Guru di Era Hindia Belanda
Berbicara tentang sejarah hari guru nasional, tentu tidak tidak bisa lepas dari perjuangan para tenaga pengajar di abad ke-20, Pahamifren. Di era pemerintah kolonial Hindia Belanda itu, profesi guru menjadi salah satu jabatan yang kurang diminati oleh masyarakat Hindia Belanda.
Berbeda dengan era sekarang, pada masa itu, kesenjangan sosial antara masyarakat Eropa (Belanda) dengan pribumi sangat kental terasa. Bagaimana tidak, struktur sosial pemerintahan Hindia Belanda, membagi status masyarakat berdasarkan perbedaan ras. Kamu pasti sudah tahu kan siapa yang paling berkuasa saat itu?
Ya, benar sekali, status sosial paling tinggi diberikan kepada orang-orang Eropa (Belanda), sementara status sosial yang paling rendah diberikan kepada warga pribumi. Selain berada di urutan paling bawah, status sosial dan kedudukan masyarakat pribumi juga dibagi lagi berdasarkan aspek keturunan, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan mereka.
Nah, status ini juga berlaku bagi warga pribumi yang berpofesi sebagai guru. Guru di masa Hindia Belanda diakui kedudukannya oleh masyarakat hanya berdasarkan aspek keturunan. Sedangkan mayoritas guru bumiputera saat itu berasal dari kalangan rakyat biasa, seperti pedagang, petani, atau pegawai rendah. Kalaupun ada yang dari kalangan priyayi, biasanya sangat sedikit jumlahnya.
Pembagian Penghasilan Guru di Era Hindia Belanda
Nggak cuma itu Pahamifren, status sosial dan kedudukan guru pribumi tersebut mempengaruhi penghasilan mereka lho. Departemen Pendidikan dan Agama (Departement van Onderwijs en Eredienst) yang saat itu bertanggung jawab mengurus gaji para guru bumiputera, membuat kebijakan penghasilan para guru berdasarkan ijazah mereka.
Ijazah yang dimaksud bukan seperti yang sekarang kita kenal Pahamifren, saat itu ijazah menentukan dari mana guru itu berasal, di mana mereka belajar, hingga digunakan untuk mengukur kualitas guru tersebut. Guru yang berpangkat tinggi biasanya berasal dari lulusan sekolah khusus orang-orang Eropa. Umumnya mereka dari kalangan priyayi atau keturunan bangsawan yang memiliki kedudukan tinggi.
Bagi para guru yang hanya lulusan Guru Sekolah Desa, gaji mereka sebesar f7,50 (gulden) per bulan. Para guru bantu Sekolah Kelas Dua, yang merupakan lulusan Kursus Guru Bantu, mendapat gaji sekitar f20–f30. Sedangkan para guru lulusan Sekolah Guru (Normaalschool), mendapatkan gaji sebesar f30–f45 per bulan.
Para guru lulusan Pendidikan Keguruan (Kweekschool) yang biasanya menjabat sebagai Kepala Sekolah Kelas Dua, Kepala Sekolah Kelas Satu, atau guru Sekolah Kelas Satu, menerima gaji sekitar f75–f150 perbulan.
Para lulusan Kweekschool, pada masa itu memang lebih dihargai oleh pemerintah Hindia Belanda, mereka biasanya memiliki kemampuan yang lebih baik di bidang pendidikan dan fasih berbahasa Belanda.
Sementara jenis guru lainnya, seperti para guru lulusan Hogere Kweekschool (HKS) atau Hollands Inlands Kweekschool (HIK) mendapatkan gaji sebesar f70–f250 perbulan, para guru lulusan Europese Kweekschool f125 per bulan, dan para guru lulusan Hoofdacte sebesar f130 perbulan.
Besaran gaji bulanan yang diterima oleh para guru bumiputera ini, berbeda jauh dari gaji bulanan para guru-guru Eropa yang didatangkan dari Belanda. Keadaan tersebut kemudian mendorong para guru pribumi untuk menuntut kenaikan gaji kepada pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda memang sempat menaikkan gaji para guru bantu dan guru Sekolah Kelas Dua sebesar f5 pada tahun 1914. Namun, kenaikan gaji tersebut dianggap tidak memuaskan para guru di masa itu.
Terbentuknya PGHB
Hingga suatu saat, Raden Mas Ngabehi Dwidjosewojo, guru dari kalangan priyayi yang menjadi salah satu anggota Pengurus Besar Budi Utomo, mengumpulkan para guru pribumi untuk mendirikan Perserikatan Guru Hindia Belanda (PGHB) pada tahun 1912.
PGHB beranggotakan para guru bantu, guru desa, kepala sekolah, dan pemilik sekolah. Mereka kemudian membentuk asuransi jiwa nasional pertama bernama Onderlinge Levensverzekering Maatschappij PGHB (O.L Mij. PGHB).
Asuransi jiwa ini didirikan sebagai upaya untuk memperjuangkan nasib para anggota PGHB yang terdiri dari berbagai pangkat dan latar belakang pendidikan yang berbeda. O.L Mij. PGHB ini kemudian berganti nama menjadi Asuransi Jiwa Bumiputera.
Kondisi sosial dan politik di masa itu, mempersulit terciptanya persatuan di antara para guru. Hingga akhirnya, pada tahun 1919 PGHB pecah karena anggotanya terbagi ke dalam beberapa organisasi guru seperti Perserikatan Guru Desa (PGD), Kweekschool Bond (KSB), Perkumpulan Normaalschool (PNS), Vaak Onderwijzers Bond (VOB), School Opzieners Bond (SOB), Hogere Kweekschool Bond (HKSB), Perserikatan Guru Ambacht School (PGAS), Onderwijzers Vak Organisatie (OVO), Nederlands Indische Onderwijzers Genootschap (NIOG), Christelijke OnderwijzersVereeniging (COV), Katholieke Onderwijzers Bond (KOB), dan Chineesche Onderwijzers Bond (COB).
Bergabung Dengan Organisasi Lain
Pada tahun 1930-an PGHB kembali berusaha memperjuangkan nasib anggotanya dengan menggabungkan diri dengan Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN). PVPN ini merupakan perpusatan serikat pekerja pegawai negeri yang berada di luar pengaruh partai-partai politik.
Bersama PVPN, PGHB berusaha memperjuangkan nasib para guru melalui kolaborasi antar organisasi lainnya seperti Budi Utomo, Sarekat Ambon, Pasundan, Kaum Betawi, Jong Celebes, dan Sarekat Sumatera untuk menentang penghematan besar-besaran di bidang pengajaran oleh pemerintah Hindia Belanda.
Peristiwa di Balik Sejarah Hari Guru Nasional
Terbentuknya Persatuan Guru Indonesia (PGI)
Banyak peristiwa yang menjadi latar belakang sejarah hari guru nasional. Di antaranya, setelah berkolaborasi dengan berbagai organisasi, pada tahun 1933, PGHB akhirnya berganti nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI).
Bukan tanpa alasan, saat itu pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan mengenai serikat pekerja pegawai negeri. Peraturan tersebut melarang pegawai negeri menjadi anggota suatu serikat pekerja, kecuali di dalam pengurusnya paling sedikit ada satu pegawai negeri.
Pegawai negeri yang masuk dalam serikat pekerja, sebelum menerima jabatannya sebagai harus menerangkan bahwa sebagai anggota pengurus serikat sekerja tersebut ia akan selalu tunduk pada pemerintah Hindia Belanda, dan bersedia menentang propaganda atau aktivitas yang dapat merugikan tata tertib dan suasana di Hindia Belanda, khususnya di kalangan pegawai negeri.
Perubahan nama PGHB menjadi PGI ini semakin meresahkan pemerintah Hindia Belanda. Penggunaan kata “Indonesia” dalam PGI dianggap mencerminkan semangat kebangsaan dan nasionalisme yang tidak disukai oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebaliknya, bagi para guru dan warga pribumi, penggunaan kata Indonesia sangat disukai karena mengobarkan semangat kemerdekaan dan nasionalisme.
Peran PGI Memajukan Pendidikan Pribumi
Seiring perkembangannya, PGI selalu berupaya untuk memperjuangkan kemajuan pendidikan masyarakat bumiputera. Salah satunya melalui kongres PGI yang diadakan setiap tahun. Pada Kongres PGI ke-25 yang diadakan di Madiun, 25–29 November 1936, PGI menentang keputusan pemerintah Hindia Belanda untuk memindahkan urusan pengajaran dari tangan pemerintah pusat ke tangan pemerintah daerah.
PGI menentang keputusan ini karena kondisi perlengkapan mengajar yang tidak memadai. Belum lagi keterbatasan pemerintah daerah untuk melaksanakan sistem pendidikan yang kompleks, sehingga dikhawatirkan dapat mengakibatkan kemunduran pendidikan bagi masyarakat bumiputera.
Bertepatan dengan peringatan 25 tahun berdirinya PGI, organisasi ini menggelar Kongres yang ke-26 di Bandung pada November 1937. Dalam kongres itu, PGI merumuskan diadakannya sistem wajib belajar di Hindia Belanda.
Sementara pada Kongres PGI ke-27 yang diadakan di Malang pada tahun 1938, PGI menuntut perbaikan gaji para guru serta menuntut pemerintah Hindia Belanda memperbaiki keuangan daerah, demi terciptanya pendidikan yang lebih bermutu.
Berdirinya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)
Namun, pada saat Jepang datang dan menjajah Indonesia, PGI mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan oleh keputusan pemerintah Jepang yang melarang adanya segala bentuk organisasi di Indonesia dan menutup sekolah-sekolah yang ada di Indonesia.
Untungnya situasi ini berubah saat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan bangsa Indonesia, mendorong para guru untuk mengadakan kembali Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24–25 November 1945 di Surakarta.
Dalam kongres tersebut, para guru sepakat untuk menghapus semua organisasi dan kelompok guru yang berdasarkan perbedaan lulusan sekolah, lingkungan daerah, lingkungan pekerjaan, politik, agama, suku dan ras.
Para praktisi pendidikan yang terdiri dari guru aktif, para pensiunan guru, dan para guru yang berasal dari pegawai pendidikan Republik Indonesia bersatu untuk membangun sistem pendidikan yang berkualitas.
Pada kongres inilah, tepat seratus hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, mereka membentuk Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Di tengah peristiwa pengeboman oleh Tentara Inggris ke studio RRI Surakarta, para guru serentak bersatu untuk mengisi kemerdekaan dengan tiga tujuan, yaitu:
- Mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia.
- Mempertinggi (meningkatkan) tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan.
- Membela hak dan nasib buruh pada umumnya, guru pada khususnya.
Dibentuknya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) inilah yang kemudian menjadi latar belakang sejarah Hari Guru Nasional.
Sejarah Hari Guru 25 November
Peran dan perjuangan para guru yang sangat penting di masa penjajahan dan di masa kemerdekaan, khususnya dalam rangka pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia, akhirnya mendorong Presiden Soeharto untuk menetapkan Hari Guru Nasional sebagai bentuk penghormatan kepada guru.
Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 1994 Tentang Hari Guru Nasional, Presiden Soeharto menetapkan tanggal 25 November, yang selama ini diperingati sebagai hari ulang tahun PGRI, sebagai Hari Guru Nasional.
Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia tersebut, Hari Guru Nasional ini termasuk dalam hari-hari nasional yang bukan hari libur. Keputusan Presiden Soeharto ini mulai berlaku sejak tanggal 24 November 1994, sesuai tanggal penetapan Keputusan Presiden tersebut.
Nah, itu dia ulasan mengenai sejarah Hari Guru Nasional yang harus kamu ketahui. Dari sejumlah peristiwa tersebut, kamu tentu sepakat betapa luar biasa perjuangan para guru di masa penjajahan dan di masa awal kemerdekaan dulu.
Dalam rangka memperingati Hari Guru Nasional 2020, platform belajar online Pahamify menggelar Festival Hari Guru Nasional dan Simposium Guru Nasional lho. Ada beragam kompetisi seru yang bisa kamu ikuti, dan tentunya ada hadiah menarik yang bisa kamu dapatkan.