Para pakar memiliki beragama pengertian tentang agama. Secara etimologi, kata “agama” bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan diambil dari istilah bahasa Sansekerta yang menunjuk pada sistem kepercayaan dalam Hinduisme dan Budhisme di India. Agama terdiri dari kata “a” yang berarti “tidak”, dan “gama” berarti kacau. Dengan demikian, agama adalah sejenis peraturan yang menghindarkan manusia dari kekacauan, serta mengantarkan menusia menuju keteraturan dan ketertiban.
Ada pula yang menyatakan bahwa agama terangkai dari dua kata, yaitu a yang berarti “tidak”, dan gam yang berarti “pergi”, tetap di tempat, kekal-eternal, terwariskan secara turun temurun. Pemaknaan seperti itu memang tidak salah karena dala agama terkandung nilai-nilai universal yang abadi, tetap, dan berlaku sepanjang masa. Sementara akhiran a hanya memberi sifat tentang kekekalan dankarena itu merupakan bentuk keadaan yang kekal.
Ada juga yang menyatakan bahwa agama terdiri dari tiga suku kata, yaitu: a-ga-ma. A berarti awang-awang , kosong atau hampa. Ga berarti tempat yang dalam bahasa Bali disebut genah. Sementara ma berarti matahari, terang atau sinar. Dari situ lalu diambil satu pengertian bahwa agama adalah pelajaran yang menguraikan teta cara yang semuanya penuh misteri kareana Tuhan dianggap bersifat rahasia.
Kata tersebut juga kerap berawalan i dan atau u, dengan demikian masing-masing berbunyi igama dan ugama. Sebagian ahli menyatakan bahwa agama-igama-ugama adalah koda kata yang telah lama dipraktikkan masyarakat Bali. Orang Bali memaknai agama sebagai peraturan, tata cara, upacara hubungan manusia denga raja. Sedangkan igama adalah tata cara yang mengatur hubungan manusia denga dewa-dewa. Sementara ugama dipahami sebagai tata cara yang mengatur hubungan antamanusia.
Dalam bahasa Belanda, Jerman, dan Inggris, ada kata yang mirip sekaligus memilliki kesamaan makna dengan kata “gam”. Yaitu ga atau gaa dalam bahasa Belanda; gein dalam bahasa Jerman, dan go dalam bahasa Inggris. Kesemuanya memiliki makna yang sama atau mirip, yaiut pegi. Setelah mendapatkan awalan dan akhiran a, ia mengalami perubahan makna. Dari bermakna pergi berubah menjadi jalan. Kemiripan seperti ini mudah dimaklumi karena bahasa Sansekerta, Belanda, Jerman, dan Inggris, kesemuanya termasuk rumpun bahasa Indo-Jerman.
Selain itu, dikenal pula istilah religion bahasa Inggris, religio atau religi dalam bahasa Latin, al-din dalam bahasa Arab, dan dien dalam bahasa Semit. Kata-kata itu ditengarai memiliki kemiripan makna dengan kata “agama” yang berasal dari bahasa Sansekerta itu. Religious (Inggris) berarti kesalehan, ketakwaan, atau sesuatu yang sangat mendalam dan berlebih-lebihan. Yang lain menyatakan bahwa religion adalah: (1) keyakinan pada Tuhan atau kekuatan supramanusia untuk disembah sebagai pencipta dean penguasa alam semesta; (2) sistem kepercayaan dan peribadatan tertentu.
Menurut Olaf Scuhman, baik religion maupun religio, keduanya berasala dari akar kata yang sama, yaitu religare yang berarti “mengikat kembal”, atau dari kata relegere yang berarti “menjauhkan, menolak, melalui”. Arti yang kedua, relegere dipegang oleh pujangga ada filosof Romawi Cicero dan Teolog Protestan Karl Barth, dan sebab itu mereka melihat religio sebagai usaha manusia yang hendak memaksa Tuhan untuk memberikan sesuatu, lalu manusia menjauhkan diri lagi.
Sedangkan arti yang pertama, religare, dipegang oleh gereja Latin (Roma Katolik). Erasmus dari Rotterdam (1469-1539) menyatakan bahwa paham ini dikaitkan dengan sikap manusia yang benar terhadap Tuhan. Benar pula, karena ajara-ajaran agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia yang mempercayainya. Agama (religio) dalam arti religare juga berfungsi untuk merekatkan pelbagai unsur dalam memelihara keutuhan diri manusia, diri orang per orang atau diri sekelompok orang dalam hubungannya terhadap Tuhan, terhadap sesama manusia, dan terhadap alam sekitarnya.
Sementara Sayyed Hossein Nasr mengatakan “religare” yang berarti “mengikat” merupakan lawan dari “membebaskan”. Ajaran Sepuluh Perintah (Ten Commandments) ya ng membentuk fondasi moralitas Yahudi dan Kristen terdiri dari sejumlah pernyataan “janganlah kamu”, yang menunjukkan suatu pembatasan dan bukan pembebasan .
Agama juga disebut dengan istilah din. Dalam bahasa Semit, din berarti undang-undang atau hokum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan.
Bila lafal din disebutkan dalam rangkaian din-ullah, maka dipandang datangnya agama itu dari Allh, bila disebut dinunnabi dipandang nabilah yang melahirkan dan menyiarkan, bila disebut dinul-ummah, karena dipandang manusialah yang diwajibkan memeluk dan menjalankan. Ad-din bisa juga berarti syari’ah: yaitu nama bagi peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang telah disyari’atkan oleh Allah selengkapnya atau prinsip-prinsipnya saja, dan dibedakan kepada kaum muslimin untuk melaksanakannya, dalam mengikat hubungan mereka dengan Allah dan dengan manusia. Ad-din berarti millah, yaitu mengikat.
Maksud agama ialah untuk mempersatukan segala pemeluk-pemeluknya, dan mengikat mereka dalam suatu ikatan yang erat sehingga merupakan batu pembangunan, atau mengingat bahwa, hokum-hukum agama itu dibukukan atau didewankan. Ad-din berarti nasihat, seperti dalam hadis dari Tamim ad-Dari r.a. bahwa Nabi SAW bersabda: Ad-dinu nasihah. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, bagi siapa?” Beliau menjelaskan: “Bagi Allah dan kitab-Nya, bagi Rasul-Nya dan bagi para pemimpin muslimin dan bagi seluruh muslimin.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan Ahmad).
Hadis tersebut memberikan pengertian bahwa ada lima unsur yang perlu mendapat perhatian bisa memperoleh gambaran tentang apa yang dimaksud dengan agam yang jelas serta utuh. Kelima unsure itu adalah: Allah, kitab, rasul, pemimpin dan umat, baik mengenai arti masing-masing maupun kedudukan serta hubungannya satu denagn lainnya.
Pengertian tersebut telah mencakup dalam makna nasihat. Imam Ragib dalam kita Al-Mufradaat fii Ghariibil Qur’an, dan Imam Nawawi dalam Syarh Arba’in menerangkan bahwa nasihat itu maknanya sama dengan menjahit (al-khayyaatu an-nasihuu) yaitu menempatkan serta menghubungkan bagian (unsur) yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan kedudukan masing-masing.
Mukti Ali mengatakan, agama adalah percaya pada adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukum-hukum yang diwahyukan kepada utusanNya bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Mukti Ali membatasi pengertian agama pada kepercayaan dan hokum. Mehdi Ha’iri Yazdi berpendapat, agama adalah kepercayaan kepada Yang Mulak atau Kehendak Mutklak sebegai kepedulian tertinggi. Pengertian inimenjadikan Tuhan sebagai focus perhatian dan kepedulian tertinggi agama sehingga agama cenderung mengabaikan persoalan kemanusiaan. Agama akhirnya bersifat teosentris, tanpa perhatian yang cukup terhadap soal-soal kemiskinan dan keterbelakangan umat.
Harun Nasution mengemukakan pelbagai pengertian tentang agama yang dikemukakan sejumlah ahli, yaitu: (1) pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi; (2) pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang menguasai manusia; (3) mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia; (4) kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu; (5) suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari suatu kekuatan gaib; (6) pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada kekuatan gaib; (7) pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari \perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat di alam sekitar manusia; (8) ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.
- Fungsi Dan Tujuan Agama
Menurut Abuddin Nata sekurang-kurangnya hanya ada tiga alasan perlunya manusia terhadapa agama, yakni: Pertama, latar belakang fitah manusia. Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah keagamaan tersebut buta pertama kali ditegaskan dalam ajaran Islam, yakni bahwa agama adalah kebutuhan manusia.
Kedua, alasan lain mengapa manusia perlu beragama menurut Abuddin Nata adalah kelemahan dan kekurangan manusia. Alasan inipun kelihatannya bisa diterima, di samping karena keterbatasan akal manusia untuk menentukan hal-hal yang di luar kekuatan pikiran manusia itu sendiri, juga karena manusia sendiri merupakan makhluk dha’if (lemah) yang sangat memerlukan agama.
Ketiga, adanya tantangan manusia. Manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan syetan, sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya memalingkan manusia dari Tuhan.
Dimensi (Unsur-Unsur) Agama
Demikian kompleksnya pendefinisian agama. Definisi yang dikemukakan para ahli itu pun tidak selalu komprehensif. Sebagian tampak parsial karena hanya menyangkut sebagian dari realitas agama. Definisi adalah suatu batasan, sementara agama tak bisa dibatasi. Namun, untuk memudahkan, perlu dikemukakan unsur-unsur pokok yang lazim menyangga suatu agama. Harun Nasution menyimpulkan, agama memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
Pertama, kekuatan gaib. Manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada keuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh karena itu, manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik ini dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan laranagan keuatan gaib itu. Mengacu pada unsur yang pertama, dapat dikatakan bahwa agama sesungguhnya berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris atau supra empiris.
Kedua, keyakinan bahwa kesejahteraan di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Dengan hilangnya hubungan baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan hilang pula.
Ketiga, respons manusia yang bersifat emosional. Respons itu bisa mengambil bentuk perasaan takut seperti pada agama-agama primitive atau perasaan cinta seperti agama-agama monoteisme. Selanjutnya, respons mengambil bentuk penyembahan yang terdapat dalam agama-agama primitf, atau pemujaan yang terdapat dalam agama-agama monoteisme. Lebih lanjut lagi, respons itu mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.
Keempat, paham adanya yang kudus dan suci dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama bersangkutan, dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.
Dari segi psikologi, L. B. Brown mengatakan dalam bukunya Psychology and Religion memberikan lima variabel agama, yang meliputi:
Pertama, tingkah laku (behaviour) atau praktek-praktek yang menggambrakan keadaan agama, dikembangkan biasanya melalui kerap tidaknya pergi ke gereja, membaca injil dan sebagainya.
Kedua, renungan suci dan iman (belief), iman biasanya dihubungkan dengan kerangka kepercayaan yang umum dan yang khusus tertentu.
Ketiga, perasaan keagamaan atau pengalaman (experience) dan kesadaran tentang sesuatu yang transeden yang dapat memberikan dasar yang kokoh bagi kehidupan keagamaan.
Keempat, keterikatan (involvement) dengan suatu jama’ah yang menyatakan diri sebagai institusi nilai, sikap atau kepercayaan.
Dan yang kelima, consequential effects dari pandangan-pandangan keagamaan dalam tingkah laku yang non-agama dan dalam tingkah laku moral.
Di dalam ajaran agama yang diwahyukan ada dua jalan untuk memperoleh pengetahuan, pertama, jalan wahyu dalam arti komunikasi dari Tuhan kepada manusia, dan kedua jalan akal, yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia, dengan memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan. Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin salah.
Makalah ini akan mencoba membahas kedua hal tersebut. Sebuah topik pembahasan yang sarat dengan dialektika para ulama, baik yang terdahulu hingga kini; sebuah telaah sederhana guna mencoba memahami pemikiran-pemikiran ulama terdahulu yang telah terlebih dahulu hanyut dalam perdebatan panjang.
- Definisi Akal dan Wahyu
Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-aql yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan al-wahy, tidak terdapat dalam Al-Quran. Al-Quran hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluh dalam 1 ayat, ta’qilun 24 ayat, na’qil 1 ayat, ya’qiluha 1 ayat dan ya’qilun 22 ayat. Kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti.
Kamus bahasa Arab Lisan Al-‘Arab menjelaskan bahwa al-‘aql berarti al-hijr menahan dan al-‘aqil ialah orang yang menahan diri dan mengekang hawa nafsu. Seterusnya diterangkan pula bahwa al-‘aql mengandung arti kebijaksanaan, al-nuha, lawan dari lemah pikiran, al-humq. Selanjutnya disebut bahwa al-‘aql juga mengandung arti kalbu, al-qalb.
Arti asli dari kata ‘aqala kelihatannya adalah mengikat dan menahan dan orang yang ‘aqil di jaman jahiliah, yang dikenal dengan hamiyyah atau darah panasnya, adalah orang yang dapat menahan amarahnya dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.[1]
Dalam pemahaman Profesor Izutsu (Harun Nasution, 1986), kata ‘aql di jaman jahiliah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi mpdern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah, orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi. Kebijaksanaan praktis serupa ini amat dihargai oleh orang Arab jaman jahiliah.[2]
Wahyu sendiri berasal dari kata Arab al-wahy, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Di samping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al-Wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”.
Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihanNya agar diteruskan kepada umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Dalam Islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul semuanya dalam Al-Quran.[3]
- Kedudukan Akal dan Wahyu dalam Teologi Islam
Teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua hal tersebut. Akal, sebagai daya berpikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.
Banyak terdapat dalam buku-buku klasik tentang ilmu kalam yang membahas persoalan akal dan wahyu, keduanya terkait dengan dua masalah pokok yang masing-masing bercabang dua. Masalah pertama ialah soal mengetahui Tuhan dan masalah kedua soal baik dan jahat. Masalah pertama bercabang menjadi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan yang dalam istilah Arab disebut husnul ma’rifah Allah dan wujud ma’rifah Allah.[4] Kedua cabang dari masalah kedua ialah: mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat atau ma’rifah i’tinaq al-hasan wa ijtinab al-qabih, yang disebut al-tahsin wa al-taqbih.[5]
Sederhananya seperti ini:
- Dapatkah akal mengetahui adanya Tuhan?
- Kalau ya, dapatkah akal mengetahui kewajiban berterimakasih kepada Tuhan?
- Dapatkah akal mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat?
- Kalau ya, dapatkah akal mengetahui bahwa wajib bagi manusia berbuat baik dan wajib baginya menjauhi perbuatan jahat?
Polemik yang terjadi antara aliran-aliran teologi Islam yang bersangkutan ialah: yang manakah di antara keempat masalah itu yang dapat diperoleh melalui akal dan mana melalui wahyu? Masing-masing aliran memberikan jawaban-jawaban yang berlainan.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa ke-empat masalah tersebut dapat diketahui akal, golongan Asy’ariah mengatakan bahwa akal dapat mengetahui hanya satu dari ke-empat masalah itu, yaitu adanya Tuhan. Menurut penjelasan Al-Asy’ari sendiri, semua kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu. Akal tak dapat menentukan Sesuatu menjadi wajib dan dengan demikian tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat adalah wajib. Selanjutnya ia mengatakan bahwa akal dapat mengetahui adanya Tuhan, tetapi mengetahui tentang kewajiban terhadap Tuhan diperoleh hanya melalui wahyu.
Jelas bahwa antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah terdapat perbedaan besar mengenai kesanggupan akal manusia. Kalau bagi aliran pertama daya fikir manusia adalah kuat, bagi aliran kedua akal adalah lemah.
Kamu Maturidiah Samarkand memberi jawaban yang lain terhadap ke-empat pertanyaan di atas. Bagi mereka hanya satu, yaitu kewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat, yang tidak dapat diketahui oleh akal. Akal dapat mengetahui adanya Tuhan, wajibnya manusia berterima kasih kepada Tuhan dan kebaikan serta kejahatan.
Kaum Maturidiah Bukhara tidak sefaham dengan Samarkand dalam hal ini. Bagi Bukhara hanya pengetahuan-pengetahuan yang dapat diperoleh akal. Adapun kewajiban-kewajiban, itu wahyulah yang menentukannya. Jadi yang dapat diketahui akal hanya dua dari ke-empat masalah di atas, yaitu adanya Tuhan dan kebaikan serta kejahatan.
Jika diadakan perbandingan antara ke-empat golongan ini akan dijumpai bahwa dua aliran memberi daya kuat kepada akal, aliran Mu’tazilah dan aliran Maturidiah Samarkand dan dua aliran memandang akal manusia lemah, aliran Maturidiah Bukhara dan Asy’ariah. Dan jika diperinci lebih lanjut lagi Mu’tazilah memberi angka 4 kepada akal, Maturidiah Samarkand memberi angka 3, Maturidiah Bukhara memberi angka 2, dan Asy’ariah memberi angka 1. Uraian di atas menunjukkan bahwa akal mempunyai kedudukan terkuat dalam pendapat Mu’tazilah dan terlemah dalam pendapat Asy’ariah.
Kalau demikian peranan akal dalam soal keagamaan, timbul pertanyaan: apa jadinya fungsi wahyu? Pertanyaan ini terutama dihadapkan kepada golongan Mu’tazilah dan maturidiah Samarkand yang memberikan daya kuat kepada akal manusia.
Akal dalam pendapat Mu’tazilah dapat mengetahui hanya garis-garis besar dari ke-empat masalah di atas. Akal, kata Al Qadi ‘Abd Al-Jabbar, seorang pemuka Mu’tazilah dapat mengetahui kewajiban-kewajiban secara umum, tetapi tidak sanggup mengetahui perinciannya, baik mengenai hidup manusia di akhirat nanti, maupun mengenai hidup manusia di dunia sekarang. Wahyu datang untuk menjelaskan perincian dari garis-garis besar itu. Umpamanya akal dapat mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui cara dan perinciannya. Wahyulah yang menjelaskan cara dan perincian kewajiban tersebut yaitu dalam bentuk salat lima kali sehari. Zakat sekali setahun, puasa sebbulan setahun dan haji sekali seumur hidup.
Selanjutnya tidak semua kebaikan dan kejahatan dapat diketahui akal. Akal, kata Ibnu Abi Hasyim, seorang tokoh Mu’tazilah lain, mengetahui kewajiban menjauhi perbuatan-perbuatan yang membawa kemudaratan, tetapi ada perbuatan-perbuatan yang tak dapat diketahui akal apakah membawa kebaikan atau kejahatan. Dalam hal demikian wahyulah yang menentukan buruk atau baiknya perbuatan bersangkutan. Umpamanya akal mengatakan bahwa meotong binatang adalah perbuatan tidak baik. Tetapi wahyu turun menjelaskan bahwa menyembelih binatang untuk keperluan-keperluan tertentu, seperti memperingati peristiwa keagamaan bersejarah, memperkuat tali persahabatan dengan tetangga dan menunjukkan rasa kasih sayang kepada fakir miskin, adalah baik.
Sejalan dengan pendapat ini kaum Mu’tazilah mengadakan perbedaan antara qaba’ih aqliyah serta manakir ‘aqliyah perbuatan-perbuatan yang tidak baik menurut pendapat akal dan qabaih syar’iyah serta manakir syar’iyah, perbuatan-perbuatan yang tidak baik menurut wahyu. Juga mereka perbedakan antara wajibat ‘aqliyah serta taklif ‘aqli kewajiban yang ditentukan akal, dan wajibat syar’iyah serta taklif sam’i wajibat syar’iyah kewajiban yang ditentukan wahyu.
Wahyu turun, di samping untuk hal-hal di atas, juga untuk memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah untuk memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia kelak di akhirat. Al-Qadi ‘Abd Al-Jabbar menegaskan bahwa akal tidak dapat mengetahui besar kecilnya pahala di surge dan hukuman di neraka nanti. Menurut Al-Jubba’I wahyulah yang menjelaskan semua itu.
Jelas kiranya bahwa kaum Mu’tazilah, sungguhpun mereka memberi daya yang kuat kepada akal, tidak membelakangkan wahyu, tetapi tetap berpegang dan berhajat pada wahyu. Demikian pula kaum Maturidiah Samarkand. Adapun Maturidiah Bukhara dan kaum Asy’ariah, bagi kedua aliran ini fungsi wahyu lebih banyak dari padabegi kedua aliran di atas.
Bagi mereka hanya wahyulah yang dapat menentukan wajibnya bagi manusia sebagai makhluk untuk berterimakasih kepada sang Pencipta, hanya wahyulah yang dapat menentukan perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk dan hanya wahyulah yang dapat mewajibkan orang berbuat baik dan mewajibkannya menjauhi perbuatan jahat. Akal tidak mempunyai peranan dalam hal-hal ini. Bagi Asy’ariah bahkan akal tidak dapat mengetahui kebaikan dan kejahatan. Sekiranya tidak ada wahyu, manusia tidak akan dapat membedakan antara apa yang baik dan apa yang buruk. Dalam hubungan ini Al-Asy’ari menjelaskan bahwa berdusta adalah perbuatan jahat karena wahyu menentukan demikian; sekiranya wahyu mengatakan berdusta adalah perbuatan baik, maka itu mesti baik, dan jika berdusta diwajibkan Tuhan, maka ia mesti bersifat wajib.
Pandangan berbeda-beda terhadap akal dan wahyu sebagai diuraikan di atas membawa perbedaan pula dalam pendapat-pendapat teologi dari aliran itu.
Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akalnyalah maka manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain di sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia bertambah tinggi kesanggupannya untuk mengalahkan kekuatan-kekuatan makhluk lain itu. bertambah lemah kekuatan akal manusia bertambah rendah kesanggupannya menghadapai kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Sejalan dengan uraian ini, maka manusia dalam pandangan Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand merupakan manusia yang kuat sedang dalam pandangan Asy’ariah dan Maturidiah Bukhara manusia merupakan makhluk lemah. Diungkapkan dengan kata-kata lain, kalau dalam paham aliran pertama manusia merupakan dewasa dan dapat berdiri sendiri, dalam paham kedua aliran lainnya manuia merupakan anak yang belum dewasa dan masih banyak bergantung pada bimbingan orang lain.
Dalam perbandingan teologi memang dikenal bahwa Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand termasuk dalam aliran yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan kemauan dan perbuatannya (qadariah-free will and free act) sedang kedua lainnya termasuk dalam aliran yang berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatannya (jabariah-predestination).[6]
Kaum Mu’tazilah, dalam membela faham qadariah mereka, mempergunakan ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain:
“Siapa yang mau (percaya) percayalah dan siapa yang mau (tidak percaya) janganlah ia percaya.” (QS, 18:96)
Kaum Asy’ariyah demikian juga membawa ayat-ayat Al-Quran untuk memperkuat argumen rasional mereka. Umpamanya ayat:
“Tuhan menciptakan kamu dan perbuatan kamu.” (QS, 37:96)
Karena dianggap akal manusia mempunyai daya besar, diperbandingkan dengan anggapan Al-Asy’ariah dan Maturidiah Bukhara, aliran teologi Mu’tazilah mengambil bentuk rasionla yang kerasionalannya lebih tinggi dari kerasionalan aliran-aliran lain. Dalam memahami ayat-ayat Al-Quran Mu’tazilah lebih bayak memakai penafsiran majazi atau metaforis dari pada penafsiran lafdzi atau letterlek. Sebagai umpama dapat disebut ayat-ayat tajsim atau antropomorfis yang terdapat dalam Al-Quran. Wajah TUhan ditafsirkan menjadi esensi Tuhan dan tangan Tuhan menjadi kekuasaan Tuhan. Asy’ari sebaliknya lebih banyak berpegang kepada arti lafdzi, yaitu wajah tetap berarti wajah dan tangan tetap berarti tangan, hanya wajah dan tangan Tuhan berbeda dari wajah dan tangan manusia.
Demikian juga terdapat perbedaan dalam pendapat-pendapat aliran-aliran itu tentang kekuasaan, kehendak, keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan dan sifat-sifat Tuhan.[7]
Perlu ditegaskan bahwa semua aliran teologi ini dalam memperkuat pendapat mereka masing-masing, di samping membawa argumen-argumen rasional, juga membawa ayat-ayat Al-Quran dianggap belum cukup kuat. Demikian juga semua aliran itu, termasuk Mu’tazilah, dalam pemikiran teologis mereka, tidak menentang nas atau teks ayat. Semuanya tunduk kapada nas atau teks Al-Quran; hanya nas itu diberi interpretasi yang sesuai dengan pendapat akal. Perbedaannya hanyalah bahwa golongan Mu’tazilah memberikan interpretasi yang sesuai dengan pendapat akal. Perbedaannya hanyalah bahwa golongan Asy’ariah. Dengan kata lain, penafsiran Asy’ariah dekat kepada arti lafdzi sedang penafsiran Mu’tazilah jauh dari arti lafdzi. Tetapi, bagaimanapun semua aliran itu, termasuk Asy’ariah, mempergunakan akal dalam memahami ayat-ayat Al-Quran.[8]
Pengertian Agama Arti dan Definisi Agama. Apa pengertian Agama itu? Kata agama berasal dari bahasa sanskerta “A” berarti tidak; “GAMA” berarti kacau. Sehingga agama berarti tidak kacau. Atau dapat diartikan suatu peraturan yang bertujuan untuk mencapai kehidupan manusia ke arah dan tujuan tertentu. Dilihat dari sudut pandang kebudayaan, agama dapat berarti sebagai hasil dari suatu kebudayaan, dengan kata lain agama diciptakan oleh manusia dengan akal budinya serta dengan adanya kemajuan dan perkembangan budaya tersebut serta peradabanya. Bentuk penyembahan Tuhan terhadap umatnya seperti pujian, tarian, mantra, nyanyian dan yang lainya, itu termasuk unsur kebudayaan.
Sehingga pada sudut pandang dari pengertian Agama yang ini semakin maju peradaban manusia maka agama juga akan mengalami kemajuanya. sedangkan jika dilihat dari sudut pandang sosiologi, agama adalah salah satu tindakan pada suatu sistem kemasyarakatan (sosial) yang terdapat pada diri seseorang tentang kepercayaan terhadap kekuatan tertentu (magis atau spiritual) serta berfungsi untuk perlindungan dirinya dan orang lain.
Sumber terjadinya agama dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu:
- Agama samawi atau agama dari langit, yang diperoleh melalui Wahyu Illahi (Islam, Kristen, Yahudi).
- Agama Wa’i atau disebut juga agama bumi, yaitu agama budaya yang timbul akibat kekuatan didalam pikiran atau akal budi seseorang atau masyarakat (Hindu, Buddha, Konghuchu, dan aliran agama atau kepercayaan lainya).
Suatu kepercayaan dapat dikatakan sebagai Agama apabila mengandung tiga unsur yaitu; manusia, penghambaan dan Tuhan. Karena maksud dari agama adalah penghambaan manusia kepada Tuhannya.
Hingga saat ini, banyak orang yang memeluk agama A atau B atau C namun tidak megetahui dan memahami apa makna dan pengertian dari agama itu sendiri. Mereka hanya mengikuti ajaran suatu agama, tetapi bingung jika ada orang yang bertanya mengenai arti agama. Padahal, sebenarnya kita harus mengetahui dulu apa makna dan pengertian dari agama. Dari hal tersebut, DR KH Zakky Mubarak membahas mengenai makna dan pengertian agama.
Pengertian agama menurut bahasa dapat diartikan dari berbagai teori. Jika kita tinjau dari bahasa Sansekerta, pengertian agama dapat menghasilkan dua arti yang berbeda. Pertama, agama berasal dari kata a yang berarti tidak dan gama yang berarti kacau. Sehingga agama dapat diartikan tidak kacau. Maksud dari arti tersebut adalah agama berfungsi mengatur kehidupan manusia dan menetapkan hukum-hukum dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, agama dapat memberikan ketenteraman dan menjauhkan kita dari kekacauan. Kedua, agama berasal dari kata gam yang mempunyai arti pergi. Namun, setelah mendapat imbuhan dan akhiran a, pengertiannya menjadi jalan. Maksud dari arti tersebut adalah agama adalah jalan yang ditempuh manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat
Dalam dunia pesantren, pengertian agama berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata aqama al-din, yang berarti melaksanakan dan menunaikan ajaran agama. Agama diterjemahkan dengan kata religion dari bahasa Inggris, religere dari bahasa latin, yakni ketetapan yang mengatur hubungan manusia dengan yang Maha Kudus (Allah SWT) dan disebut dengan hubungan vertikal. Menurut bahasa Indonesia, agama diartikan sebagai sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan, dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1999: 10).
Karena banyak kesulitan dalam memahami pengertian agama, beberapa ahli mengalihkan hal tersebut kepada pengertian dari orang yang beragama. Salah satu ahlinya adalah Mircea Eliade yang di dalam bukunya “The Sacred and The Profane” mengatakan ”A Religious man is one who recognizes the essential differences between the sacred and the profane and prefer the sacred”. Artinya adalah “seseorang beragama adalah orang yang menyadari perbedaan-perbedaan pokok antara yang suci dan yang biasa (profane), serta mengutamakan yang suci.” (HM. Rasjidi, 1974: 48)
Pengertian agama dalam Al-Qur’an disebut dengan kata “al-millah” yang berarti aturan tertentu yang ditetapkan dalam rangka mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan makhluk lain, dan kata “al-din” yang disebut hubungan vertikal dan horizontal.
Dari penjelasan mengenai pengertian agama di atas, kita dapat mengambil kesimpulan, yakni pengertian agama hanya mendasarkan pada aturan antara hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan pengertian agama dalam Al-Qur’an lebih menjelaskan dengan detail, yakni mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama, dan hubungan manusia dengan makhluk lainnya.