Home / Filsapat / TEORI KEBENARAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU

TEORI KEBENARAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU

Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Banyak cara telah ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atauempiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang terkadang melampaui penalaran rasional, kejadian-kejadianyang berlaku di alam itu dapat dimengerti.

Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda.Pengetahuan inderawi merupakan struktur yang terendah. Tingkat pengetahuan yanglebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebabitulah pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya agar terstruktur dengan jelas.

Metode ilmiah yang dipakai dalam suatu ilmu tergantung dari objek ilmu yang bersangkutan. Macam-macam objek ilmu antara lain fisiko-kimia, mahluk hidup, psikis, sosio politis, humanistis danreligius. Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi,epistemologi dan aksiologi.

Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan,filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan.  Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan adalah metode ilmiah dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya ilmu pengetahuan, mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis. Kerangka filsafat di atas akan memudahkan pemahaman mengenai keterkaitan berbagai ilmu dalam mencari kebenaran.

Teori Kebenaran Dalam Perspektif FilsafatIlmu

 

Dalammenguji suatu kebenaran diperlukan teori-teori ataupun metode-metode yang akanberfungsi sebagai penunjuk jalan bagi jalannya pengujian tersebut. Berikut inibeberapa teori tentang kebenaran dalam perspektif filsafat ilmu:

 

  1. a)      Teori Korespondensi

 

Teorikebenaran korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwapernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi (berhubungan) terhadapfakta yang ada. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika adakesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatuproposisi (ungkapan atau keputusan) adalah benar apabila terdapat suatu faktayang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini sering diasosiasikan denganteori-teori empiris pengetahuan.

 

Ujiankebenaran yang di dasarkan atas teori korespondensi paling diterima secara luasoleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepadarealita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaianantara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan(judgement) dan situasi yang dijadikan pertimbangan itu, serta berusaha untukmelukiskannya, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan ataupemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu (Titus, 1987:237).

 

Jadi,secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatupernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi(berhubungan) dan sesuai dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut(Suriasumantri, 1990:57). Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “matahariterbit dari timur” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan tersebutbersifat faktual, atau sesuai dengan fakta yang ada bahwa matahari terbit daritimur dan tenggelam di ufuk barat.

 

Menurutteori korespondensi, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubunganlangsung terhadap kebenaran atau kekeliruan. Jika sesuatu pertimbangan sesuaidengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itusalah(Jujun, 1990:237).

 

  1. b)     Teori Koherensi atau Konsistensi

 

Teorikebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteriakoheren atau konsistensi. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawakepada pernyataan yang lain. Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggapbenar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten denganpernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar (Jujun, 1990:55)., artinyapertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten denganpertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurutlogika.

 

Suatukebenaran tidak hanya terbentuk karena adanya koherensi atau kensistensi antarapernyataan dan realitas saja, akan tetapi juga karena adanya pernyataan yangkonsisten dengan pernyataan sebelumnya. Dengan kata lain suatu proposisidilahirkan untuk menyikapi dan menanggapi proposisi sebelumnya secara konsistenserta adanya interkoneksi dan tidak adanya kontradiksi antara keduanya.

 

Misalnya,bila kita menganggap bahwa “maksiat adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah”adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “mencuri adalahperbuatan maksiat, maka mencuru dilarang oleh Allah” adalah benar pula, sebabpernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.

 

Kelompokidealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley danRoyce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu makatiap-tiap pertimbangan yang benar  dantiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengankeseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut (Titus,1987:239)

 

TeoriPragmatik

 

Teoripragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalahyang terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori inikemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalahberkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan denganfilsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William James(1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I.Lewis (Jujun, 1990:57)

 

Teorikebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasioleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknyasuatu dalil atau teori tergantung kepada peran fungsi dalil atau teori tersebutbagi manusia untuk kehidupannya dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Teoriini juga dikenal dengan teori problem solving, artinya teori yang dengan itudapat memecahkan segala aspek permasalahan.

 

Kebenaransuatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.

Menurutteori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku ataumemuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) danyang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis,batu ujian kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability)dan akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teoriini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak.

 

FrancisBacon pernah menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus mencarikeuntungan-keuntungan untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi. Ilmupengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan manusia. Dengankata lain ilmu pengetahuan manusia adalah kekuasaan manusia. Hal ini membawajiwa bersifat eksploitatif terhadap alam karena tujuan ilmu adalah mencarimanfaat sebesar mungkin bagi manusia.

 

  1. d)     Teori Performatif

 

Teoriini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegangotoritas tertentu. Contohnya mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim diIndonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkansebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan olehpemegang otoritas tertentu walaupun tak jarang keputusan tersebut bertentangandengan bukti-bukti empiris.

 

Dalamfase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif.Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama,pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapatmembawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib,adat yang stabil dan sebagainya.

 

Masyarakatyang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis danrasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikutikebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masihsangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Merekatidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakanrasio untuk mencari kebenaran.

 

  1. e)      Teori Konsensus

 

Suatuteori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atauperspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukungparadigma tersebut. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karenaadanya paradigma. Sebagai komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilaibersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipuntidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama.

 

Paradigmajuga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai bersamayang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsisebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis. Adanyaperdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu paradigmadalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa mendatang dapatmenjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas.

Teori Kebenaran Dalam Perspektif FilsafatIlmu

 

Dalam menguji suatu kebenaran diperlukan teori-teori ataupun metode-metode yang akan berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi jalannya pengujian tersebut. Berikut inibeberapa teori tentang kebenaran dalam perspektif filsafat ilmu:

 

  1. a)      Teori Korespondensi

 

Teori kebenaran korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi (berhubungan) terhadap fakta yang ada. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatuproposisi (ungkapan atau keputusan) adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini sering diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan.

 

Ujian kebenaran yang di dasarkan atas teori korespondensi paling diterima secara luasoleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan(judgement) dan situasi yang dijadikan pertimbangan itu, serta berusaha untuk melukiskannya, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu (Titus, 1987:237).

 

Jadi,secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi(berhubungan) dan sesuai dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut(Suriasumantri, 1990:57). Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “matahariterbit dari timur” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan tersebutbersifat faktual, atau sesuai dengan fakta yang ada bahwa matahari terbit daritimur dan tenggelam di ufuk barat.

 

Menurut teori korespondensi, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan. Jika sesuatu pertimbangan sesuaidengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itusalah(Jujun, 1990:237).

 

  1. b)     Teori Koherensi atau Konsistensi

 

Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawakepada pernyataan yang lain. Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar (Jujun, 1990:55)., artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika.

 

Suatu kebenaran tidak hanya terbentuk karena adanya koherensi atau kensistensi antara pernyataan dan realitas saja, akan tetapi juga karena adanya pernyataan yang konsisten dengan pernyataan sebelumnya. Dengan kata lain suatu proposisi dilahirkan untuk menyikapi dan menanggapi proposisi sebelumnya secara konsisten serta adanya interkoneksi dan tidak adanya kontradiksi antara keduanya.

 

Misalnya,bila kita menganggap bahwa “maksiat adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah”adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “mencuri adalah perbuatan maksiat, maka mencuru dilarang oleh Allah” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.

 

Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley danRoyce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu makatiap-tiap pertimbangan yang benar  dantiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengankeseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut (Titus,1987:239)

 

Teori Pragmatik

 

Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalahyang terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalahberkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan denganfilsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William James(1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I.Lewis (Jujun, 1990:57)

 

Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknyasuatu dalil atau teori tergantung kepada peran fungsi dalil atau teori tersebutbagi manusia untuk kehidupannya dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Teoriini juga dikenal dengan teori problem solving, artinya teori yang dengan itu dapat memecahkan segala aspek permasalahan.

 

Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.

Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku ataumemuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) danyang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis,batu ujian kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability)dan akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak.

 

Francis Bacon pernah menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus mencarikeuntungan-keuntungan untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi. Ilmu pengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan manusia. Dengankata lain ilmu pengetahuan manusia adalah kekuasaan manusia. Hal ini membawa jiwa bersifat eksploitatif terhadap alam karena tujuan ilmu adalah mencari manfaat sebesar mungkin bagi manusia.

 

  1. d)     Teori Performatif

 

Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Contohnya mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim diIndonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkansebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh pemegang otoritas tertentu walaupun tak jarang keputusan tersebut bertentangandengan bukti-bukti empiris.

 

Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama,pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapatmembawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib,adat yang stabil dan sebagainya.

 

Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis danrasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.

 

  1. e)      Teori Konsensus

 

Suatuteori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama.

 

Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai bersamayang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsisebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu paradigmadalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas.

 

 

 

PARADIGMA FILSAFAT , ILMU DAN AGAMA

21 Mei

Filsafat jika ditinjau lebih mendalam lagi bukan sekedar ilmu logika yang lebih mengedepankan rasionalitas, karena filsafat merupakan pondasi awal dari segala macam disiplin keilmuan yang ada. Sedangkan ilmu merupakan suatu cabang pengetahuan yang berkembang dengan sangat pesat dari waktu ke waktu. Hampir seluruh aspek kehidupan manusia menggunakan ilmu seperti agama, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, dan lain sebagainya.

Lalu adakah hubungan antara filsafat dengan ilmu? suatu pertanyaan yang sangat mendasar mengingat kedua kata tersebut bukanlah sesuatu yang asing terdengar di kalangan masyarakat umum apalagi di kalangan akademisi. Oleh karena itu, saya akan berusaha menjabarkan pengertian filsafat dan ilmu itu sendiri.

Filsafat berasal dari kata yunani yakni Philosophia yang merupakan kata majmuk yang terdiri atas Philo dan Sophia. Philo artinya Cinta. Dalam arti luas yaitu Ingin dan karena itu lalu berusaha untuk menggapai apa yang diinginkan. Sophia artinyaKebijaksanaan.  Jadi orang yang cinta kepada ilmu pengetahuan disebut Philosophosatau FilosofKata Philosophia ini pertamakali dikemukakan oleh Heraklitos. Menurutnya, Philosophos (ahli filsafat) harus mempunyai pengetahuan yang kuat sekali sebagai pengejawantahan dari kecintaannya kepada pengetahuan.

Jadi, secara linguistic filsafat dapat diartikan sebagai keinginan yang mendalam untuk mendapat kebijaksanaan atau keinginan yang kuat untuk menjadi bijak.

Sebenarnya ada banyak sekali definisi tentang filsafat akan tetapi perbedaan-perbedaan dari definisi itu menurut Abu Bakar Ajjeh (1970:9) disebabkan karena konotasi filsafat yang juga didorong oleh keyakinan hidup masing-masing. Oleh karena itu tidak salah apabila ada asumsi yang mengatakan bahwa filsafat merupakan sesuatu yang sangat rumit dan jelimet, hal ini sesuai dengan ungkapan bahwa filsafat adalah sesuatu yang tidak akan pernah selesai.

Ilmu adalah Suatu hasil yang diperoleh oleh akal sehat, ilmiah, empiris dan logis (Theo Marc. 1990.59). Ilmu adalah segala sesuatu yang yang berawal dari pemikiran logis dengan aksi yang ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan dengan bukti yang kongkrit (Atang Munaja. 1988.125). Dari pengertian-pengertian ini dapat disimpulkan bahwa ilmu dalam bentuk yang baku haruslah mempunyai paradigma (positivistic paradigm) serta metode-metode yang jelas (scientific method) yang juga dikorelasikan dengan bukti yang empiris yang mampu diterapkan secara gamblan (transparan)

Korelasi Filsafat, Ilmu dan Agama

Filsafat yang mengedepankan eksplorasi logika yang insyaf, radikal dan bebas ternyata tidak selamanya mampu memberikan solusi terbaik kepada manusia. Filsafat dari waktu ke waktu tidak pernah mengalami kemajuan (passif). filusuf hanya bisa berfikir tanpa bisa mengekspresikan hasil pemikirannya dalam bentuk yang lebih praktis. inilah yang membingungkan. Maka lahirlah Ilmu (sains) yang menjadi cabang atau pemekaran dari filsafat itu sendiri yang tidak hanya mengandalkan kekuatan logika semata, tetapi sudah berupaya menjabarkan dengan bukti2 empiris dan rasional melalui riset-riset atau uji coba yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Namun lagi-lagi hal itu tidak cukup untuk menjawab dan menyelesaikan problematika kehidupan karena kerapkali dijumpai teori (ilmu) yang tidak sesuai dengan realita, pun sebaliknya, realita tidak selamanya harus dibarengi dengan teori.  Oleh karena itu manusia terus mencari solusi guna menjawab tantangan-tantangan tersebut, yaitu dengan agama.

Agama lahir sebagai pedoman dan panduan bagi kehidupan manusia. Agama lahir tidak dengan rasio, riset, dan uji coba belaka melainkan lahir dari proses penciptaan dzat yang berada di luar jangkauan akal manusia dan penelitian pada objek-objek tertentu. Agama menjadi titik akhir dari suatu perjalanan jauh manusia dalam mencari kepuasan hidup yang tidak bisa didapatkan dalam filsafat dan sains (ilmu).

Filsafat lahir dari ketakjuban. Inilah yang dikatakan Plato dalam Theaetetus (CPD 155d) yang dikemukakan oleh para filusuf selama berabad-abad. Ketakjuban di sini bukanlah hanya bengong dan diam belaka melainkan timbulnya rasa penasaran yang sangat kuat yang mendorong untuk mencari kepuasan dari ketakjuban tersebut, namun usaha ini tidak pernah berakhir karena filsafat tidak akan pernah berakhir selama akal manusia masih ada.

Juga sains, ia lahir dari ketakjuban para filusuf yang berusaha mencar kepuasan atas jawaban rasa penasarannya. Sains melengkapinya dengan hal-hal yang tidak hanya mengedepankan logika. Sains sudah berusaha bangkit dari ke-mandeg-an yang selama ini menjadi predikat tetap filsafat. Sains sudah mulai merambah ranah yang lebih praktis dan logis yang diperolehnya dengan berbagai cara yang cukup sistematis. Namun manusia tetap tidak dapat tenang dan bahagia hanya dengan berbekal sains dalam kehidupannya.

Dalam sains juga terdapat banyak perbedaan yang mengemuka, salahsatunya adalah perbedaan Newton dan Einstein dalam empat komponen analitis yaitu zat, gerak, ruang, dan waktu. Newton dalam bukunya  Philosophiae Natural Prinsipia mathematica (1686) menganggap empat komponen itu sebagai sesuatu yang absolut. hal itu ditentang oleh Enstein dalam bukunya The Special Theory of Relativity (1905)bahwa keempat komponen tersebut adalah relatif karena tidak mungkin bisa mengukur sesuatu dengan sesuatu yang absolut.

Perbedaan ini menimbulkan bebagai macam keraguan di kalangan masyarakat umum, yang bisa menjadikan keabsrutan dan kesimpangsiuran dalam mencari solusi problematika kehidupan.

Ilmu tanpa bimbingan moral (agama) adalah buta, demikian kata Einstein. Kebutaan moral yang disebabkan ilmu daapat menjadikan manusia dalam malapetaka yang cukup besar. Dewasa ini ada terdapat kurang lebih 40.000 reaktor nuklir di seluruh dunia dengan kekuatan 1.000.000 kali bom atom yang diledakkan pihak sekutu di Hiroshima beberapa yang tahun yang lalu. Dengan kekuatan ini mudahlah manusia menghancurkan dunia , tidak banyak yang dapat kita harapkan apabila para pembuat nuklir itu berseteru dengan saling menghancurkan. Harapan kita hanya satu, mereka mempunyai sedikit kesadaran moral yang bisa membimbing keilmuan mereka untuk dapat ditransformasikan ke jalan yang benar.

Dengan beberapa kekurangan serta kelemahan filsafat dan ilmu, kita bisa menyempurnakannya dengan moral (agama) yang bisa menjadi mediator guna menyempurnakan kedua konsep tersebut utnuk bisa diaktualisasikan dalam kehidupan duniawi yang praktis. Karena agama memiliki dua unsur yang menjadi ciri khas keduanya (filsafat dan ilmu). Agama tidak hanya bersifat dogmatis belaka namun juga bisa berlogika dan memberikan pembuktian-pembuktian yang empiris, riil, logis, sistematis. Oleh karena itu nilai-nilai kebenaran yang memang menjadi ending dari filsafat dan ilmu dapat direalisasikan dengan konsep kebenaran hakiki yang dimiliki agama.

HUBUNGAN ILMU DAN MORAL

21 Mei

Hubungan Ilmu dan Moral

Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secaraterbuka oleh masyarakat.(Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 1990, hal. 237). Jikalau hasil penemuan perseorangan tersebut memenuhi syarat-syarat keilmuan maka ia akan diterimasebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan dapat digunakan dalam masyarakat.

Moral merupakan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih-lebih lagi untuk mempertahankan kebenaran, diperlukankeberanian moral. Moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. (Jujun S. Suriasumantri, FilsafatIlmu, 1990, hal. 234 – 235).

Pada kenyataan sekarang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangattergantung kepada ilmu dan teknologi. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan maka pemenuhankebutuhan hidup manusia dapat dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah. Dengandiciptakannya peralatan teknologi dibidang kesehatan, transportasi, pendidikan dankomunikasi, maka mempermudah manusia dalam menyelesaikan pekerjaan untuk pemenuhankebutuhan hidupnya. Namun dalam kenyataan apak ilmu selalu merupakan berkah, terbebasdari hal-hal negatif yang membawa malapetaka dan kesengsaraan?

Sejak dalam tahap pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang.Ilmu bukan saja digunakan untuk mengusai alam melainkan juga untuk memerangi sesamamanusia dan mengusai mereka. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yangmemberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk tujuaneksistensinya sendiri.

Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhireproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi bukan saja menimbulkan gejaladehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapaitujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri,atau dengan perkataan lain ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusiamencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Jujun S.Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 1990, hal. 231).

http://blog.unsri.ac.id/afrizalhasbi/welcome/ilmu-dan-moral-tanggung-jawab-sosial-ilmuwan-revolusi-genetika/mrdetail/16941/

Sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moralnamun dalam perspektif. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentangkesemestaan alam dan menemukan bahwa ³bumi yang mengelilingi matahari´dan bukansebaliknya seperti yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmudan moral (yang bersumber pada ajaran agama). Dari hal tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Pengadilan inkuisisi Galileo ini selama kurang lebih dua setengah abadmempengaruhi proses perkembangan berfikir di Eropa, pada dasarnya mencerminkan pertarungan antara ilmu yang terbebas dari nilai-nilai diluar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan yang ingin menjadikan nilai-nilainya sebagai penafsiranmetafisik keilmuan.Dalam kurun ini para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan: Ilmu yang Bebas Nilai! Setelah pertarungan kurang lebih dua ratus lima puluh tahun maka para ilmuwan mendapatkankemenangan. Setelah saat itu ilmu memperoleh otonomi dalam melakukan penelitiannyadalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya.

Dalam perkembangan selanjutnya ilmu dan teknologi tidak selamanya berjalansesuai dengan yang diharapkan yaitu dalam rangka mensejahterakan kehidupan manusia.Masalah teknologi telah mengakibatkan proses dehumanisasi. Dari perkembangan ilmu danteknologi dihadapkan dengan moral, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat.Golongan pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti pada eraGalileo sedangkan golongan kedua mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni: (1) Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif olehmanusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan; (2) Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehinggakaum ilmuwan lebih mengatahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalagunaan; dan (3) Ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana terdapatkemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakikiseperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial

(sosial engineering).

Berdasarkan ketiga hal ini maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harusditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikatkemanusiaan.

 

About Daeng SwaraPendidikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

x

Check Also

Perbedaan Desain Grafis dan Desain Multimedia, Apa Saja Ya?

Desain grafis dan desain multimedia memiliki beberapa perbedaan yang perlu ...

https://swarapendidikan.or.id/