nafsu atau mengendalikan tujuh buah lubang (pintu) sebagai sumber rasa inderawi.
Hawa nafsu yang bersarang pada jasmani kita, dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:
- Nafsu Amarah yang bentuk perwujudannya berupa sifat marah, dengki, ujub dan syirik. Nafsu ini sumbernya di telinga yang dapat timbul melalui hantaran pendengaran. (Dua lubang telinga, disimbolkan pintu Umar bin Khatab)
- Nafsu Lawamah yang termanifestasikan dalam bentuk sifat rakus, tamak, loba dan malas. Nafsu ini sumbernya di mulut yang dapat dimbul melalui hantaran pengucapan atau peengecapan. (Satu lubang mulut disimbolkan pintu Ali bin Thalib)
- Nafsu Sufiyah yang termanifestasikan dalam bentuk sifat cinta, kekaguman, dan keindahan. Nafsu tersebut berada pada mata yang akan timbul melalui hantaran penglihatan. (Dua lubang mata disimbolkan pintu Usman bin Affan)
- Nafsu Mutmainah yang termanifestasikan dalam sifat ketenangan dan kedamaian. Nafsu tersebut berada di hidung yang dapat timbul melalui hantaran pernafasan. (Dua lubang hidung disimbolkan pintu Abu Bakar)
Ke empat nafsu yang termanifestaasikan dalam bentuk pendengaran, pengucapan (pengecapan), penglihatan dan pernafasan, pada akhirnya akan menimbulkan “hawa” yang berbentuk rasa jasmani yakni
- Rasa Pendengaran.
- Rasa Pengecapan ataiu pengucapan
- Rasa Penglihatan
- Rasa Pernafasan atau penciuman
Semua bentuk “rasa” tersebut bersifat ghaib atau bathin yang tidak berwujud tetapi bisa dirasakan keberadaannya. Ke-empat rasa dari nafsu tersebut dapat dimatikan maupun dihidupkan, tergantung dari bagaimana kita menutup atau membuka “pintu” keluar masuknya rasa dari sumber nafsu tersebut.
Cara menutup pintu hawa nafsu tersebut, dengan mempergunakan “alat” yang telah diberikan oleh Allah kepada setiap manusia, sesuai firman Allah yang artinya:
“Carilah Akhirat dengan “alat” yang telah Kami anugerahkan kepadamu dan janganlah kamu lupakan kenikmatan dunia” (QS Al Qashash 28: 77)
“Tatkala aku berada di sisi Rasulullah Saw, tiba-tiba beliau bertanya : Adakah orang asing diantara kamu ?” lantas beliau memerintahkan supaya pintu di tutup dan bersabda “Angkat tangan kamu” (HR Al Hakim)
“Tutup pintumu dan ingatlah Allah”. (HR Bukhari).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Nabi saw ” Tutuplah seluruh pintu-pintu kecuali pintu Abu Bakar.”
Prosesi “menutup pintu” hawa nafsu yang ada pada kepala manusia, inilah yang dinamakan dengan “Takbiratul Ihram”, (Takbir Larangan) yang mempunyai arti bahwa ketika kita mengangkat kedua telapak tangan kita saat mengawali sholat, kita diharamkan atau dilarang untuk melakukan aktifitas inderawi seperti mendengar, melihat, dan berbicara kecuali bernafas (simbol pintu Abu Bakar), karena kita sedang berhadapan dengan Allah Swt (bertawajuh). Hal ini sesuai dengan firmanNya yang artinya,
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (QS Al An’am 6: 79)
Ayat di atas merupakan pernyataan setiap kali kita sholat, bahwa kita menyadari sedang menghadapkan wajah kita kepada Allah, yang Maha Suci (bertawajuh). Kemudian dilanjutkan dengan penegasan bahwa “Sholatku, Ibadahku, Hidupku dan Matiku semata-mata hanya untuk Allah semata”. Jika keadaan ini terjadi, tak mungkin akal kita berkeliaran tak terkendali mengingat selain Allah. Kita juga tidak akan melakukan perbuatan yang melanggar tuntunan Allah.
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab dan dirikan sholat. Sesungguhya sholat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah dalam (sholat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah lain)” (QS Al Ankabut 29: 45)
Allah memberikan gelar kepada orang yang shalat tidak sesuai dengan ikrar/sumpahnya sebagai sholatnya orang munafik.
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk Sholat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan sholat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka dzikrullah (menyebut Allah) kecuali hanya sedikit sekali” (QS An-Nisa 4: 142)
Ketika melakukan sholat, ada kalanya mengalami rasa jenuh dan tidak kusyu’, padahal dalam doa iftitah kita telah berikrar bahwa kita sedang menghadapkan wajah kita kepada Allah. Hal ini terjadi karena tidak mengetahui bagaimana cara melakukan Takbiratul Ihram dengan baik.
Nabi Muhammad Saw bersabda, bahwa “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin”. Yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah.
Apakah kita bisa “bertemu” dengan Allah ketika Sholat ?
Sebagian orang menanggapi hadits tersebut dengan sikap apriori dan berkeyakinan bahwa manusia tidak mungkin bertemu dengan Allah di dunia. Akibatnya kebanyakan orang tak mau pusing mengenai hakikat Sholat atau bahkan hanya menganggap sholat sebagai kewajiban yang harus dilakukan tanpa harus memikirkan fungsi dan tujuannya.
Dilain pihak ada orang yang melakukan sholat, telah mengerahkan segenap daya untuk mencapai kusyu’, akan tetapi tetap saja pikiran masih menerawang tidak karuan sehingga tanpa disadari sudah keluar dari “kesadaran sholat”. Allah telah mengingatkan hal ini, bahwa banyak orang sholat akan tetapi kesadarannya telah terseret keluar dari keadaan sholat itu sendiri, yaitu bergeser niatnya bukan lagi karena Allah.
‘…. maka celakalah orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya, dan orang-orang yang berbuat riya” (QS Al-Ma’un 107: 4-6)
Perihal itu terjadi bagi orang yang dalam sholatnya tidak menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan Tuhannya sehingga pikirannya melayang liar tanpa kendali. Sholat yang demikian adalah sholat yang shahun. Keadaan tersebut bertentangan dengan firman Allah yang menghendaki sholat sebagai jalan untuk mengingat Allah.
“… maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku” (QS Thaha 20: 14)
“… dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”(QS Al A’raaf 7: 205)
Inilah rangkaian ayat yang menunjukkan kepada masalah kedalaman ibadah sholat, yaitu untuk mengingat Allah, bukan sekedar membungkuk, bersujud dan komat-kamit tiada sadar dengan yang dilakukan. Sholat yang hanya komat-kamit inilah yang banyak dilakukan orang, sehingga sampai sekarang banyak yang tak mampu mencerminkan watak mushallin yang sebenarnya, yaitu tercegah dari perbuatan keji dan mungkar.
“Jangan engkau mendekati sholat sedang kamu dalam keadaan mabuk (tidak sadar)… “ (QS An nisa 4: 43)
Nahyi (larangan) ditujukan kepada mushalilin agar tidak melakukan sholat jika masih belum sadar bahwa dirinya sedang berhadapan dengan Sang Khaliq. Larangan itu merupakan syarat mutlak dari Allah. Coba kita renungkan, untuk mendekati saja kita dilarang, apalagi untuk melakukannya. Jika tetap dilakukan maka Allah akan murka, yang ditunjukkan dengan perkataan yaitu “maka celakalah orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya dan orang-orang yang berbuat riya” (QS Al-ma’un 107: 4-6)”
Allah juga memberikan pujian kepada orang-orang mukmin yang khusyu dalam sholatnya
“Sungguh beruntunglah mereka yang beriman yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam sholatnya” (QS Al Mukminun 23: 1-2)
Al-Quran menyebutkan penyebab dicabutnya ilmu khusyu’, yaitu karena memperturutkan hawa nafsu dan melalaikan sholatnya. Dalam Al-Qur’an Allah juga telah menunjukkan jalan bagi yang mendapatkan kekhusyu’an
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS Al Baqarah 2: 45-46)
Semoga kita dapat merasakan menemui Allah, kedekatan dengan Allah, mengetahui posisi/derajat kita di sisi Allah.
Semakin kita dekat dengan Allah maka kita akan semakin sibuk dengan Allah, semakin jauh kita dengan Allah maka kita akan semakin sibuk dengan diri kita sendiri.
Semakin kita dekat dengan Allah maka kita yakin bahwa segala keperluan kita didunia , Allah akan mencukupkannya, sedangkan semakin jauh kita dengan Allah maka kita akan “kepayahan” dengan upaya sendiri memenuhi segala keperluan kita di dunia.
Orang yang dekat dengan Allah dikenal sebagai orang-orang Arif.
Orang-orang Arif adalah orang yang menyibukkan dirinya dengan Allah dan hanya melakukan perbuatan jika Allah yang berkenan bukan karena keinginan mereka sendiri.
Mereka paham bahwa Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.
Jalan untuk dapat selalu menyibukkan diri dengan Allah atau mengetahui apa yang Allah berkenan adalah dengan “mengenal” Allah, yakni yang kita kenal marifatullah. Dengan mengenal Allah (marifatullah) maka kita bisa memahami apa yang Allah berkenan.
Ilmu untuk mempelajari tentang marifatullah itulah Ilmu Tasawuf.
Untuk mencapai pemahaman orang-orang arif tidak cukup dengan metode pemahaman secara harfiah atau tekstual akan tetapi melalui metode pemahaman yang lebih dalam / maknawi atau dikenal “mengambil pelajaran” dengan hikmah.
Sesuai dengan firman Allah,
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269)
Wassalam.
Ditulis dari berbagai sumber, sebagian besar diambil dari buku Abu Irsyad, Menyingkap Rahasia Shalat & Puasa sebagai sarana menemui Allah, Pustaka Aladdin
Klik disini untuk pemesanan buku Menyingkap Rahasia Shalat & Puasa sebagai sarana menemui Allah
Siapakah Wali Allah itu ?
Sedikit uraian kami tentang Wali Allah, selebihnya silahkan lakukan perjalanan (suluk) menuju (wushul) kepada Allah ta’ala sebagian ulama mengatakan larilah kembali kepada Allah, “Fafirruu Ilallah”
Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya”
Tidak mengapa kalau belum sanggup meyakini adanya Wali Allah maupun Hadits Qudsi.
Hadits Qudsi memang diperuntukkan untuk muslim yang ahlinya, tidak semua muslim bisa sanggup untuk memahami dan meyakininya
Namun Hadits Qudsi tetaplah perkataan Rasulullah dan semua perkataan Rasulullah bukanlah berdasarkan hawa nafsu.
Abu Yazid al Busthami mengatakan: Para wali Allah merupakan pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para pengantin itu melainkan ahlinya.
Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang bagaimana (cara) mengenal Waliyullah, ia menjawab : “Allah tidak akan memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang serupa dengan mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka – untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya.”
Ibnu Taymiyyah menjelaskan bahwa : Wali-wali Allah, Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Jadi jelas, wali bukanlah dari kalangan tertentu dengan penampilan tertentu. Apalagi kalau sampai ada orang yang mengaku-aku sebagai wali, itu bukanlah ciri kewalian. Seorang wali Allah akan selalu menyembunyikan kedekatan dan ketaatannya kepada Tuhan. Andaipun ia mendapatkan karamah (keluar biasaan semacam mukzizat) maka ia tidak akan menceritakan dan mengumumkannya kepada orang ramai.
As Sarraj at-Tusi mengatakan : “Jika ada yang menanyakan kepadamu perihal siapa sebenarnya wali itu dan bagaimana sifat mereka, maka jawablah : Mereka adalah orang yang tahu tentang Allah dan hukum-hukum Allah, dan mengamalkan apa yang diajakrkan Allah kepada mereka. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang tulus dan wali-wali-Nya yang bertakwa.
Rasulullah Saw : Sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Swt seorang dari shahabatnya berkata, siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka. Nabi Saw menjawab dengan sabdanya: Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah saw
“Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.”Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Yunus [10]:62 )
Kita sebagai hamba Allah dapat mencapai derajat wali Allah yakni dengan mencapai muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan atau muhsin/muhsinin.
Cara mencapai muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan atau muhsin/muhsinin melalui pendalaman dan pengamalan Tasawuf dalam Islam. Pendalamaman dan pengamalan Tasawuf dibimbing oleh pembimbing yang disebut mursyid. Allah ta’ala lah yang menetapkan siapa dan kapan, seorang mursyid (pembimbing) mendatangi dan membimbing ”perjalanan” (suluk) kita menuju (wushul) kepada Allah ta’ala
Hal yang terpenting tanamkan dahulu niat dan keinginan untuk menuju (wushul) kepada Allah ta’ala karena sungguh Dia lah tempat kita kembali.
Mohonkanlah kepada Allah untuk dapatkan seorang mursyid yang membimbing kita menuju (wushul) kepada Allah.
Contoh permohonan,
Ya Allah, Tuhan kami
Ampunilah dosa kami, bimbinglah kami dengan kasih sayangMu, menuju kepadaMu
Berhati-hati dengan orang yang mengaku sebagai mursyid ataupun wali, karena sebagai mursyid ataupun sebagai wali bukanlah melalui sebuah pengakuan seorang manusia atau diri sendiri namun pengakuan/penetapan Allah ta’ala semata dan Allah ta’ala mencintai mereka.
Seorang mursyid termasuk wali Allah, tentu menjalankan syariat Islam lengkap dengan amalan sunnah sehingga dicintai Allah, salah satu amalan sunah yang dijalankan agar dicintai Allah adalah zuhud di dunia.
Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya)
Seorang wali Allah bukan untuk disembah
Kita mengikuti dan percaya kepada Mursyid yang merupakan Wali Allah karena mereka membimbing kita untuk mentaati Allah dan RasulNya
Ciri hamba Allah yang dicintaiNya, diantaranya adalah apa yang mereka katakan adalah kebaikan, tidak berhujat, tidak berolok-olok dan tidak berkata yang tidak perlu. Langkah/jalan mereka menuju kebaikan. Apa yang mereka lihat dan dengar adalah kebaikan. Apa yang mereka perbuat adalah kebaikan
Dari Abu Huriroh rodhi Allahu ta’ala ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah ta’ala berfirman, barang siapa memusuhi wali-Ku maka aku izinkan untuk diperangi. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amal ibadah yang lebih aku cintai dari pada perkara yang Aku wajibkan. Hamba-Ku akan senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, Akulah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Akulah penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, Akulah kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku akan Aku berikan, jika dia meminta perlindungan pada-Ku, akan Aku lindungi.” (HR. Bukhari)
Rasulullah saw telah bersabda: Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : Sesungguhnya para-wali-Ku itu dari hamba-Ku dan kesayangan-Ku dari hamba-Ku, yaitu orang-orang yang berdzikir dengan menyebut-Ku, dan Aku berdzikir dengan menyebut mereka.
Rasulullah saw telah bersabda: “Maukah kalian saya beritahu orang yang terbaik di antara kalian?” mereka menjawab: “mau wahai Rasulullah” beliau bersabda: “ yaitu orang-orang yang bila kalian melihatnya, mereka itu selalu berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”
Wali Allah berbagai tingkatan, tingkat tertinggi adalah seorang hamba Allah yang terpilih menjadi kekasih Allah di setiap zaman untuk membimbing manusia agar tetap di jalan yang diridhai-Nya.
Jika Kekasih Allah itu wafat maka Allah ta’ala menggantinya dengan yang lain untuk menjalankan tugas mulia tersebut, itulah yang disebut Imamnya para Wali Allah atau Imam Zaman atau Wali Zaman.
Imam Zaman yang pernah disampaikan oleh Rasulullah adalah Imam Sayyidina Ali ra.
Rasulullah bekata: “Kedudukan Ali dengan diri saya sama dengan kedudukan Harun dengan Musa; kecuali tidak ada Nabi setelah saya!” (Shahih Muslim)
Rasulullah menyampaikan setelah wafatnya beliau maka pengganti beliau sebagai Imamnya Wali Allah atau Imam Zaman adalah Sayyidina Ali ra dan kedudukan Imam Zaman seperti Nabi, namun kita ketahui, paham dan yakini bahwa tiada Nabi setelah Rasulullah.
Riwayat dari Sa’ad bin Abi Waqash, Aku mendengar khutbah Rasulullah saw pada hari Jumat. Ia memegang lengan Ali dan berkhutbah dengan didahului lafaz pujian kepada Allah Swt, dan memuji-Nya. Kemudin beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, aku adalah wali bagi kalian semua“. Mereka menjawab, “Benar apa yang engkau katakan wahai Rasulullah saw“. Kemudian beliau mengangkat lengan Ali dan bersabda. “Orang ini adalah waliku, dan dialah yang akan meneruskan perjuangan agamaku. “Aku adalah wali bagi orang-orang yang mengakui/meyakini Ali sebagai wali, dan aku juga merupakan orang yang akan memerangi orang yang memeranginya“
Perhatikan (bagian di atas yang dibold/cetak tebal) bahwa Rasulullah mengatakan “Aku adalah wali bagi orang-orang yang mengakui/meyakini Ali sebagai wali” maksudnya hanya muslim yang ahlinya yang dapat mengakui/meyakini Ali sebagai wali atau imamnya para Wali Allah. Mereka adalah orang-orang yang dapat memahami/meyakini pula bahwa Rasulullah adalah imamnya para Wali Allah.
Telah terjadi fitnah, perselisihan dan kesalahpahaman umat muslim tentang pemahaman riwayat yang disampaikan Sa’ad bin Abi Waqash ataupun riwayat yang semakna, mereka memahami imamnya para Wali Allah adalah khalifah dan mengakui riwayat-riwayat seperti itu merupakan ketetapan Rasulullah untuk pengangkatan Sayyidina Ali ra sebagai khalifah. Mereka adalah saudara-saudara muslim kita yakni kaum Syiah.
Jadi apa yang diperselisihkan umat muslim bahwa Sayyidina Abu Bakar ra ataupun Sayyidina Umar ra “merebut” kepemimpinan atau khalifah dari Imam Sayyidina Ali ra atau bahkan anggapan keji bahwa Sayyidina Abu Bakar ra ataupun Sayyidina Umar ra menghianati ketetapan Rasulullah di Ghadir Khum adalah merupakan kesalahpahaman karena sesungguhnya kepemimpinan pada wilayah yang berbeda.
Imam ‘Ali رضي الله عنه berkata: aku bertanya: Wahai Rasulullah! Apakah ciri-ciri mereka? Baginda صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم bersabda: “Mereka menyanjungimu dengan sesuatu yang tidak ada padamu”.
Khalifah adalah kepemimpinan secara umum atau secara syariat. Sedangkan Wali adalah kepemimpinan yang secara khusus yang diketahui/diyakini oleh para ahlinya atau secara hakikat.
Rasulullah tidak pernah mewasiatkan tentang khalifah dan kita sudah ketahui khalifah pertama adalah Sayyidina Abu Bakar ra, kemudian Sayyidina Umar ra, dilanjutkan oleh Sayyidina Ustman ra dan terakhir dari para Khulafaur Rasyidin yakni Imam Sayyidina Ali ra, yang kekhalifahan bukan atas keinginan beliau namun permintaan/permohonan dari para sahabat.
Satu-satunya dari keempat Khulafaur Rasyidin yang dipanggil atau mendapat sebutan sebagai imam, hanyalah Imam Sayyidina Ali ra atau Imam Ali ra.
Ya Allah, Tuhan Kami
Kumpulkan kami di dunia dengan orang –orang yang shaleh (sholihin) dan kumpulkan kami di akhirat dengan para nabi, shiddiqiin, syuhada dan sholihin.
Wassalam