Bandung – Uang sumbangan sekolah SMA negeri di Jawa Barat kini menjadi polemik. Di kalangan orang tua, uang ini dikeluhkan lantaran nominalnya begitu besar, plus malah menjadi kewajiban di tengah semboyan ‘sekolah gratis’ yang digaungkan pemerintah.
Di Kota Bandung misalnya, sejumlah orang tua curhat telah mendapat perlakuan tidak mengenakkan dari komite sekolah saat diminta membayar uang sumbangan. Para orang tua ini bahkan merasa dipermalukan hingga dibentak dengan nada kasar saat mencoba mempertanyakan transparansi penggunaan uang sumbangan sekolah itu sendiri.
Adapun sumbangan yang harus dibayar besarannya mulai dari Rp 3 juta s/d Rp 4 juta, Rp 4,1 juta s/d Rp 5 juta dan lebih dari Rp 5 juta. Yang mereka permasalahkan kemudian, uang sumbangan ini wajib dibayar dengan menandatangani kesediaan pembayaran sumbangan ke sekolah.
Sementara di Cimahi, orangtua diminta memberikan sumbangan berupa uang dengan nominal yang sudah ditentukan. Dalam surat itu tertera nominal disepakati berdasarkan hasil musyawarah antara komite sekolah dengan orang tua siswa kelas 10. Nominal sumbangannya mulai dari Rp 6 juta sebagai nominal paling rendah dan Rp 10 juta sebagai nominal tertinggi.
Disdik Jabar lalu memutuskan untuk menghentikan sementara rapat-rapat komite sekolah yang membahas tentang uang sumbangan. Disdik menginstruksikan sekolah untuk memahami kembali peran komite agar tidak menimbulkan masalah.
“Saya instruksikan kepada KCD (Kantor Cabang Dinas Pendidikan) agar menyampaikan kepada kepala sekolah untuk menghentikan dulu rapat komite. Ini biar nggak gagal paham dan bisa dipahami peran komite tersebut,” kata Kadisdik Jabar Dedi Supandi dalam keterangannya, Rabu (14/9/2022).
Polemik uang sumbangan sekolah yang mencuat ini pun mendapat sorotan dari DPRD Jabar. Wakil Ketua Komisi V DPRD Jabar Abdul Hadi Wijaya membeberkan masalah pelik kenapa persoalan itu muncul dan kini dianggap membebani para orang tua.
Menurutnya, hal itu terjadi karena dana pendidikan di Jawa Barat masih belum cukup untuk memenuhi operasional di setiap sekolah. Dengan jumlah total 852 sekolah negeri di bawah kewenangan Pemprov Jabar, dana pendidikan yang ada masih belum mencukupi untuk kebutuhan pendidikan.
“Yang lebih mendasar lagi, ini ada semacam teguran bagi kita semua. Adanya praktek ini (sumbangan) sekolah karena faktanya ada kekurangan dana pendidikan di Jawa Barat,” kata pria yang akrab disapa Gus Ahad ini saat berbincang dengan detikJabar di ruang kerjanya, Rabu (14/9/2022).
Politikus PKS ini lalu merinci, anggaran pendidikan di Jawa Barat mencapai Rp 10.120.390.546.914 atau Rp 10 triliun. Dengan rincian Rp 7.488.378.895.634 atau Rp 7,488 triliun dana yang bersumber dari APBN melalui DAK dan DAU, serta Rp 2.632.011.651.280 atau Rp 2,632 triliun yang berasal dari APBD Jabar.
Dari 2,632 triliun itu, Pemprov Jabar diketahui menggelontorkan anggaran untuk biaya operasional pendidikan daerah (BOPD) senilai Rp 1.119.093.435.000 atau Rp 1,119 triliun. Sementara, berdasarkan data Disdik Jabar, total jumlah siswa untuk tingkat SMA/SMK dan SLB mencapai 1,9 juta jiwa.
Gus Ahad lalu mengutip hasil perhitungan dari Dewan Pendidikan Jabar yang menyebut biaya operasional sekolah membutuhkan anggaran setara Rp 6 juta untuk satu anak per tahunnya. Jika dibandingkan dengan anggaran yang ada, Gus Ahad punya perhitungan jika BOPD itu hanya cukup untuk mengcover biaya Rp 2 juta bagi setiap siswa per tahunnya.
“Artinya, kita punya gap sekitar Rp 4 juta untuk setiap siswa per tahunnya buat anggaran BOPD. Ini yang kemudian diwujudkan melalui uang sumbangan segala macem dari pihak sekolah. Intinya, angkanya (biaya untuk sumbangan) itu pasti sekitar Rp 300 ribu atau maksimal Rp 500 ribu per siswa per bulan. Nah jadi, ini ada gap bagaimana anggaran pendidikan di Jawa Barat belum mampu memenuhi keinginan sekolah gratis ini,” bebernya.
Karena kurangnya anggaran, ia mengungkap praktek iuran dengan tajuk sumbangan sekolah lalu muncul dan dibebankan ke orang tua siswa. Kondisi ini lalu menurutnya menjadi masalah lantaran hanya menambal sulam di tengah semboyan pemerintah dalam program sekolah gratis.
“Gap itu yang jadi sumber masalah. Jadi ketika ini belum selesai, seperti nyumpel banjir akhirnya. Di tutup di sini, air banjirnya malah muncul di sana. Pada perjalanannya, sekolah akan melakukan apapun caranya supaya bisa menambal kekurangan biaya operasional mereka itu. Sebagian ada yang dilakukan dengan cara legal, sebagian lagi malah ilegal. Itu yang banyak saya temukan,” ungkapnya.
“Akhirnya apa yang terjadi, komite sekolah diminta menyetujui keinginan sekolah ini. Kalau misalkan orang tua enggak mau, begitu, ya anak bapak ibu enggak bisa masuk universitas karena ijazahnya lalu ditahan misalnya. Yang begini-begini itu saya sering mendapat informasi, di Bandung banyak karena ini fakta yang saya temukan juga yah,” katanya menambahkan.
Gus Ahad lalu mendorong Pemprov Jabar untuk mengkaji ulang mengenai skema pembiayaan pendidikan sekolah berstatus negeri yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Selain memang, sekolah pun dituntut untuk lebih transparan dalam pengelolaan anggarannya, termasuk disampaikan kepada orang tua.
“Jadi menurut saya, diluruskan lagi logikanya karena perlu ada semacam kajian ulang tentang pembiayaan pendidikan. Kalau untuk sekolah apalagi yang negeri, mereka tentu harus transparan. Karena bagaimanapun pemasukannya semua dari negara, jadi harus ikuti aturan negara,” katanya.
Mengenai polemik komite sekolah, Gus Ahad berpandangan tugas komite ia anggap belum paham menjalankan regulasi sesuai Pergub Jabar No 44 Tahun 2022 tentang Komite Sekolah.
Ia mengatakan, komite sekolah seharusnya bertugas sebagai lembaga independen dalam penyelenggaraan pendidikan. Mereka harus bisa menampung aspirasi dari para orang tua siswa yang berbentuk masukan hingga kritik untuk sekolah.
“Tapi yang saya jumpai di banyak sekolah, independensi komite ini malah dipertanyakan. Rata-rata komite hanya jadi stempel yang pada praktiknya menuruti kemauan dari sekolah tersebut,” kata Gus Ahad.
Ia mengibaratkan komite layaknya lembaga DPRD yang menjalankan tugas pengawasan di pemerintah. Sehingga, komite harus bisa menampung aspirasi dari para orang tua siswa untuk ditindaklanjuti pihak sekolah.
Namun dalam perjalanannya, Gus Ahad menilai komite malah gagal paham dalam menjalankan fungsinya itu. Kata dia, alih-alih diharapkan menjadi lembaga independen, komite malah seolah menjadi pengeras suara kebijakan dari sekolah.
“Padahal, penjelasan tentang komite itu ada di Pergub. Tapi, masih banyak faktor yang membuat peraturan ini membingungkan. Komitenya juga akhirnya enggak paham, banyak komite sekolah yang fungsinya malah menjadi semacam loudspeaker, pengerasnya kemauan sekolah,” ungkapnya.
“Jadinya indepensinya dipertanyakan, saya jumpai itu di banyak sekolah. Sementara seharusnya, komite sekolah itu sebagaimana dewan, dia independen terhadap eksekutifnya. Nah pemahaman ini yang harus diperbaiki ke depan,” ucap politikus PKS ini menambahkan.
Gus Ahad pun sepakat dengan langkah Disdik Jabar yang menginstruksikan sekolah untuk menyetop sementara rapat komite soal uang sumbangan. Namun kata dia, harus ada kebijakan tegas dari Disdik selain menyetop rapat tersebut yang diketahui banyak mendapat keluhan dari orang tua siswa.
“Perlu ada langkah tegas dan Disdik harus merapikan komite sekolah baik secara keanggotaan, fungsi ataupun wewenang yang didasarkan pada pergub. Kan di pergub itu ada disebutkan, jadi komite ke depannya memang harus representatif menjadi perwakilan dari orang tua siswa,”
“Saya pun setuju semua pertemuan-pertemuan distop dulu, dan permasalahannya diluruskan semua. Dengan peraturan yang sekarang ada, kasih alokasi mana yang disebut dana masyarakat yang diperbolehkan, dan persyaratannya dibereskan. Ini yang harus disamakan dulu di seluruh Jawa Barat. Jadi, Disdik harus memberi penekanan mengenai aturan di pergub ini,” pungkasnya.