Home / Budaya / Sejarah Agama Hindu (Asal Usul Nama Hindu)

Sejarah Agama Hindu (Asal Usul Nama Hindu)

  1. Pendahuluan.

Menurut R. Antoine, sangatlah sulit untuk mendefinisikan Hinduisme, karena “Hinduisme bukanlah satu agama dengan syahadat tunggal yang harus dipatuhi oleh semua orang. Hinduisme lebih merupakan sebuah federasi berbagai pendekatan terhadap realitas yang berada dibalaik kehidupan”. Selain pluralitas doktrin, aliran serta latihan, ada dua unsur yang membuat elaborasi definisi menjadi sulit. Pertama, Hinduisme tidak memiliki pendiri seperti dalam agama Buddihisme, Kristen, dan Islam, kedua, Hinduisme tidak memiliki tubuh otoritas yang merumuskan batas-batas dogma.[1] Oleh karena itu disini penulis akan menjelaskan asl usul nama Hindu dan bagaimna sejarah India Kuno.

  1. Asal Usul Nama Hindu

Pendiri Hinduisme tidak diketahui dan titik awalnya merujuk pada masa pra-sejarah. Hinduisme juga merupakan tradisi religious utama yang tertua. Menurut Yong Choon Kim, Hinduisme juga seringkali disebut sebagai agama ahistoris dan nonhistoris, karena tidak memiliki awal sejarah dan tidak ada pendiri tunggal. Menurut tradisi, seseorang tidak dapat menjadi seorang Hindu kecuali ia dilahirkan dalam keluarga Hindu.

Sebelum kata “Hindu” dan “Hinduisme” diterima, ada istilah-istilah yang diperkenalkan oleh orang asing, yakni: orang Persia, Yunani dan Inggris. Umat Hindu menyebut tradisi mereka sebagai Vaidika Dharma, Artinya Dharmanya weda.[2]

Dalam bahasa Persia, kata Hindu berakar dari kata Sindhu  (Bahasa Sanskerta).  Dalam Reg Weda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India, yang salah satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata Hapta-Hendu yang termuat dalam  Zend Avesta — sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu. Hindu sendiri sebenarnya baru terbentuk setelah Masehi ketika beberapa kitab dari Weda digenapi oleh para brahmana. Pada zaman munculnya agama Buddha, agama Hindu sama sekali belum muncul semuanya masih mengenal sebagai ajaran Weda.[3]

Riwayat Hinduisme yang diketahui paling dini terdapat pada peradaban Lembah Sungai Indus. Kata itu sendiri berasal dari bahasa Sansekerta untuk Sungai Indus, Sidddhu, kata yang oleh bangsa Persia kuno diucapkan sebagai “Hindu”. Tidak lama sebelumnya kata itu digunakan untuk menyebut semua bangsa India pada umumnya, tetapi sekarang kata itu hanya digunakan untuk menyebut pengikut Hinduisme.[4]

Agama Hindu lahir dan berkembang pertama kalinya dilembah sungai suci Sindhu di India. Agama Hindu adalah sebuah agama yang berasal dari anak benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda (Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan sebangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM. Agama ini merupakan agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan jumlah umat sebanyak hampir 1 miliar jiwa.

Penganut agama Hindu sebagian besar terdapat di anak benua India. Di sini terdapat sekitar 90% penganut agama ini. Agama ini pernah tersebar di Asia Tenggara sampai kira-kira abad ke-15, lebih tepatnya pada masa keruntuhan Majapahit. Mulai saat itu agama ini digantikan oleh agama Islam dan juga Kristen. Pada masa sekarang, mayoritas pemeluk agama Hindu di Indonesia adalah masyarakat Bali, selain itu juga yang tersebar di pulau Jawa, Lombok, Kalimantan (Suku Dayak Kaharingan), Sulawesi (Toraja dan Bugis – Sidrap).[5]

Agama ini timbul dari bekas–bekas runtuhan ajaran–ajaran Weda dengan mengambil pokok pikiran dan bentuk–bentuk rupa India purbakala dan berbagai kisah dongeng yang bersifat rohani yang telah tumbuh disemenanjung itu sebelum kedatangan bangsa Arya. Dengan sebab ini para peneliti menganggap Agama Hindu sebagai kelanjutan dari ajaran – ajaran Weda dan menjadi bagian dari proses evolusinya. Menurut para sarjana, agama hindu terbentuk dari campuran antara agama India asli dengan agama atau kepercayaan bangsa Arya.[6]

Agama Hindu adalah suatu agama yang berevolusi dan merupakan kumpulan adat-istiadat dan kedudukan yang timbul dari hasil penyusunan bangsa Arya terhadap kehidupan mereka yang terjadi pada satu generasi ke generasi yang lain sesudah mereka datang berpindah keIndia dan menundukkan penduduk aslinya serta membentuk suatu masyarakat sendiri diluar pengaruh penduduk asli itu.[7]

Sejarah agama Hindu dimulai dari zaman perkembangan kebudayaan–kebudayaan besar di Mesopotamia dan Mesir. Karena rupanya antara tahun 3000 dan 2000 sebelum Masehi dilembaga sungai Indus sudah ada bangsa–bangsa yang peradapannya menyerupai kebudayaan bangsa Sumeria di daerah sungai Eufrat dan Tigris, maka terdapat peradapan yang sama di sepenjang pantai dari laut Tengah sampai ke Teluk Benggal. Penduduk India pada zaman itu terkenal sebagai bangsa Dravida. Bangsa Dravida adalah bangsa yang berkulit hitam dan berhidung pipih, berperawakan kecil dan berambut keriting. Sistem kepercayaan bangsa dravida sebelum masuknya agama Hindu. Bangsa Dravida melahirkan budaya pertapaan menyiksa diri yang beranggapan bahwa jiwa itu tidak sama dengan badan, jika mereka menyatukan badan dengan jiwa maka itu dianggap sebagai bentuk kekekalan. System kepercayaannya seperti orang meditasi, bertapa mengembara, selimbat (tidak menikah), melatih fikiran, mencari jalan kematian dan kelahiran (mencapai kebebasan).

Antara tahun 2000 dan 1000 sebelum Masehi dari sebelah utara masuk ke India kaum Arya, yang memishkan diri dari kaum sebangsanya di Iran yang memasuki India melalui jurang–jurang di pegunungan Hindu Kush. Bangsa Arya adalah bangsa yang berkulit putih dan berbadan tanggap, bentuk hidungnya melengkung sedikit. Kepercayaan bangsa Arya sebelum masuk agama Hindu, Pada awalnya bangsa Arya belum mengenal sistem kepercayaan yang mapan dan terorganisir. Mereka melakukan pemujaan-pemujaan yang ditujukan pada fenomena-fenomena alam, seperti; sungai, gunung dan pegunungan, laut, halilintar, matahari, bulan bintang, batu-batu besar, pohon-pohon besar, dan lain-lain. Tetapi terkadang fenomena alam menjadi sesuatu yang menakutkan bagi mereka, yang mereka anggap alam menjadi marah, murka, bahkan mengamuk. Dengan pengalaman tersebut, mereka memulai melakukan pemujaan-pemujaan terhadap fenomena-fenomena alam tersebut bertujuan untuk menentramkan fenomena-fenomenaalam yang mereka anggap sebagai penganggu. Bangsa Arya mempunyai tahap-tahap dalam system keprcayaan yaitu

  1. Totheisme atau Totemisme atau Antrophomorphisme, adalah tahap di mana persembahan yang mereka berikan masih sangat sederhana kepada fenomena-fenomena alam (sungai, batu, guning, pohon, dan sebagainya).
  2. Polytheisme, pada tahap ini mereka beranggapan bahwa fenomena-fenomena alam tersebut dianggap memiliki suatu kekuatan dan mereka menganggapnya sebagai dewa. Mereka mulai memuja dewa-dewa seperti; Dewa Air (Baruna), Dewa Matahari (Suriya), Dewa Angin (Bayu), dan lain-lain.
  3. Henotheisme, di tahap ini mereka cenderung memfavoritkan pada dewa-dewa tertentu untuk suatu periode, sehingga kefavoritan menjadi berganti-ganti unutk satu periode sesuai dengan keadaan. Bila pada musim kemarau, mereka memuja dan memfavoritkan kepada Dewa Hujan, pada musim bercocok tanam mereka memuja Dewa Air, dan sebagainya.
  4. Monotheisme, pada tahap ini mereka hanya memuja pada satu dewa yang mereka kenal sebagai dewa pencipta segalanya (Pajapati), mereka beranggapan bahwa Pajapati adalah sebagai pencipta alam semesta. Pajapati sering dianggap sebagai dewa yang bertugas menciptakan semua hal dan kemudian berkembang gagasan tentang Brahma. Dari tahap Antrophomorphisme, Polytheisme, kemudian tahap Henotheisme, sampai pada tahap Monotheisme itu disebut tahap Yadnya Marga atau Karma Marga, karena mereka cenderung masih melakukan upacara-upacara persembahan atau upacara kurban dengan tujuan agar mendapatkan berkah, pahala, kebahagiaan, dan keselamatan.
  5. Monisme atau Pantheisme, adalah tahap di mana mereka tidak lagi menyembah dewa-dewa. Mereka meyakini atau berprinsip bahwa ada suatu sumber dari segala sesuatu, yaitu yang mereka namakan sebagai Roh Universal (Maha Atman). Dan mereka juga meyakini bahwa setiap benda atau bentukan memiliki Roh Individu yang mereka namakan Puggala Atman. Di tahap ini yang semakin berkembang mereka melakukan suatu pencarian, bagaimana agar Puggala Atman dapat bersatu dengan Maha Atman.[8]

Setelah bangsa Arya menempati sungai Indus, bercampurlah mereka dengan penduduk asli bangsa Dravida. Semula orang beranggapan bahwa kebudayaan India itu seluruhnya merupakan kebudayaan yang dibawa oleh bangsa Arya, tetepi setelah penggalian–penggalian di Mohenjo Daro dan Hatappa, berubah pandangan orang. Ternyata kebudayaan bangsa Arya lebih rendah dari pada bangsa Dravida. Jadi dapat dikonstatasi  dengan jelas, bahwa agama Hindu tumbuh dari dua sember yang berlainan, tumbuh dari perasaan dan pikiran keagamaan dua bangsa yang berlainan, tetapi kemudian lebur menjadi satu.[9]

  1. Sejarah India Kuno

Penemuan kebudayaan di sungai India kuno, berawal pada abad ke-19 (tahun 1870), dan mulai dieksplorasi oleh bangsa Inggris. Hingga sekarang, penggalian kebudayaan sungai India kuno tidak pernah berhenti, bahkan menemukan lagi sebuah aliran sungai kuno lainnya, pada dua sisi aliran sungai kuno ini tidak sedikit ditemukan juga peninggalan kuno lainnya. Di dalam sejarah India kuno terdapat perdapan Lembah sungai Indus, peradaban Mohenjodaro dan Harappa, Invansi bangsa Arya.

  1. Peradaban Lembah Sungai Indus

(gambar peradaban Lembah sungai Indus. Setelah mendiami areal seluas ukuran Eropa barat di wilayah yang sekarang Pakistan dan India barat, daerah itu dihuni sejak tahun 7000 SM. Meskipun menjadi salah satu peradaban kuno terbesar, tidak banyak yang diketahui tentang peradaban Harappa, terutama karena bahasa mereka belum bisa diterjemahkan.)

Peradaban Lembah Sungai Indus, 2800 SM–1800 SM, merupakan sebuah peradaban kuno yang hidup sepanjang Sungai Indus dan Sungai Ghaggar-Hakra yang sekarang Pakistan dan India Barat. Peradaban ini sering juga disebut sebagai Peradaban Harappan Lembah Indus, karena kota penggalian pertamanya disebut Harappa, atau juga Peradaban Indus Sarasvati karena Sungai Sarasvati yang mungkin kering pada akhir 1900 SM. Panjang Sungai Indus kurang lebih 2900 kilometer. Pemusatan terbesar dari Lembah Indus berada di timur Indus, dekat wilayah yang dulunya merupakan Sungai Sarasvati kuno yang pernah mengalir.[10] Sisa peradaban Lembah Sungai Indus ditemukan peninggalannya di dua kota, yaitu Mohenjodaro dan Harappa. Kebudayaan Indus ini didukung oleh bangsa Dravida yang berbadan pendek, berhidung pesek, berkulit hitam, berambut keriting. Kebudayaan Indus berhasil diteliti oleh seorang arkeolog Inggris, Sir John Marshal, yang dibantu Banerji (orang India).[11]

Mata pencaharian bangsa Dravida adalah bercocok tanam, yang dibuktikan dengan ditemukannya cangkul, kapak, dan patung Dewi Ibu yang dianggap lambang kesuburan. Hasil pertanian berupa gandum dan kapas. Sudah ada saluran irigasi untuk mencegah banjir serta untuk pengairan sawah-sawah rakyat. Dalam perdagangan terlihat adanya hubungan dengan Sumeria di Lembah Eufrat dan Tigris, yang diperdagangkan adalah keramik dan permata.

Perkembangan kepercayaan Lembah Sungai Indus. Masyarakat Lembah Sungai Indus telah mengenal cara penguburan jenazah, tetapi, hal ini disesuaikan dengan tradisi suku bangsanya. Di Mohenjodaro contohnya, masyarakatnya melakukan pembakaran jenazah. Asumsi ini didapat karena pada letak penggalian Kota Mohenjodaro tidak terdapat kuburan. Jenazah yang sudah dibakar, lalu abu jenazahnya dimasukkan ke dalam tempayan khusus. Namun ada kalanya, tulang-tulang yang tidak dibakar, disimpan di tempayan pula. Objek yang paling umum dipuja pada masa ini adalah tokoh “Mother Goddess”, yaitu tokoh semacam Ibu Pertiwi yang banyak dipuja orang di daerah Asia Kecil. Mother Goddess digambarkan pada banyak lukisan kecil pada periuk belanga, materai, dan jimat-jimat. Dewi-dewi yang lain nampaknya juga digambarkan dengan tokoh bertanduk, yang terpadu dengan pohon suci pipala. Ada juga seorang dewa yang bermuka 3 dan bertanduk. Lukisannya terdapat pada salah satu materai batu dengan sikap duduk dikelilingi binatang. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya gambar lingga yang merupakan lambang Dewa Siwa. Namun, kita juga tidak dapat memastikan, apakah wujud pada materai tersebut menjadi objek pemujaan atau tidak. Meskipun demikian, dengan adanya bentuk hewan lembu jantan tersebut, pada masa kemudian, bentuk hewan seperti ini dikenal sebagai Nandi, yaitu hewan tunggangan Dewa Siwa.Sudah mengenal sistim kepercayaan menyembah banyak dewa (politeisme) serta segala sesuatu yang dianggap keramat. Contohnya adalah pohon pipal dan beringin yang oleh umat Buddha dianggap pohon suci, binatang yang dipuja adalah gajah dan buaya.

Kita tidak tahu banyak tentang peradapan Lembah Indus. Namun, patung-patung para dewi yang dibuat pada zamannya memberi kesan bahwa orang-orang Lembah Indus sangat menekankan pentingnya kesuburan wanita. Beberapa dewa dan dewi Hindu, seperti Shiva, mungkin merupakan keturunan dari para dewi yang hidup pada zaman sebelumnya.[12]

  1. Peradaban Mohenjodaro dan Harappa

Munculnya peradaban Harappa lebih awal dibanding kitab Veda, saat itu bangsa Arya belum sampai India. Waktunya adalah tahun 2500 sebelum masehi, bangsa Troya mendirikan kota Harappa dan Mohenjondaro serta kota megah lainnya didaerah aliran sungai India. Tahun 1500 sebelum masehi, suku Arya baru menjejakkan kaki di bumi India Kuno. Asal mula peradaban India, berasal dari kebudayaan sungai India, mewakili dua kota peninggalan kuno yang paling penting dan paling awal dalam peradaban sungai India, yang sekarang letaknya di kota Mohenjodaro, propinsi Sindu Pakistan dan kota Harappa dipropinsi Punjabi.

Mohenjo-daro adalah salah satu situs dari sisa-sisa permukiman terbesar dari Kebudayaan Lembah Sungai Indus, yang terletak di propinsi Sind, Pakistan. Dibangun pada sekitar tahun 2600 SM, kota ini adalah salah satu permukiman kota pertama di dunia, bersamaan dengan peradaban  Mesir Kuno,  Mesopotamia dan Yunani Kuno. Arti dari Mohenjo-daro adalah “Bukit orang mati”. Seringakali kota tua ini disebut dengan “Metropolis Kuno di Lembah Indus”.

(Peta kota Mohenjodaro dan Happah. Pembangunan kota Harappa adalah pada masa sebelum bangsa Arya memasuki wilayah peradaban Lembah Hindus, yakni sekitar 2500 SM. Bangsa asli India mendirikan kota megah dikawasan ini hingga tahun 1500 SM ketika bangsa Arya mulai bercampur dengan penduduk asli)

Harappa ialah sebuah kota di Punjab, timur laut Pakistan sekitar 35 km tenggara Sahiwal. Kota ini terletak di bantaran bekas Sungai Ravi. Munculnya peradaban Harappa lebih awal dibanding kitab Veda, saat itu bangsa Arya belum sampai India. Waktunya adalah tahun 2500 sebelum masehi, bangsa Troya mendirikan kota Harappa dan Mohenjondaro serta kota megah lainnya didaerah aliran sungai India. Kota modernnya terletak di sebelah kota kuno ini, yang dihuni antara tahun 3300 hingga 1600 SM. Di kota ini banyak ditemukan relik dari masa Budaya Indus, yang juga terkenal sebagai budaya Harappa. Harappa memiliki lay-out kota yang sangat canggih.[13]

Mohenjodaro dan Harappa merupakan kota terbesar yang berada di lembah sungai Indus. Mohenjo-daro dan Harappa merupakan peradaban yang tinggi nilainya, yang ditandai dengan adanya kota yang teratur penataannya. Rancangan kota Mohenjodaro dan Harappa termasuk kota pertama di dunia yaitu menggunakan sanitasi sistem. Penataan masa pembangunan yang diterapkan oleh kota Mohenjodaro adalah organisasi grid. Jalan yang ada berupa saling tegak lurus dan berjajar sehingga membentuk blok-blok (berupa kotak-kotak) yang digunakan sebagai tempat pendirian bangunan. Konsep ini dapat dilihat pada penataan kawasan perumahan modern maupun apartemen yang tiap rumah tertata sangat rapih dan berada dijalur lurus.

Didalam kota rumah-rumah individu atau kelompok dibangun dalam suatu pemukiman dengan memungkinkan sirkulasi udaranya, dengan jalan agar selalu mendapatkan udara yang segar. Dengan kata lain sistem sirkulasi udara di Mohenjodaro pada waktu itu sudah ada. Air yang berada dirumah-rumah bersal dari sumur. Dari sebuah ruangan yang tampaknya terlah disishkan untuk mandi, air limbah diarahkan kesaluran tertutup yang berbasis di jalan utama. Indus kuno sistem pembuangan air kotor dan saluran air yang dikembangkan dan digunakan dikota-kota diseluruh wilayah Indus jauh lebih maju dari pada yang ditemukan di lokasi perkotaan kontemporer di Timur Tengah dan bahkan lebih efisien dari pada yang ada di banyak daerah di Pakistan dan India. Mohenjodaro dan Harappa juga menggunakan sistem irigasi, hal ini dilihat dari pembuatan pemukiman sudah dipertimbangkan agar rumah-rumah tidak terkena banjir dengan membuat jalan air. Semua rumah memiliki fasilitas air dan saluran air. Saluran air kota yang digunakan sebagai pembuangan air dibangun dibawah tanah dengan menggunakan bahan batu bata.

 

Mengingat banyaknya patung-patung ditemukan di lembah Indus telah secara luas menyatakan bahwa orang-orang Mohenjodaro dan Harappa menyembah patung yang di sebut ibu dewi yang melabangkan kesuburan. Beberapa lembah Indus menunjukan swastika yang dikemudian hari, agama dan mitologi, khususnya di India agama-agama Hinduisme dan Jainisme. Bukti paling awal unsur-unsur Hindu yang ada sebelum dan sesudah awal periode harappa ditemukan simbol-simbol Hindu yang berupa siva lingam.

Kota Mohenjodaro dan Harappa hilang menjadi kota mati sekitar tahun 1750 SM. Beberapa faktor yang mengakibatkan penduduknya meninggalkan kota adlah adanya invansi yang dilakukan oleh bangsa Arya ke daerah peradaban Hindustan pada sekitar tahun tersebut. Pada tahun itu hingga 1000 tahun setelahnya, tidak ada pembanguna kota dengan  peradaban tinggi lagi di wilayah tersebut.

Puing-puing bekas bangunan yang masih berada di kota tersebut tampak sangat teratur dalam penataannya. Puing-puing tersebut terbuat dari bahan yang sama, yakni batu bata tanah liat. Kondisi masa lalu memperlihatkan bahwa system kota yang di terpakan di kota Mohenjodaro dan Harappa sudah sangat maju dengan adanya teknik penataan kota seperti masa sekarang, yakni adanya pola jalan raya dan adanya saluran air bawah tanah.

  1. Invansi Bangsa Arya

Pendukung peradaban Lembah Sungai Gangga adalah bangsa Arya. Mereka datang dari daerah Kaukasus dan menyebar ke arah timur. Bangsa Arya memasuki wilayah India antara tahun 200-1500 SM, melalui Celah Kaibar di Pegunungan Hirnalaya dan Widya Kedna.

Bangsa Arya adalah bangsa peternak dengan kehidupan yang terus mengembara. Setelah berhasil mengalahkan bangsa Dravida di Lembah Sungai Indus dan menguasai daerah yang subur, akhirnya mereka hidup menetap.

Selanjutnya, mereka menduduki Lembah Sungai Gangga dan terus mengembangkan kebudayaannya. Kebudayaan campuran antara kebudayaan bangsa Arya dengan bangsa Dravida dikenal dengan sebutan kebudayaan Hindu.

Perkembangan sistem pemerintahan di Lembah Sungai Gangga merupakan kelanjutan sistem pemerintahan masyarakat di daerah Lembah Sungai Indus. Runtuhnya Kerajaan Maurya menjadikan keadaan kerajaan menjadi kacau dikarenakan peperangan antara kerajaan-kerajaan kecil yang ingin berkuasa. Keadaan yang kacau, mulai aman kembali setelah munculnya kerajaan-kerajaan baru. Kerajaan-kerajaan tersebut di antaranya Kerajaan Gupta dan Kerajaan Harsha.[14]

Selama bertahun-tahun kita mengetahui bahwa Bangsa Arya datang menginvasi bangsa Dravida. Mereka meninggalkan daerahnya karena telah terjadi desakan bangsa-bangsa. Kedatangannya di India harus menyingkirkan terlebih dulu masyarakat sebelumnya, yakni masyarakat pendukung kebudayaan Mohenjodaro dan Harappa yaitu bangsa Dravida yang berciri-ciri berhidung pipih, bibir tebal, serta kulit hitam (menurut kitab Veda). Dengan kemajuan kebudayaannya, mereka dapat menggeser suku bangsa Dravida ke arah selatan, ke wilayah yang kurang subur.

Veda dibawa oleh bangsa Arya yang memenangkan perang dengan bangsa Dravida yang lebih dahulu menempati lembah sungai Indus. Ini artinya bahwa kitab Veda bukan berasal dari India tapi dibawa dan berkembang di India. Kitab Veda yang dibawa oleh bangsa Arya dibuat setelah kebudayaan Mohenjodaro dan Harappa runtuh, sekitar 1500 SM. Setelah bangsa Arya berhasil mengusir suku bangsa Dravida, ia menetap di lembah sungai Indus, pasca runtuhnya kota Mohenjodaro dan Harappa.[15]

Sumber Pokok (Tantra)

02.40  Ajaran  No comments

 

 

  1. Pendahuluan

Ajaran agama dalam Hindu didasarkan pada kitab suci atau susastra suci keagamaan yang disusun dalam masa yang amat panjang dan berabad-abad, yang mana di dalamnya memuat nilai-nilai spiritual keagamaan berikut dengan tuntunan dalam kehidupan di jalan dharma.

  1. Kitab Tantra

Tantra adalah cabang dari agama Hindu. Kebanyakan kitab-kitab Tantra masih dirahasiakan dan arti sebenarnya dan yang sudah diketahui masih merupakan teka-teki. Kebanyakan orang-orang Hindu, termasuk para sarjana besar, pada umumnya tidak mendiskusikan Tantra.

Kata Sansekerta dari Tantra artinya “memperluas” (to expand). Berbeda dengan agama Hindu pada umumnya, sebagian dari Tantra percaya kepada kenikmatan hidup material. Tidak seorangpun mengetahui secara tepat kapan Tantra mulai atau Mahareshi mana yang memulainya. Bukti menunjukkan bahwa Tantrisme ada selama zaman Weda. Bahkan Sankara menyebut keberadaannya dalam bukunya Saundarya Lahari. Ada sekitar seratus delapan buku mengenai Tantra. Tantrisme dan Saktiisme hampir satu dan sama. Dalam Tantrisme, Istadewa yang dipuja adalah Siwa-Sakti, kombinasi dari Siwa dan saktinya Parwati.[1]

Mengenai naskah Tantra ada anggapan bahwa naskah atau kitab tersebut diberikan oleh dewa Siwa kepada ummat Hindu untuk zaman Kali-yuga,  sekarang ini (satu Kalpa terbagi menjadi 1000 mahayuga dan setiap mahayuga terdiri dari empat yuga, Krta-Yuga, Trata-Yuga, Dvapara-Yuga, dan Kali-Yuga.) penyusunannya dilakukan oleh para Resi. Kitab ini penuh dengan ajaran-ajaran rahasia dan silit dipahami maksudnya. Pada garis besarnya, isi kitab Tantra merupakan dialog antara Siwa dengan sakti istrinya Parwati yang menempati kedudukan terpenting sebagai inti kekuatan dewa.[2]

Bagian terbaik dari Tantra adalah pengetahuannya mengenai energi Kundalini yang luas yang belum dimanfaatkan di dalam tubuh manusia. Tantra juga melakukan penelitian mengenai ilmu kimia, astrologi, astronomi, palmistry (ilmu meramal melalui rajah tangan), cosmologi (ilmu tentang alam semesta, awal, perkembangan, dan akhirnya) dan bahkan teori atom. Mantra-mantra adalah hadiah dari Tantra kepada agama Hindu dan dunia. Yantra, sket-sket dan bentuk-bentuk geometral yang dihubungkan dengan Mantra, juga merupakan hadiah yang sama pentingnya dari Tantra kepada kemanusiaan.

Menurut Ttantra Saraf Yang Paling Penting

Menurut Tantra adalah tiga urat saraf yang peling penting, yaitu Sushumna, Ida dan Pinggala, mulai dari Muladhara Chakra, di dasar tulang belakang. Sushumna adalah yang paling penting dari semua saraf, atau Nadi, dan ia tidak kelihatan dan sangat halus. Ia bergerak melalui jaringan pusat dari tulang belakang dan bergerak jauh sampai titik paling atas dari kepala. Ida dan Pinggala bergerak paralel dengan Sushumna di sebelah kiri dan kanan dari saraf tulang belakang. Ida dan Pinggala bertemu dengan Sushumna di Ajna Chakra, titik yang terletak antara alis mata. Mereka berpisah lagi dan mengalir melalui sisi kiri dan kanan hidung.

chakra
Sepanjang Sushumna, ada tujuh pusat-pusat bathin (psychic centers) mulai dari Muladhara Chakra. Mereka tak dapat dilihat dengan mata telanjang. Mereka dipercaya berbentuk seperti bunga teratai dengan warna-warna yang berbeda, dan masing-masing mengendalikan kegiatan dari organ indriya yang berbeda.
Muladhara Chakra (pada dasar dari tulang belakang) memiliki empat daun bunga dan mengendalikan bau.
Swadishthana Chakra (pada dasar kelamin) memiliki enam daun bunga dan mengendalikan rasa.
Manipura Chakra (di seberang pusar) mempunyai sepuluh daun bunga dan mengendalikan pandangan.
Anahata Chakra (sejajar dengan hati) mempunyai duabelas daun bunga dan mengendalikan sentuhan.
Wisuddha Chakra (pada jakun kerongkongan) memiliki enam belas daun bunga dan mengendalikan pendengaran
Ajna Chakra (di antara alis) memiliki dua daun bunga dan mengendalikan pikiran
Sahasrara Chakra (terletak diatas titik paling atas dari kepala) mempunyai seribu daun bunga. Disini Yogi telah meperoleh Kesadaran Kosmis.[3]

Kundalini
Menurut Kitab-kitab Tantra, ada kekuatan hebat yang sangat rahasia di dalam tubuh manusia yang disebut kekuatan Kundalini atau kekuatan ular. Ia berbaring seperti seekor ular dalam gulungan atau bentuk yang tidak aktif pada dasar dari tulang belakang di Muladhara Chakra. (Tiga dari saraf yang paling penting dari tubuh manusia, Sushumna, Ida dan Pinggala, juga berawal dari titik yang sama). Menurut Tantra, karena kekuatan yang hebat ini tetap tidur (dormant) selama kehidupan seseorang, kebanyakan orang tidak menyadari keberadaannya. Dipercayai bahwa ketika seorang manusia mengembangkan spiritualitas dengan meditasi atau latihan Pranayama, kekuatan ini bangkit ke atas perlahan-lahan melalui saraf Sushumna. Bergeraknya ke atas secara perlahan dari kekuatan Kundalini ini dikenal sebagai kebangkitan dari Kundalini.

Kekuatan ini begerak ke atas secara perlahan-lahan dan mantap dan tidak melesat ke atas dalam satu garis lurus. Ketika melewati setiap pusat batin (psychic center), orang itu akan memiliki kendali penuh atas organ-organ indriyanya. Misalnya, bila ia mencapai Manipura Chakra di seberang pusar, orang itu akan mempunyai kendali penuh atas atas pandangan. Tidak ada Samadhi (persatuan dengan Tuhan) yang dapat dilakukan tanpa kebangkitan kekuatan ini. Dikatakan bahwa kekuatan Kundalini melewati keenam Chakra dan akhirnya bersatu dengan Sahasrara di atas (tiara, crown) dari kepala. Ketika ini terjadi orang tersebut telah mencapai kesadaran kosmis, bentuk tertinggi dari pengejawantahan (Tuhan).

Orang-orang Hindu jarang membicarakan tentang Tantra. Karena sifat erotik dari beberapa bagian kitab-kitab Tantra. Sayangnya, Tantra juga membahas masalah-masalah magi hitam (black magic) dan latihan-latihan yoga-seks antara pengikut wanita dan pria. Menurut Tantrisme, tindakan demikian itu akan membantu para penganut untuk menjelajahi indriya mereka dari pada ditundukkaan oleh mereka, dan untuk secara nyata mempergunakan energi seksual mereka untuk peningkatan spiritual. Penganut wanita yang ambil bagian dalam latihan-latihan erotik ini dianggap seorang Sakti. Terpisah dari apa yang kukatakan di atas, dalam banyak praktek Tantrik para penganutnya mengikut “Lima M.” Yaitu Madya (anggur), Mamsa (daging), Matsya (ikan), Mudra (nasi keras) dan Maithuna (persatuan seksual). Selama pelaksanaan upacara tertentu, para penganut Tantra bahkan mengunakan obat-obatan dan kimia.

Salah satu dari praktek Tantrik dikenal dengan nama Chakra Pooja, atau “pemujaan melingkar” (circle worship). Dalam upacara ini sejumlah pasangan laki-laki dan wanita bertemu di tengah malam di tempat yang dipilih, misalnya sebuah kuburan dan melakukan “hubungan seks suci” (holy intercouse). Persatuan seks ini sangat rumit dan terperinci, mulai dengan tindakan-tindakan “pemujaan badan.” Banyak dari ukiran dan lukisan erotik di India mengambarkan kegiatan-kegiatan Chakra Pooja ini. Sekalipun kebanyakan agama, termasuk agama Hindu (menurut Hukum Manu), melarang hubungan seks selama menstruasi, Tantra malah mendorongnya dengan keyakinan bahwa selama periode ini energi seorang wanita ada pada puncaknya. Ada Mudra atau gerak tangan yang khas Tantrisme, kebanyakan melambangkan kegiatan seksual. Bahkan lambang AUM tampak dalam banyak Tantra sebagai sebuah simbol mistik yang menekankan persatuan pria dan wanita. Tantrisme memiliki padanannya dalam Jainisme dan juga Buddhisme, yang memiliki empat aliran Tantra.

Keberadaan dari Tantra di India adalah contoh lain dari toleransi Hindu. Di dalam agama lain, proses berpikir seperti dalam Tantrisme sudah ditindas dengan kekerasan.[4]

  1. Kitab Darsana

Menurut  ummat Hindu, beribu-ributahun lamanya para Resi dan Muni melakukan meditasi sehingga mampu memperoleh inspirasi dan mampu menginterpretasikan atau menafsirkan ajaran-ajaran Hindu secara terinci. Tafsiran tersebut nampak pada kalangan ummat Hindu sebagai aliram-aliran atau mashab filsfat yang disebut dengan Darsana.[5]

  1. Hubungan Veda dengan Darśana

Veda merupakan sabda Brahman, wahyu Tuhan yang menjadi sumber ajaran dan peganggan hidup agama Hindu, sedangkan Darśana pandangan para maharsi tentang kebenaran dan kemutlakan ajaran Veda dan alam semesta. Darśana Astika menjadikan Veda sebagai sumber kajian. Yang mana tujuan dari Darśana adalah untuk memperkuat pemahaman terhadap ajaran suci yang terkandung dalam Veda. Dengan mendalami Darśana, akan memberikan pencerahan (kejernihan) dalam mendalami dan mengamalkan ajaran Veda.

  1. Pokok-pokok ajaran Sad Darśana
  2. Sakhya

Ajaran ini dibangun oleh Maharsi Kāpila, beliau yang menulis Saṁkhyasūtra. Di dalam sastra Bhagavatapurāna disebutkan nama Maharsi Kāpila, putra Devahuti sebagai pembangun ajaran Saṁkhya yang bersifat theistic. Karya sastra mengenai Saṁkhya yang kini dapat diwarisi adalah Saṁkhyakarika yang di tulis oleh Īśvarakṛṣṇa. Ajaran Saṁkhya ini sudah sangat tua umurnya, dibuktikan dengan termuatanya ajaran Saṁkhya dalam sastra-sastra Śruti, Smrti, Itihasa dan Purana.

Kata Saṁkhya berarti: pemantulan, yaitu pemantulan filsafati. Ajaran Saṁkhya bersifat realistis karena didalamnya mengakui realitas dunia ini yang bebas dari roh. Disebut dualistis karena terdapat dua realitas yang saling bertentangan tetapi bisa berpadu, yaitu purusa dan prakrti.

  1. Yoga

Ajaran Yoga dibangun oleh Maharsi Patanjali, dan merupakan ajaran yang sangat populer di kalangan umat Hindu. Ajaran yoga merupakan ilmu yang bersifat praktis dari ajaran Veda. Yoga berakar dari kata Yuj yang berarti berhubungan, yaitu bertemunya roh individu (atman/purusa) dengan roh universal (Paramatman/Mahapurusa). Maharsi Patanjali mengartikan yoga sebagai Cittavrttinirodha yaitu penghentian gerak pikiran.

Kitab Yogasutra, yang terbagi atas empat bagian dan secara keseluruhan mengandung 194 sutra. Bagian pertama disebut: Samadhipada, sedangkan bagian kedua disebut: Sadhanapada, bagian ketiga disebut: Vibhutipada, dan yang terakhir disebut: Kailvalyapada.

  1. Mimamsa

Ajaran Mimamsa didirikan oleh Maharsi Jaimini, disebut juga dengan nama lain Purwa Mimamsa. Kata Mimamsa berarti penyelidikan. Penyelidikan sistematis terhadap Veda. Mimamsa secara khusus melakukan pengkajian pada bagian Veda: Brahmana dan Kalpasutra. Sumber ajaran ini tertuang dalam Jaiminiyasutra. Kitab ini terdiri atas 12 Adhyaya (bab) yang terbagi kedalam 60 pada atau bagian, yang isinya adalah aturan tata upacara menurut Veda.

  1. Nyaya

Ajaran Nyaya didirikan oleh Maharsi Aksapada Gotama, yang menyusun Nyayasutra, terdiri atas 5 adhyaya (bab) yang dibagi atas 5 pada (bagian). Kata Nyaya berarti penelitian analitis dan kritis. Ajaran ini berdasarka pada ilmu logika, sistematis, kronologis dan analitis.

  1. Vaisiseka

Ajaran Vaisiseka dipelopori oleh Maharsi Kanada, yang menyusun Vaisisekasutra. Meskipun sebagai sistem filsafat pada awalnya berdiri sendiri, namun dalam perkembangannya ajaran ini menjadi satu dengan Nyaya.

  1. Vedanta

Ajaran Vedanta, sering juga disebut dengan Uttara Mimamsa yaitu penyelidikan yang kedua, karena ajaran ini mengkaji bagian Weda, yaitu Upanisad. Kata Vedanta berakar kata dari Vedasya dan Antah yang berarti Akhir dari Weda. Sumber ajaran ini adalah kitab Vedantasutra atau dikenal juga dengan nama Brahmasutra. Pelopor ajaran ini adalah Maharsi Vyasa, atau dikenal juga dengan nama Badarayana atau Krishna Dwipayana.[6]

  1. Kitab Upanishad

Agama upanishad menentang ajaran-ajaran agama Brahmana, terutama mengenai ajaran korban. Agama ini didasarkan pada kitab-kitab Upanishad, yng merupakan kitab Weda yang paling muda usianya. Jumlahnya sangat banyak, dan ada yang merupakan tambahan bagi kitab-kitab Aranyaka. Isinya merupakan pemikiran falsafiyang berkisar seputar arti dan tujuan hidup dan masalah yang berkaitan dengan hakekat manusia dan alam semesta. Dari sini muncul beberapa konsep ajaran pokuk agama Hindu, seperti konsep Brahman dan Atman.

Masalah asal-usul dan tujuan manusia serta alam semasta digali secara mendalam dan mendasar dalam Upanishad. Isinya banyak yang tidak lagi bersumber pada para Brahmana, bahkan kitab itu menjadi penentang utama terhadap kekuasaan mutlak para Pendeta. Dibeberapa tempat Upanishad mengecam keras dan mengutuk arti dan nilai korban serta ritus-ritus yang diselengerahkan oleh para Brahmana.

Kitab-kitab Upanishad merupakan teks-teks India yang sangat terkenal. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin berdasarkan versi Persia (1801-1802), juga dalam bahasa Eropa lainnya, dan dianngap besar pengaruhnya di kalangan ahli fikir Barat.

Istila Upanishad  sendiri berasal dari kata upa, ni dan shad: upani = dekat, di dekatnya; dan shad = duduk. Jadi, Upanishad berarti “duduk dekat”, yaitu duduk di dekat seorang guru untuk menerima ajaran dan pengetahuan yang lebih tinggi. Istila ini selanjutnya menjadi nama agama. Kitab Upanishad berbentuk dialog antara seorang guru dan muridnya, atau antara seorang Brahmana dengan Brahmana lainnya. Kitab Upanishad  adalah salah satu bagian saja dari kitab-kitab Aranyaka yang isinya menekankan pada ajaran rahasia yang bersifat mistik dan megis.[7]

Wasistadwaita berasal dari kata Wasista dan Dwaita. Wasista berarti ‘yzng diterangkan’ yaitu oleh sifat-sifatnya. Jadi Brahman yang satu diberi keterangan oleh sifat-sifatNya. Tokohnya bernama Ramanuja (1050-1137).

Ramanuja menjelaskan pandangannya dengan cara orang memakai bahasa pada umumnya. Misal: “Mawar adalah merah”. Mawar adalah substansi, merah adalah sifat. Keduanya tidak sama, tapi menguraikannya seolah sama. Hubungan keduanya merupakan hubungan substansi dengan sifat.

Dalam Wasistadwaita ditekankan bahwa yang satu itu diterangkan atau ditentukan oleh sifat-sifatnya,Brahman yang tunggal itu menjelma dalam jiwa dan dunia serta menjiwai keduanya.

Tuhan

Menurut Ramanuja Tuhan adalah asas yang amanen yaitu berada di dalam jiwa (purusa)dan benda (prakerti). Tuhan, jiwa, dan benda mewujudkan suatau kesatuan yang organis. Hubungan antara ketiganya yaitu apathak siddhi atau tak dapat dipisahkan. Sekalipun demikian ia tidak dipengaruhi oleh jiwa dan benda.

Jiwa

Jiwa disebut dengan prakara Tuhan, artinya jiwa turut membantu Tuhan. Jiwa berbentuk atom.jikalau Tuhan berakekatkan akal, maka jiwa berakekatkan perasaan. Jiwa juga dapat menderita karena Karma yang dibuat oleh manusia. Ada tiga golongan, yaitu:

  1. Jiwa yang tidak pernah dibelenggu oleh duniawi yang disebut Nitya.
  2. Jiwa yang bebas dari belenggunya yang disebut mukti
  3. jiwa yang masih terbelenggu oleh benda, sehingga masih mengalami kelahiran kembali.

Prakerti

Ramanuja mengajarkan bahwa:

  1. Benda tidak bergantung dari roh atau jiwa dalam perkembangan
  2. Sattwa, rajas, tamas mewujudkan sifat-sifat benda

Hubungan jiwa dengan Tuhan, jiwa dengan badan dipengaruhi sifat masing-masing. Ramanuja menguraikan sepuluh sifat, yakni:

  1. Lima kwalitas indriani;  sparsendria, granendria, jihwendria, srotendria, caksu indria.
  2. Triguna; sattwa, rajas, tamas.
  3. Budhi dan ahamkara.

Kesepuluh unsur memberikan potensi atau daya yang menyebabkan gerak (sakti).

Menurut Ramanuja ada tiga alat ilmu pengetahuan; pengamatan, penyimpulan, sabda (pratyaksa, anumana, sabda pramana).

Pengetahuan adala semuanya benar. Ada tingkatan-tingkatan kebenaran: kurang benar, cukup benar, benar sekali.

Tujuan hidup menurut Ramanuja adalah untuk mencapai alam Narayana, menikmati kebebasan dan kebahagiaan yang sempurna. Ada dua jalan untuk mencapainya:

  1. Dengan prapati atau penyerahan secara mutlak dan dengan bhakti atau sembahyang. Praparti adalah orang yang harus berkiblat pada Tuhan. Penyerahan diri harus dengan sikap menaruh kepercayaan yang sempurna.
  2. Dengan jalan Bhakti yaitu disamping berusaha mendekatkan diri terhadap Tuhan denagn memasrahkan jiwa raga demi Tuhan, juga berusaha mengharmonisasikan diri (mendekatkan diri) terhadap segala ciptaan Tuhan dengan jalan; berkarma, berpikir, dan melatihb diri dari segala godaan. Selanjutnya dikatakan tujuan yang terakhir akan tercapai jika tubuh luluh dengan asalnya. Di situ lah jiwa akan melihat Tuhan secara langsung dan akan nampak sebagai hakekat yang tertinggi dari kekuatan dirinya sendiri.[i]

Menurut Sankara ada enam macam alat-alat pengetahuan (Pramana), yaitu; pengematan, penyimpulan, pembandingan, kesaksian, persangkaan, dan tiada pengetahuan.Sankara mengajarkan bahwa Tuhanlah yang menurunkan ajaran Weda. Weda bukan karya Tuhan, tapi Tuhan menurunkan wahyu yang diterima oleh para Rsi yang dihimpun menjadi Weda. Sankara menyatakan bahwa Weda akan muncul kembali pada zaman berikutnya.Menurut Sankara ada dua macam pengetahuan yaitu:a.        pengetahuan yang lebih tinggi (Pra Widya) Pengetahuan yang lebih tinggi mengandung segala macam kebenaran, meliputi segala sesuatu yang mewujudkan kesatuan segala sesuatau yang mewujudkan kesatuan segala sesuatu yaitu Brahman. Pengetahuan yang lebih tinggi disebut Brahman Widya (Pengetahuan tentang Brahman) atau Ataman Widya (pengetahuan tentang Atman).
b.       pengtahuan yang lebih rendah (apara Widya). Pengetahuan ini mengenai pengetahuan dunia yang tampak ini, yang sebenarnya ialah Khayalan. Maka sebenarnya pengetahuan yang lebih rendah bukan pengetahuan, tapi bentuk Adiwya.
Adiwya: Tujuan hidup manusia adalah untuk mengetahui dan merealisir kebenaran. Orang yang mencapai tujuan hidup itu akan berubah pikirannya. Perubahan pikiran ini menghasilkan kelepasan.Sarana untuk mencapai kelepasan yaitu:Ø  Melakukan disiplin wairagya, yaitu sikap tidak tertarik pada duniawi.
Ø  Berusaha mendapatkan pengetahuan tentang kebenaran yang tertinggi (Jnana) dan mengubha pengetahuan itu menjadi pengalaman yang langsung, yaitu dengan belajar pada guru.[i]

 

About Daeng SwaraPendidikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

x

Check Also

Merdeka Belajar 16: Akselerasi dan Peningkatan Pendanaan PAUD

Jakarta,  — Suksesnya terobosan kebijakan pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah ...

https://swarapendidikan.or.id/