Istilah demokrasi merupakan istilah ambigouds,” pengertiannya tidak tunggal sehingga berbagai negara yang mengklaim diri sebagai negara demokrasi telah menempuh rute-rute yang berbeda. 24 Amerika Serikat yang liberal dan (bekas) negara Uni Soviet yang totaliter sama-sama mengklaim diri sebagai negara demokrasi.
Kerapkali terjadi manipulasi terhadap konsep demokrasi sehingga pemaksaan, penyiksaan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di negara komunis dapat dianggap dosa kecil dan menurut mereka tetap harus dianggap demokratis karena ditujukan untuk menyelamatkan rakyat dalam menyongsong masa depannya.
Jadi setiap tindakan yang dapat diberi alasan untuk menyelamatkan rakyat secara kolektif di negara komunis dianggap demokratis, sesuatu yang sangat berlawanan dengan negara-negara yang menganut demokrasi liberal.
Studi ini mengambil pengertian demokrasi yang kontradiktif dengan totaliterisme/ otoriterisme sebagaimana dikemukakan Carter dan Herz, Dahrendorf, dengan catatan bahwa kedua konsep tersebut bersifat relatif.
Dikatakan bersifat relatif karena kenyataannya ada perbedaan di setiap negara maupun setiap perkembangannya, sehingga demokrasi maupun totaliterisme atau otoriterisme tidaklah selalu soma antara yang ada di suatu negara dan di negara-negara lain.
Ini menunjukkan tidak ada suatu negara yang betul-betul (sepenuhnya) demokratis, dan tidak ada suatu negara yang betul-betul (sepenuhnya) otoriter. Carter dan Herz mendirikan kedua sistem tersebut dalam gambaran yang kontradiktif.
Dikatakannya, demokrasi liberal secara institusional ditandai oleh adanya pembatasan-pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok-kelompok dengan menyusun pergantian pimpinan secara berkala, tertib, dan damai melalui alat-alat perwakilan rakyat yang bekerja efektif.
Demokrasi juga memberikan toleransi terhadap sikap yang berlawanan, menuntut keluwesan, dan kesediaan untuk bereksperimen.
Pembatasan terhadap wewenang pemerintah menyebabkan pemerintah tidak boleh turut campur dalam segi tertentu kehidupan warganya yang berarti pula bahwa pegawai pemerintah harus tunduk pada rule of Law sebagai tindakan orang biasa dan hanya melaksanakan wewenangnya sesuai dengan yang diberikan oleh undang-undang.
Pencalonan dan pemilihan anggota lembaga-lembaga perwakilan politik berlangsung fair dan lembaga-lembaga itu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk membahas persoalan-persoalan, mengritik dan mengkristalisasikan pendapat umum.
Dengan demikian, kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat, dan berkumpul merupakan hak politik dan sipil yang paling dasar. Demokrasi juga ditandai oleh sikap menghargai hak hak minoritas dan perorangan, lebih mengutamakan diskusi dibandingkan paksaan dalam penyelesaian perselisihan, sikap menerima legitimasi sistem pemerintahan yang berlaku, dan penggunaan metode eksperimen.
Dahrendorf mencatat. bahwa demokrasi atau pluralisme pada masyarakat bebas didasarkan atas pengakuan dan penerimaan terhadap pertentangan sosial sebagai suatu kenyataan. Di dalamnya ada kebebasan masyarakat yang, terutama sekali, berarti ada pengakuan pada keadilan dan kreativitas dari kebhinekaan dan pertentangan.
Oleh sebab itu, pluralisme (demokrasi) dari institusi, pola-pola pertentangan, pengelompokan dan kepentingan-kepentingan menyebabkan adegan pertentangan politik menjadi semangat, semarak, kreatif, dan menyediakan kesempatan untuk merebut sukses bagi setiap kepentingan yang disuarakan.
Sebaliknya totaliterisme, menurut Carter dan Herz, ditandai oleh dorongan negara untuk memaksakan persatuan, usaha menghapus oposisi terbuka dengan suatu pimpinan yang merasa dirinya paling tahu mengenai cara-cara menjalankan kebijaksanaan pemerintah, dan pimpinan tersebut menjalankan kekuasaan melalui suatu elite yang kekal.
Di balik tindakantindakan pemerintah yang seperti itu terletak suatu ideologi atau doktrin yang membenarkan konsentrasi, mencakup pembatasan atas kekuasaan individu dan kelompok, sebagai alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan terakhir yang pasti atau tujuan tertentu yang menurut mereka sudah ditakdirkan oleh sejarah.
” Ciri menonjol totaliterisme modern menurut Dahrendorf adalah tumpang tindihnya pola-pola dan struktur sosial yang monisme. Monisme totaliter ditemukan pada ide bahwa pertentangan dapat (harus) dilenyapkan, satu masyarakat yang homogen dan seragam adalah keadaan dari kejadian-kejadian yang sangat diinginkan. Ide semacam ini berbahaya karena mengandung premis-premis sosiologis yang keliru. Dari gambaran teoretis yang abstrak tentang kedua ujung spektrum politik tersebut sebenarnya secara empiris tidak ada satu negara pun yang mengikuti beriluk teoretisnya secara penuh, artinya di dalamnya sering banyak variasi. Di dalam negara demokrasi misalnya sering timbul gejalagejala otoriterisme berkenaan dengan seringnya pemerintah melakukan tindakan yang sepenuhnya ekonomis. Pemerintah tidak bersifat mewakili secara sama dalam proses politiknya atau bertindak intervensif bagi kehidupan rakyatnya dengan pembatasan-pembatasan tertentu serta aktif memainkan berbagai peran dalam kehidupan ekonomi, budaya, dan sosial.1 Apalagi banyak asumsi bahwa kecepatan laju pembangunan sering diperlambat oleh sistem politik yang pluralistik (demokratis).”
Begitu juga negara-negara yang diidentifikasi sebagai negara dengan rezim otoritarian, tidaklah dapat diidentifikasi secara tunggal karena tidak dapat disamakan antara yang satu dengan yang lain. Yang jelas tidak ada rezim otoritarian yang dianggap monolitik seperti tiadanya kekuatankekuatan yang memperjuangkan demokrasi dapat dianggap seperti itu.
Dengan demikian, tampilan konfigurasi politik di dalam suatu negara dapat bergerak sepanjang garis kontinum yang menghubungkan dua kutub dalam spektrum politik, yaitu kutub demokrasi dan kutub otoriter.
Ini berarti tidak ada negara yang memiliki konfigurasi yang betul-betul demokratis atau otoriter, tetapi setiap negara dapat diidentifikasi berdasarkan kedekatannya pada salah satu ujung itu. Perjalanan konfigurasi politik melalui garis kontinum dari satu ujung ke ujung lainnya sania dengan perjalanan peran negara dalam proses ekonomi yang serba campuran.
Artinya, tidak ada satu negara pun yang sepenuhnya bersifat laizzas-faire atau sepenuhnya bersifat “hegemonik”.X Dapat disimpulkan, konfigurasi politik suatu negara tidak dapat dipandang secara “hitam-putih” untuk disebut demokrasi atau otoriter. Tidak mungkinnya penyebutan mutlak itu akan terasa jika pilihan suatu negara atas suatu konfigurasi politik dikaitkan dengan tujuan atau keperluan pragmatisnya.
Adakalanya otoritcrisme yang dianut oleh suatu negara didasarkan pada alasan untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya sehingg kepentingan rakyat menjadi perhatian yang utama. Tujuan negara otoriter seperti ini sebenarnya sama dengan tujuan negara demokrasi dalam melindungi kepentingan rakyatnya. Di negara-negara yang menganut wawasan welfare state misalnya, sangat jelas tujuan utamanya adalah membangun kesejahteraan masyarakat, namun dengan pilihan strategi yang dari standar konvensional tidaklah demokratis.
Betapapun, untuk keperluan metodologis, studi ini memilih dua ujung konfigurasi politik yang dikotomis tersebut sebagai salah satu kerangka teorinya, bahwa pemberian kualifikasi suatu konfigurasi politik pada dasarnyd netral. Artinya dilepaskan dari penilaian tentang baik dan jelek yang memang sulit ditempatkan secara konsisten di dalam suatu konfigurasi politik.